LOGINDeandra berharap kejadian beberapa jam lalu hanyalah sebuah mimpi buruk. Ketika bangun, dia mendapati duduk di sampingnya dan tersenyum.
Dia berharap saat bangun nanti, akan menemukan Rican duduk di samping kasur sambil mengusap puncak kepalanya. Meminta maaf seperti biasa dan mengecup keningnya. Tapi ternyata tidak, karena sekarang dia sedang duduk di tengah kasur sambil menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Ada Laras yang menemaninya di sana. “De, kau baik-baik saja?” Tidak ada jawaban yang diberikan gadis itu, dia tetap diam dan bungkam. Sibuk dengan pikirannya sendiri yang acak-acakan. Saat yang sama, Arum memasuki kamar dan menatap sedih ke arah putri sulungnya itu. Yang dia tahu, Dea gadis periang dan ceria. Tapi sekarang gadis itu berubah menjadi pemurung. “Dea, ikut Mami keluar sebentar.” Dea tidak menjawab, dia hanya mengangkat kepalanya untuk menatap Arum yang berdiri tidak jauh dari kasur. Dan saat itu juga dia menemui kesedihan mendalam dibalik netra kosong putrinya itu. Hampir dua menit Dea menatap Maminya tanpa mengatakan apapun, dan detik kemudian dia menganggukkan kepala. Rasanya ingin menangis, tapi tidak bisa. Dia tidak ingin percaya tapi hatinya menolak. Dea masih berharap obrolan tadi tidak nyata. Laras membantu Dea untuk berdiri dari kasur. Dalam hati dia bersumpah, jika sampai Rican benar-benar meninggalkan Dea, maka dia akan mencekik pria itu sampai meninggal. ‘Lihat aja kalau ketemu. Akan kupatahkan lehernya!’ gumamnya dalam hati sambil menggandeng lengan Dea untuk keluar dari kamar. Sejak dulu, dia memang tidak setuju jika Dea menjalin hubungan dengan pria itu. Karena Laras tahu, Rican adalah tipe pria yang tidak akan bisa menetap pada satu hati. Tapi sialnya, temannya ini terlalu buta, telinga dan pikirannya seolah tertutup rapat selama 5 tahun terakhir. Seperti yang dia dapati tadi, semua orang kembali berkumpul di ruang tamu. Tatapan mereka tertuju padanya, dan Dea membenci hal itu. “Kamu kuat, Sayang.” Arum mengusap pundak putrinya itu, dia sendiri pun tidak menyangka jika keadaannya akan menjadi seperti ini. “Ras, ini mimpikan?” Laras terdiam, dia tidak tahu harus mengatakan apa sekarang. Tadi Tante Arum memintanya untuk datang saat Dea pingsan. Dia juga ingin mengatakan jika apa yang terjadi ini hanya mimpi, tapi rasanya ketika melihat Nate, ini benar-benar bukan mimpi. Karena Laras sangat menyukai Nate. Jadi, sudah pasti semua ini bukanlah mimpi belaka. “Tenang dulu De, kita dengar kebenarannya ya!” Dea menarik nafasnya dengan kasar, dia berharap ini hanya sebuah mimpi. Tapi, meskipun sebuah mimpi, ini terlalu buruk baginya. Semua yang duduk disana menatap ke arah Dea, memberikan tatapan prihatin yang sangat menyebalkan. “Duduk Deandra.” Gadis itu hanya menuruti ucapan sang Ayah, dia merasa enggan untuk duduk karena tatapan orang-orang yang tidak dapat diartikan. Terlebih tatapan pria yang tadi mengenalkan diri sebagai