Share

Keputusasaan Asma

"Selamat menikmati hidup bersama dengan bekasku!" ucap Asma sebelum meninggalkan Endang. 

Asma pun segera naik ke dalam bus yang berhenti tepat di depannya. Dia merasa malu jika harus kembali ke rumah orang tua. Dia juga tidak mau orang tuanya malu karena perceraiannya dengan Tanto yang merupakan anak juragan tanah. Sejak awal para tetangga memang banyak yang mencibir pernikahannya.

Di dalam bus tujuan kota, Asma duduk di samping jendela. Asma menatap lampu-lampu yang menerangi jalan. Air matanya tidak kuasa untuk tidak keluar dari mata indah miliknya ketika dia mengingat perselingkuhan sang suami.

Bus semakin jauh meninggalkan desa tempat tinggalnya. Hati yang terluka mengiringi perjalanannya menuju ke kota. Sepanjang perjalanan, air mata menggenangi matanya. Dia tidak peduli dengan penumpang lain yang melihatnya dengan tatapan aneh.

“Terminal..., terminal..., terakhir...!”

Kondektur bus mengingatkan tujuan akhir bus. Asma tersadar jika dia sudah sampai ke tempat tujuan.

Asma segera mengusap air matanya. Suasana ramai kota mewarnai jalanan kota. Asma segera berdiri, dia hendak turun di pusat kota.

“Berhenti di sini, Bang,” pinta Asma ketika tiba di tikungan jalan sebelum menuju ke arah terminal.

Setelah bus berhenti, Asma segera turun dengan hati-hati seraya menyeret kopernya. Dia berjalan ke depan toko yang sudah tutup dan duduk di kursi kosong yang ada di sana. Perutnya terasa lapar, dia membuka tas selempangnya dan mengambil dompet miliknya. Hanya tersisa beberapa ribu saja uang yang ada di dompetnya dan juga ATM yang berisi uang tabungan hasil penjualan kuenya yang rencananya untuk tambahan biaya persalinan dan keperluan dirinya selama hamil karena selama ini sang suami tidak memperhatikan kebutuhan kehamilannya. HP yang dibelikan sang suami juga diminta kembali karena dianggap milik suami.

Asma mengedarkan pandangan ke segala penjuru kota. Selain banyak warung angkringan berjajar di pinggir jalan, beberapa toko masih terbuka. Lampu kerlap kerlip dari beberapa toko meramaikan suasana kota padahal malam semakin larut.

Asma mencoba mencari pekerjaan di malam itu, setidaknya untuk makan malam ini. Dia menuju ke deretan toko yang masih buka. Asma memasuki satu per satu toko dari ujung jalan hingga ujung jalan lain.

“Sebenarnya kami sedang membutuhkan karyawan, tetapi maaf kami tidak bisa menerima Mbak karena sedang hamil,” ucap salah satu pemilik toko sembako yang sudah hampir tutup.

Asma merasa ada angin segar untuk bisa mendapatkan pekerjaan. “Saya bisa, Pak. Saya berjanji kehamilan saya tidak akan mengganggu nantinya.”

“Mohon maaf sekali, Mbak. Kami tidak bisa mengambil resiko karena kami butuh orang yang bisa angkat-angkat barang,” ucap pemilik toko.

Asma tidak bisa memaksakan pemilik toko untuk menerimanya bekerja di tempat itu. Apa yang disampaikan pemilik toko tersebut ada benarnya karena sangat berbahaya bagi janinnya jika dia harus mengangkat beban berat. Dia pun meninggalkan toko tersebut menuju ke toko yang lain, tetapi hingga ujung kompleks pertokoan tidak ada yang membutuhkan karyawan. Bahkan dia menanyakan kepada warung-warung makan dan angkringan, tetapi semua mengatakan tidak ada lowongan.

Sebenarnya di seberang jalan masih ada beberapa toko yang masih buka, tetapi Asma sudah berkecil hati untuk mencoba. Dia terus berjalan menyusuri jalan.

Malam semakin larut. Asma sudah merasa lelah dan kakinya juga sudah merasa pegal. Dia juga merasa lapar dan haus karena dia belum makan apapun sejak meninggalkan rumah sehingga membuat tubuhnya lemas. Perutnya juga terasa agak kencang dan sakit karena sudah terlalu lama berjalan. Tempatnya sekarang cukup sepi, berbeda dengan daerah di sebelah selatan yang berderet warung angkringan dan toko yang masih buka.

