Pagi yang cerah. Sang surya tidak begitu garang bersinar, tetapi cukup menembus kaca tempat Deyana berdiri. Wanita itu mendengkus kesal, melihat dua puluh pesan WhatsApp yang dia kirim ke telepon genggam Bayu, masih abu-abu dan centang satu. Benaknya bertanya-tanya, ke mana pria itu? Padahal kemarin, dia sudah memberi kabar berada di bandara Changi. Biasanya, Bayu akan langsung menghampiri setiap kali dia meminta. Namun, kali ini, pria tersebut menghilang tanpa kabar. 'Kamu ke mana, sih?! Bisa-bisanya kamu cuekin aku, kek, gini!' Deyana berjalan mondar-mandir di depan jendela hotel tempat dia menginap. Wajah wanita itu memerah dengan rahang mengeras dan bibir terkatup rapat. Berkali-kali dia menjambak rambutnya sendiri, sebagai bentuk kekesalan. Bila amarah sudah memuncak ke puncak kepala Deyana, dadanya seperti digodam palu besi berkali-kali, menyesakkan, meronta-ronta hendak dilepaskan. Rasanya, ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya. Wanita itu memang kesulitan meng
Pohon-pohon angsana, yang tumbuh berjajar dan dipangkas rapi di sepanjang jalan kota Singapura, seolah-olah sedang berlari berlainan arah, bila dilihat dari balik kaca mobil. Adelia mengagumi pohon yang mempunyai nama latin, 'Pretocarpus inducus' itu, karena dahannya tumbuh merunduk--nyaris menyentuh tanah--bisa dijadikan tempat berteduh, bila matahari bersinar terlalu terik. Pohon yang kulit kayunya berwarna abu-abu kecokelatan, mengingatkan gadis tersebut pada taman yang sering dikunjungi bersama sang ibu, dulu. Hampir setiap sore, wanita yang tak diketahui rimbanya itu, sering mengajak Adelia berjalan-jalan, dan menemani putrinya bermain. Kala itu, sandyakala tampak indah di kaki nabastala. Keduanya duduk di atas rumput yang terhampar luas bak permadani, tepat di bawah dahan-dahan pohon angsana yang berdaun lebat. Sarmila menjawab pertanyaan sang putri, seraya memperbaiki kepangan rambut Adelia yang berantakan sehabis bermain. "Ibu, kenapa Papa jarang pulang? Kalau ketemu, juga h
Hari telah kembali ke tampuk malam. Langit terlihat sangat cerah, penuh bintang berkerlip bersanding dengan sang bulan. Indurasmi nan redup, menyentuh wajah Adelia yang gundah. Wajah gadis itu juga tampak berkabut, serupa dengan suasana hati yang dilamun lara. Sepertinya, malam akan terasa sangat panjang baginya. Baru sehari menemukan 'Mas Bayu-nya' , kini Deyana datang merebut kembali perhatian sang pria. Adelia tersenyum getir. Kepalanya disentil sesuatu yang tak kasat mata, lalu mengatakan, bukan merebut. Akan tetapi, wanita itu mengambil hak yang telah terampas. Masih jelas terbayang di tempurung kepala gadis tersebut, bagaimana tatapan kebencian, ditikamkan Deyana kepadanya. Wanita itu tak mengatakan apa-apa, tetapi diamnya Deyana, membuat hati Adelia serasa ditindih berjuta kilo beban. "Nona, waktunya makan malam. Apa Nona tidak mau turun?" Melinda menghampiri Adelia yang termenung di balkon kamarnya. "Aku enggak selera makan, Bi." Langkah Melinda mendekat, berdiri satu leng
Sunyi merambat pelan layaknya malam yang menghadirkan banyak kemungkinan. Entah kesedihan atau pun kesenangan. Seperti malam ini, Adelia terpekur duduk di atas pembaringan sambil melihat telapak tangan--yang tadi dia gunakan untuk menampar Deyana. Ada sesal yang merambati rongga dada. Seumur-umur, tak pernah sekali pun dia bersuara keras kepada wanita tersebut, apalagi memukul. Justru selama ini Adelia selalu mengalah. Meski pun, perlakuan Deyana tak pernah baik padanya. Sejak Adelia dibawa pulang ke rumah oleh Fairuz, wanita itu sudah menunjukkan sikap permusuhan. Ada saja kesalahannya di mata Deyana. Wanita itu tak mau semobil dengannya, bila terpaksa, Deyana akan menurunkan Adelia di pinggir jalan. Untuk sampai sekolah tepat waktu, gadis tersebut terpaksa menggunakan ojek. Apa pun yang dibelikan sang papa, pasti Deyana akan merusaknya. Hal demikian, terus berlangsung sampai Adelia dibelikan sepeda motor oleh Fairuz diulang tahunnya yang ketujuh belas. Begitupun Andini, Mama Deyan