calon suaminya. Dua menit berlalu, ketika keadaan mendadak hening dan saat itulah Arsen, Papi Dea angkat bicara. “Deandra, Papi tahu kamu sulit menerima ini. Tapi, memang inilah kebenarannya. Rican mendadak pergi tanpa kabar dan tidak pulang sampai sekarang.” Tidak ada kata yang keluar dari mulut gadis itu, hatinya mendadak suram dan hancur. Dea mengepalkan tangan dengan erat untuk terlihat kuat. Meski matanya terlihat sendu, ekspresinya terlihat biasa saja. Percayalah, hatinya sedang hancur, remuk tak berbentuk lagi. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, mulutnya terasa bungkam, lidahnya kelu, dan akhirnya semua hanya terhenti di tenggorokan. “Dea, Om dan Tante minta maaf. Tapi selama beberapa hari ini kami sudah mencari tahu keberadaan Rican. Tapi percuma, kami tidak bisa menemukannya. Kami minta maaf.” Lagi-lagi Dea terdiam, rasanya tidak ada kata yang perlu diucapkan sekarang. Dia berharap mereka semua paham akan arti diamnya. Arum menatap putrinya dengan rasa sedih, dia menggenggam tangan Dea dengan erat. Dia tahu, betapa hancurnya perasaan putrinya itu saat ini. Tapi semuanya di luar kendali, mereka sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. “Berhubung undangan sudah disebar dan persiapan hampir sudah selesai. Kami memutuskan untuk tetap melaksanakan pernikahan ini. Dan, Arga yang akan menggantikan posisi Rican sebagai mempelai pria.” Ucapan calon Ayah mertuanya itu membuat Dea mengangkat wajahnya dan menoleh pada pria yang disebut tadi. Arga, pria itu bahkan tidak menatapnya walau sedetik, dia lebih memilih untuk memandang ke arah lain. “Kenapa pernikahan ini tidak dibatalkan saja? Bukankah masih dalam waktu beberapa hari lagi?” Dea terus menatap pria itu yang duduk tepat di hadapannya. Dia ingin Arga menatapnya, agar pria itu melihat betapa tidak setujunya Dea dengan rencana ini. “Sebenarnya, tanggal pernikahan kami majukan tanpa persetujuanmu. Dan akan dilaksanakan satu minggu ke depan. Tidak mungkin dibatalkan!” Seketika emosi Dea malah memuncak mendengar ucapan Arsen. Karena semua yang terjadi tanpa sepengetahuannya. “Kenapa kalian mengambil keputusan tanpa memberitahu terlebih dahulu? Sebenarnya yang menjalani pernikahan aku atau kalian sih?!” Semua orang di sana langsung terdiam. Mereka tahu ini menyakiti Dea, tapi mereka juga tidak memiliki pilihan lain. “Rican sudah menghilang entah sejak kapan, tapi kalian baru memberitahu sekarang. Dan saat ini kalian memaksaku untuk menikah dengan orang yang bahkan tidak aku kenal?” Dea menunjuk Arga yang masih tidak memberikan ekspresi apapun, sejak tadi pria itu terus memalingkan wajah. Jika memang dia tidak setuju, kenapa diam saja? Deandra merasa muak dengan perdebatan ini. Seharusnya di saat seperti ini, ketika ia terpuruk karena ditinggal Rican tanpa kabar. Dia mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, bukan malah menuntutnya untuk tetap menikah dengan orang lain. “Aku tidak