Asma berhenti di salah satu depan toko yang terdapat kursi. Dia menatap jalan di depannya yang terlihat sepi, hanya ada lalu lalang mobil dan sepeda motor yang melintas. Dia mengelus-elus perutnya untuk mengurangi rasa sakit. Air mata pun luruh membasahi pipi Asma. Ada rasa sesal mengapa dia tidak kembali ke rumah orang tuanya saja, tetapi rasa malu dan takut mengalahkan rasa sesal tersebut.

“Ya Allah, mengapa Engkau memberi cobaan seberat ini padaku? Apakah karena aku sudah melawan orang tuaku sehingga Engkau menghukumku” gumamnya.

Asma menghapus sisa air matanya, tetapi masih terdengar isak tangisnya. Ada perasaan takut ketika melihat tempat di sekitarnya yang sepi. Dia pun segera beranjak dari tempatnya beristirahat.

Asma masih terus melanjutkan berjalan menyusuri jalanan yang semakin sepi. Deretan toko sebagian besar sudah tutup. Dia mengusap perutnya membuat air mata lagi-lagi luruh dari matanya.

Perasaan terbuang dan terabaikan dari orang-orang terdekatnya tiba-tiba hadir dalam hatinya. Suami yang sangat dicintainya bahkan dulu dia rela melawan nasihat orang tua, sudah mencampakkan dirinya demi wanita dari masa lalu sang suami.

“Apa gunanya aku hidup jika tidak ada yang peduli aku lagi?” gumam Asma di dalam hatinya.

Semula Asma berjalan di trotoar, tetapi sedikit demi sedikit dia berjalan ke arah tengah jalan. Batinnya bergolak, dia berhenti sejenak dan menengok ke arah jalan di belakangnya yang sepi. Hati kecilnya menolak melakukan itu, tetapi langkah kakinya tetap ke arah tengah jalan. Pada saat itu terlihat sebuah lampu mobil di kejauhan.

Terbersit dalam hati untuk mengakhiri hidupnya. 

Asma berjalan dengan langkah lunglai. Akal sehatnya dikalahkan oleh rasa keputusasaan.

“Maafkan ibu, Nak. Daripada kamu lahir tanpa ayah di sampingmu, lebih baik kita pergi bersama-sama ya, Nak,” gumamnya pada anak yang di dalam kandungannya seraya mengelus perutnya dengan berurai air mata.

Pandangan Asma lurus ke depan. Tangan kiri menyeret kopernya, tangan kanan mengelus perut buncitnya. Dia memantapkan hati untuk mengakhiri semuanya.

Mobil yang melaju di belakangnya semakin mendekat. Suasana yang sepi dan tidak adanya pemukiman penduduk mendukung tekad Asma. Baju berwarna gelap yang dikenakan Asma membuat dia tidak terlihat dari kejauhan.

Asma semakin berjalan ke tengah jalan. Dia memejamkan mata seraya mengelus perutnya. Bayangan sang suami yang mengelus perut wanita selingkuhannya yang hamil membuatnya semakin tergugu. Sedangkan, perutnya tak pernah sekalipun dielus oleh sang suami. Kelebatan perselingkuhan sang suami yang dilakukan beberapa kali hadir dalam bayangannya. “Kamu jahat Mas Tanto,” gumamnya dengan linangan air mata.

“Ayah, Ibu, maafkan Asma.”

Suara deru mesin mobil semakin mendekat. 

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak kepadanya.

“Mbak! Awas ada mobil!” teriak orang tersebut seraya berlari menuju ke arah Asma.

Orang itu berlari dengan cepat untuk mendekat ke arah Asma ketika dia melihat mobil sudah semakin mendekati Asma.

Asma tidak mengindahkan teriakan itu. Dia berhenti berjalan dan memberanikan diri menatap mobil yang tengah melaju dengan kencang di depannya. Pandangannya lurus ke depan dan kemudian memejamkan mata. Suara klakson panjang terdengar di telinganya. Suara decit roda ban mobil dengan aspal terdengar sangat nyaring.

“Mbak! Minggir!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status