Deyana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Wajah wanita itu menyiratkan kekesalan yang amat sangat. Sesekali dia menatap pantulan wajah di dalam kaca meja rias. Warna merah bekas tamparan Adelia, memang sudah tak ada lagi di sana, tetapi rasa sakit menikam dalam ke jantungnya. Dia tak habis pikir, bagaimana gadis bodoh itu bisa melakukan hal ini padanya? Dengan sangat berani mempermalukan di depan Bayu dan para asisten rumah tangga. Kedua telapak tangan Deyana mengepal sangat kuat, dia berteriak sekadar melepas sesak yang bergulung-gulung di dadanya. Tidak! Dia tidak akan pernah kalah dari gadis yang dia anggap penghancur rumah tangga sang mama. Sejak kedatangan Adelia, setiap hari mama dan papanya bertengkar. Lalu esoknya, sikap sang papa akan sangat dingin padanya. Seolah-olah dia bukan lagi putri tercinta pria itu. Meskipun, Fairuz tak pernah menunjukkan secara kentara dia mencintai Adelia, tetapi pria itu selalu menatap si gadis dengan sorot penuh kasih sayang, tatapan yan
"Tuan muda, Nona harus dioperasi saat ini juga. Dokter bilang, Nona banyak kehilangan darah, kalau tidak sekarang, mungkin ...." Bayu tak mendengar apa-apa lagi. Dadanya seperti dihantamkan ke batu besar. Suara rintihan Adelia yang menjadi back sound telepon Melinda tadi, memantul-mantul di gendang telinganya. Apa yang terjadi? Tadi pagi gadis itu baik-baik saja. Bahkan, Bayu masih bisa melihat rona kemerahan di pipi Adelia yang chuby. Sejak hamil, berat tubuh gadis tersebut bertambah, alih-alih membuat si gadis terlihat menggemaskan. Melihat Adelia makan, membuatnya ikut berselera. Detik itu juga, Bayu meminta sang asisten meng-cancel tempat yang sudah dia reservasi untuk acara makan malam dengan Adelia. Gadis itu lebih penting saat ini. Pria itu meminta supir melajukan mobil lebih kencang lagi. Memikirkan terjadi sesuatu pada Adelia, membuat dadanya teramat sesak. Begitu mobil memasuki pelataran parkir rumah sakit, Bayu langsung berlari menyusuri selasar menuju ruangan operasi se
Mendengar ucapan Bayu, Deyana mundur dua langkah, hanya untuk memastikan jika yang dia peluk benar-benar pria yang dia cintai. Rasanya, tak mungkin si pria berkata sekejam itu. Dalam hati Deyana, dia bisa merasakan kalau cinta Bayu padanya bukan main-main. "Katakan sekali lagi, Mas ...?" Deyana bertanya ingin memastikan, "Kamu bohong, kan?" lirihnya dengan mata mulai memburam. Bayu menyugar rambutnya dengan kasar. "Aku enggak bohong. Maaf, harusnya aku enggak biarkan semua ini sejak awal. Aku mencintai Adelia." "Enggak!" bantah Deyana, keras, "kamu membencinya. Kamu sangat membencinya, karna dia orang ketiga dalam hubungan kita. Kamu membencinya, karna dia membuatmu bertanggung jawab pada sesuatu yang dilakukan orang lain, ingat itu!" Deyana mencoba memprovokasi Bayu. Dengan mengingatkan hal apa yang membuat pria itu terjebak dalam pernikahan dan pria itu juga yang memberi janji agar dia menunggu. "Aku ingat semua dengan jelas. Maafkan aku Deyana, aku salah padamu. Tapi, jujur ..
Adelia meringis. Jahitan di perut masih basah, membuat dia harus bergerak sepelan mungkin. Sesaat dia terdiam menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Benak gadis itu mengumpulkan ingatan yang terserak. Bayang-bayang wajah marah Deyana, juga raut murka Fairuz, silih berganti mengisi tempurung kepalanya. Refleks Adelia menyentuh perutnya, kempes. Seketika gadis itu dilanda ketakukan. Di mana bayinya? Apa yang terjadi? "Syukurlah Nona sudah siuman." Suara Melinda membuat Adelia menoleh ke samping kiri. Matanya menangkap sosok Melinda mendekat dengan senyum lega di wajahnya. "Di mana anakku, Bi? Apa dia baik-baik saja." Mata Adelia liar mengitari ruangan, berharap menemukan sosok mungil yang telah dia kandung selama hampir tiga puluh dua minggu. Melinda menahan pergerakan Adelia yang ingin duduk. "Tenanglah Nona. Putri Anda baik-baik saja. Dia ada di tangan yang tepat." "Apa ada yang kurang padanya? Atau tubuhnya terluka?" Adelia kembali mencecar Melinda, bayangan Deyana men