Share

Siapa perempuan itu?

Rena melempar tasnya. Dia berbaring diatas sofa ruang tamu rumahnya dengan wajah nampak kesal.

Aku mengambil dua gelas air dingin didapur, memberikan salah satunya pada Rena agar dia sedikit tenang.

Rena bangun dan meneguk air yang kusodorkan kepadanya. Ponselnya berdering dari dalam tas. Tangannya masuk kedalam tas dan meraihnya.

​“Ngapain sih, nelpon-nelpon?!” Rena melempar ponselnya keatas sofa.

​“Siapa, Ren?” Tanyaku.

​“Kak Di lah. Siapa lagi?.” Jawabnya ketus.

​“Oooh.” Aku mempersingkat jawabanku agar tidak ribut lagi.

​“Kamu kok kayaknya biasa aja sih, Sof? Kamu punya hati nggak, sih?” Tanya Rena sembari memandangku heran.

​“Kata siapa? Aku juga sakit, Ren.” Aku merasa serba salah meresponnya. Aku tidak mau Rena semakin kesal. Aku bingung memilih jawaban yang pas.

“Aku sama kamu itu beda, Ren. Aku nggak bisa marah kayak kamu. Aku kan, cuma maid dia. Sedangkan kamu, sepupunya.

Meskipun kita sama-sama kesal, sama-sama marah, sama-sama sakit hati, kita akan memberikan respon yang berbeda.

Karena hubungan kita juga beda, Ren. But, calm down, please. Marah gak akan nyelesein masalah.” Jelasku pada Rena secara perlahan.

Rena menatapku. ​“Maaf, sof. Harusnya aku nggak marah sama kamu. Nanti aku tegur Kak Di, ya." Ucap Rena tulus. Aku tersenyum.

​“Makasih, Ren. Tapi itu nggak perlu.”

Aku meraih tangan Rena dan menggenggamnya. Tangan yang selalu terulur saat aku membutuhkan bantuan.

“Nggak papa, sof. Kak Di harus belajar ngehargain privasi orang.”

​“Ren, mungkin aja perempuan tadi pacar Bos. Mungkin Bos takut perempuan itu datang kerumah dia, terus mergokin aku disana. Kan, bisa salah faham."

​“Aku nggak perduli! Privasi is privasi. Dia gak boleh egois. Apapun alasannya, dia gak boleh membuka privasi seseorang pada siapapun semau dia.

Kalau nanti perempuan itu datang kerumah dia, pinter-pinter dialah mau bilang apa. Pokoknya ngejaga privasi seseorang itu penting! Titik!”

Aku mengangguk menghentikan perdebatan.

Seperti inilah perempuan didepanku. Dia sangat baik. Tapi satu kekurangannya, dia tidak mau ada yang membantah apa yang ada dikepalanya.

Aku memilih untuk mengiyakan saja. Membiarkan dia merasa benar dengan apa yang difikirkan.

​Ting nong..

Suara bel rumah berbunyi. Aku sedang meneguk air ditanganku lalu memandang Rena.

“Aku buka pintu dulu, ya..” Rena mengangguk.

Aku berjalan kearah pintu. Kemudian membuka pintu tersebut dan melihat Daniel berdiri disana. Aku manarik nafas panjang.

​“Sofi.” Sapa Daniel.

​“Bos. Silahkan masuk.” Aku mempersilahkannya.

Daniel masuk dan berjalan kearah ruang tamu dimana Rena berada. Aku menyusul dibelakangnya.

​“Air siapa, ini?” Tanya Daniel sambil mengangkat gelas berisi air putih milikku.

​“Punya saya, bos.” Jawabku.

Daniel langsung meneguk air ditangannya tanpa rasa sungkan. Mungkin dia benar-benar haus sampai meminum bekas minumanku.

​“Makasih.” Ucap Daniel. Dia meletakkan Kembali gelas diatas meja.

​“Sama-sama, bos.” Jawabku.

Rena masih tidak mau menegur Daniel.

​“Ren..” Tegur Daniel. Daniel duduk disamping Rena. Rena masih menunjukkan muka masam.

“Kamu kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba pergi gitu aja? Kakak telpon, kamu gak angkat. Kenapa?” Daniel bertanya dengan bingung.

​“Kakak tanya aku kenapa? Oh my God.. Emang gak punya perasaan!” Rena marah lagi.

Daniel menoleh kearahku. Aku mengangkat kedua bahuku pura-pura tidak mengerti.

​“Apa maksud kamu? Kakak punya salah apa?” Tanya Daniel dengan wajah penuh tanda tanya.

​“Apa salah Kakak? Aku fikir kakak dateng buat minta maaf sama Sofi. Ternyata aku salah!”

Rena menatap daniel penuh amarah. Tangannya terkepal. Nafasnya tersengal-sengal. Mungkin kalau bisa, Rena ingin memukul Daniel.

​“Sofi, tolong kasih tahu saya. Apa salah saya?” Daniel kembali melihat kearahku. Aku melihat Daniel benar-benar tidak mengerti situasi ini.