mau menikah dengan dia! Aku mau pernikahan ini dibatalkan!” Mata gadis itu berkaca-kaca, dia benar-benar tidak kuat untuk mengatakan ini, harapannya untuk menikah dengan Rican masih terlalu besar. “Tidak bisa Deandra!” “Papi?” “Papi tidak meminta persetujuan kamu! Ini bukan pilihan tapi keharusan!” Tangan gadis itu mengepal erat, bibirnya bergetar. Dia benar-benar membenci semuanya. Hatinya sedang hancur, tapi malah dipaksa dan tidak diberi pilihan lain. “Dea.” Arum menarik tangan Dea yang hendak berdiri, seolah melarang gadis itu untuk memberontak. “Tolong dengarkan Papi, jangan membuat malu nama keluarga.” Dea terdiam, dia kembali menatap orang-orang yang sepertinya tidak peduli akan perasaannya. Jauh lebih peduli dengan nama keluarga. “Malu? Lalu bagaimana dengan perasaanku? Apa kalian memikirkannya?” tanya gadis itu dengan suara bergetar. Dia berlalu pergi, karena tahu tak seorangpun dari mereka yang paham akan perasaannya.“Sudah lebih tenang?” tanya Arga, setelah dia menemani Deandra dalam waktu cukup lama.Gadis itu menganggukkan kepala, dia menyeka sisa air mata yang masih ada di wajahnya. Lalu menatap Arga yang sejak tadi berdiri di balik pilar, sedangkan Dea duduk di kursi.Arga menarik napasnya dengan pelan. Lalu dia mendekati Dea dan berdiri di hadapan gadis itu, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Menambah kesan karismatik yang benar-benar mengagumkan.“Jadi, bagaimana keputusanmu?” tanya pria itu lagi, menunggu jawaban.“Aku tetap tidak menginginkannya.”“Tapi kau tidak diberi pilihan!”“Aku tahu!” jawab Dea dengan pasrah, walau sebenarnya saat ini dia sangat terluka, “semua ini salahku, karena terlalu percaya padanya.”“Tidak perlu menyalahkan dirimu! Berdiri, dan mulai hidup baru!”Arga pergi begitu saja, sesaat setelah dia mengatakan hal yang ingin disampaikan. Meninggalkan Dea yang masih terdiam, dengan semua kerumitan di dalam kepalanya.“Jadi, pada akhirnya aku memang tidak ada pi
Orang tua Dea dan orang tua Arga terlihat sangat antusias membicarakan pernikahan mereka. Tapi tidak dengan Dea sendiri, juga Arga.Namun, sesekali pria itu tersenyum tipis dan menjawab ketika ditanya. Sedangkan Dea? Rasanya dia sangat muak dengan semua ini.“Aku mau bicara!” ucap Dea dengan tiba-tiba, sehingga obrolan antusias orang tua mereka terhenti.Semua pandangan tertuju pada Dea, yang mana gadis itu mulai terlihat serius. Sedangkan Arga menyadari ada yang tidak beres.“ada apa De?” tanya Arum, dan mereka semua menunggu jawaban dari gadis itu.“Tadi—”“Maaf semuanya, Dea ingin bicara dengan saya. Jadi, kami permisi sebentar untuk mencari tempat berdua.”Mendengar ucapan Arga, seketika mereka semua menjadi tenang. Dan Dea sendiri terlihat kebingungan, apalagi saat Arga meraih tangannya.“Ayo, kita bicara di sana.”“Ta-tapi….”Arga tidak memberi kesempatan untuk Dea berbicara. Dia menariknya, meski terkesan lembut tapi Dea sendiri sangat kesal.“Apa jangan-jangan Dea sudah tahu?”