​“Saya.. saya nggak punya jawaban, Bos." Aku mengambil gelas didepanku dan meneguk air didalamnya. Aku lelah dengan keributan ini.

Daniel merampas gelas tersebut dan ikut meneguk air yang tersisa sedikit lagi dalam gelas.

​“Ren, Kenapa susah banget jawabnya? Ha!?” Daniel menggertak Rena. Mereka mulai ribut. Aku tidak tahu harus bagaimana.

Aku tidak mungkin jawab, aku dan Rena marah karena dia mengenalkan aku sebagai maidnya.

​“Okey. Kak Di tetep nggak ngerti? Aku kasih tahu. Listen! Kak Di yang terhormat. Seorang pengusaha muda yang sukses.

Aku tahu, kakak bisa sukses diusia muda. Kak Di bersyukurlah mendapatkan itu. Disekeliling kak Di masih banyak orang yang gak seberuntung Kak Di.

Atau mereka bukan nggak beruntung, mereka hanya sedang memperjuangkan keberuntungan.

Mereka bisa aja berhasil sejajar dengan Kak Di, atau bahkan lebih tinggi dari kak Di.Tapi semua itu butuh proses yang gak mudah.

Kak Di pun sama, kan? Dulu Kakak juga berjuang mati-matian untuk berada dititik ini.

Kak, banyak orang yang rela ngelakuin apa aja demi meraih cita-citanya, bahkan bekerja apa aja. Jadi maid sekalipun diusia mudanya.

Maid itu pekerjaan yang sulit, kak. Bahkan tidak haya sulit. Maid adalah pekerjaan yang hina menurut sebagian orang.

Selama Sofi kerja dirumah kakak, aku nggak pernah ngasih tahu teman-teman apa pekerjaan Sofi. Aku ngejaga privasinya, sekaligus perasaanya.

Jikapun harus ada yang bercerita, biar dia sendiri yang cerita ke orang-orang yang menurut dia pantas untuk mendengarnya.

Atau, bercerita nanti ketika dia udah sukses biar bisa jadi motivasi untuk orang lain."

​“Bentar, jadi kalian marah dan tersinggung karena tadi aku ngenalin Sofi sebagai maidku?” Tanya Daniel setelah penjelasan panjang Rena.

​“Iya! Karena kak Di gak punya hak untuk menceritakan privasi orang lain.” Rena melipat tangannya menunjukkan.

​“Okey, cukup. Aku udah capek. Sekarang, aku minta maaf sama kalian. Aku nggak tahu kalau perkataanku bikin kalian sakit hati dan semarah ini.

So, kalau abis ini ada yang nanya Sofi siapa, Kakak harus jawab apa? Kakak harus jawab dia siapa?”

​“Terserah. Yang penting bukan sebagai maid!” Rena menatap mata Daniel tajam.

​“Hah? Kamu lucu!. Ngasih intruksi tanpa solusi.” Ucap Daniel. Aku tetap diam.

​“Kak Di.. Pengusaha muda yang saaangat jenius. Masa gitu aja harus aku ajarin, sih? Kak Di kan bisa bilang Sofi ini temenku, adik kak Di, atau..”

​“Atau apa?” Daniel menatap Rena heran. Aku ikut meliriknya.

​“Apa aja deh, kak. Pinter-pinter kakak aja. Pokoknya jangan pernah bilang Sofi ini maid kakak lagi. Atau, Sofi disini aja sama aku.”

​“Apaan sih, Ren.” Daniel mengerutkan dahinya. “Oke, oke. Kakak gak bakal bilang sama siapa-siapa lagi, kalo Sofi itu maid kakak.”

​“Janji?” Rena mengulurkan tangannya.

​“Janji.” Daniel menyambut tangan Rena. “So, sekarang Sofi udah boleh pulang, kan?” Tanya Daniel.

Rena masih menunjukkan muka cemberut.

​“No.” Jawabnya singkat.

“Kenapa lagi?”

Aku juga tidak tahu kenapa Rena belum mengizinkan aku pulang kerumah Daniel. “Oke, boleh. Tapi, kakak harus kasih tahu aku. Siapa dia?”

“Dia?” Daniel mengernyitkan dahinya bingung.

“Yap. Perempuan tadi di café.” Jelas Rena.

Aku menghela nafas panjang. Bersiap-siap mendengar jawaban Daniel. kenapa Rena menanyakan itu sekarang?

Padahal, baru saja aku menenangkan diri dari ketegangan perdebatan mereka berdua.

“Oh my God. Kenapa kakak harus kasih tahu kamu?”

“Karena aku penasaran.”

“Bukan urusan kamu!.” Daniel bangun dari sofa.

“Kita pulang, Sofi.” Ajak Daniel. Aku hanya mengangguk. Aku menghampiri Rena dan memeluknya.

“Makasih.” Ucapku berbisik. Rena hanya mengangguk dan tersenyum. Senyum Ikhlas dari seorang sahabat yang kusebut malaikat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status