“Minumlah sedikit, agar lebih menenangkan pikiranmu.”Arga menerima segelas wine yang diberikan oleh seorang temannya, Ken. Pria itu adalah sahabat sekaligus sekretarisnya.Kena tahu segala sesuatu tentang Arga, begitupun dengan Arga. Mereka sudah berteman cukup lama, sehingga tidak ada hal yang perlu ditutupi lagi.“Jadi, kau benar-benar akan menikah?”Arga tidak menjawab, ia memilih untuk menikmati minumannya meski saat ini isi kepala pria itu masih rumit.Pandangannya terus tertuju ke arah luar apartemen, menikmati keindahan city light di malam hari. Karena saat ini, dia sedang duduk santai di apartemen Ken.“Ga, mau sampai kapan?”Pertanyaan itu menarik perhatiannya. Dia meletakkan gelas wine di atas meja, lalu menatap ke arah Ken yang berdiri, sambil bersandar di kaca jendela.“Mau sampai kapan terus-terus mengalah? Kau tidak bisa menjadi penanggung jawab untuk semua kesalahan Rican, Ga! Kau juga perlu bahagia!”Masih tidak ada jawaban dari bibi Arga. Dia sibuk dengan pikirannya
Entah bagaimana caranya, Arga bisa masuk ke dalam unit apartemen Dea. Dan sekarang dia sedang memperhatikan Deandra, yang tertidur di atas lantai, di pinggir kasur.“Dia menangis begitu lama sampai kelelahan?” tanya pria itu dengan suara pelan. Lalu menggelengkan kepala.Kemudian pandangannya tertuju ke arah dua manekin yang sudah terjatuh. Arga mendekati benda itu, lalu menyentuh gaun pengantin berwarna putih.“Sayang sekali. Kau mencintai seorang pria brengsek yang tidak tahu terima kasih.”Tatapan pria itu seperti mengasihani, seolah menganggap jika Deandra benar-benar bodoh dan malang.Arga memperbaiki posisi manekin yang terjatuh. Lalu dia menghampiri Dea dan mengangkat tubuh gadis itu. Dia membaringkannya di atas kasur, dalam beberapa detik dia memandangi wajah yang masih basah dengan air mata.“Air matamu terlalu sia-sia untuk menangisi orang seperti dia.”Pria itu berbalik, dan kembali berhe
Bagai disambar petir di siang hari yang cerah, Dea tertegun bahkan napasnya sampai berhenti dalam beberapa detik.Dia menatap Didi, tapi lidahnya terasa kelu dan tenggorokan seakan tercekat. Dea benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.“De, kau baik-baik saja?” tanya Didi, karena dia menyadari perubahan ekspresi Dea juga wajah yang tampak pucat.“Minum dulu De. Kau harus tenang!” Pria itu memberikan segelas air minum, yang berada di atas meja.Tapi, berita yang disampaikan Didi benar-benar menghancurkan seluruh harapan dan juga hati Dea. Sampai-sampai dia merasa jika saat ini, dirinya sedang bermimpi.“Me-menikah? Maksudmu?” tanya Dea, setelah dia berusaha menyadarkan diri dari keterkejutannya.“Iya,” jawab Didi dengan pelan, dan terdengar seperti gumaman, “dan, sebenarnya dia sudah punya anak, De.”Namun, detik kemudian Dea malah terkekeh saat mendengar ucapan terakhir Didi. Rasanya terlalu mengada-ngada, dan tentu saja dia tidak ingin percaya.“Di, kenapa harus berbohong sih?”“
Sampai detik ini, Dea masih berusaha menghubungi Rican. Karena dia butuh penjelasan untuk semua ini.“Ric, plis Sayang. Kamu dimana?”Dea mengusap air matanya, dia terlalu lelah menangis untuk hari ini. Seharusnya dia bahagia untuk mengurus pernikahan mereka, seharusnya sekarang dia dan Rican sibuk melakukan sesi foto.‘Hal kecil seperti ini saja kamu tidak tahu. Pantas saja dengan mudahnya Rican membodohimu.’Entah kenapa ucapan Arga terngiang-ngiang di kepalanya. Memangnya dibagian mana Rican membodohinya? Bukankah selama ini mereka saling terbuka? Tidak ada rahasia antara mereka.Seketika Dea berhenti menangis, dia kembali bimbang dengan apa yang terjadi saat ini. Benarkah Rican sedang membohonginya sekarang? ‘Kenapa semua ini semakin rumit sih?’“Nate,” gumamnya, saat melihat adiknya itu duduk di taman rumah. Seketika dia ingin agar Nate membantunya.Dengan langkah tergesa Dea berlari keluar kamarnya. Bahkan ketika dia sampai di lantai bawah, Laras yang masih berada di sana mengh







