Langit orange senja kini perlahan berganti menjadi kelam dengan perlahan, waktu pun sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Tak seperti biasanya, kini ruangan tamu keluarga Pradigta tak sesunyi biasanya padahal di hari-hari lainnya ruang tamu itu tak sama sekali dihunyi oleh seorang pun, mungkin ruang tamu tersebut hanya sebagai hiasan yang ada dirumah mewah tersebut.
"Meong..." Suara lirih seekor kucing pun akhirnya memecahkan keheningan yang ada di ruangan itu.
"Pussy sini," panggil Arora sambil menepuk-nepuk sofa kosong yang ada disebelahnya.
"Meong..." Jawab kucing kecil yang sedang Arora panggil tersebut sambil melangkahkan kaki mungilnya untuk segera pergi ketempat sang tuannya memanggil.
"Jangan dekat-dekat Bella terus ma! Ingat bulunya bisa buat asma kamu bangkit lagi Arora." Ujar Aldrich dengan tegas namun dengan nada yanb begitu lembut.
"Tapi kan hari ini mama baru megang Bella pa," protes Arora kepada Aldrich sambil mengerucutkan bibir merah ranumnya, tangannya pun mengelus kucing putih kecil yang ada disampingnya.
"Dengerin papa ma, papa lakuin ini buat kebaikan mama juga." Jelas Aldrich kepada Arora dengan nada selembut mungkin, ia tidak ingin perkataannya menyakiti perempuan yang selama ini selalu ada disisinya itu.
"Benar kata papa ma, biar aku bawa Bella keruangannya." Ucap Harsya menengahi Perdebatan kecil antara papa dan mamanya itu.
"Tap-"
"Gak ada tapi-tapian sayang, mas gak ingin asma istri mas yang cantik ini kambuh." Mendengar penuturan manis Aldrich sang suami membuat Arora akhirnya menyerah dan tersenyum simpul karena merasa malu dengan ucapan sang suami yang sedari dulu selalu romantis kepadanya.
Tak mau mendengarkan lebih lanjut keromantisan sepasang tuan dan nyonya Pradigta tersebut, Harsya langsung mengendong kucing putih tersebut di dekapannya dan sang kucing kecil pun nampaknya begitu enggan berpisah dengan belain yang diberikan Arora kepadanya namun tak berapa lama Bella melupakan kehangatan belain yang Arora berikan karena sekarang ia menemukan belain yang lebih hangat lagi, belain yang di diberikan majikan mudanya.
Aldrich sangat mencintai Arora begituan sebaliknya walaupun dulu Arora tidak percaya dengan cinta yang Aldrich berikan namun hidup bersama Aldrich dari tahun ke tahun membuat Arora akhirnya percaya dengan ketulusan yang suaminya berikan kepadanya, sudah tidak ada lagi keraguan terhadap cinta yang suaminya berikan.
"Tintong... Tingtong.... Tingtong..." Suara bel rumah mewah itu berbunyi dengan nyaring.
"Sepertinya calon besan kita sudah sampai pa." Ucap Arora dengan senyum bagihagia terpancar diwajahnya yang sangat muda walaupun usianya kini memasuki kepala lima namun beliau masih saja awet muda seperti baru berumur 30an."
Ayo ma kita sambut." Ajak Aldrich sambil merangkul pinggang milik istrinya.
Kedua pasangan Pradigta menyambut tamu mereka dengan ramah, selain calon besan ternyata ibu dari calon jodoh Harsya merupakan sahabat Arora ketika ia masih tinggal di Jerman.
Hanna yang merupakan ibu dari calon suaminya Harsya dulu pernah bersekolah di Jerman dan di sanalah ia dipertemukan dengan Arora, Arora sangat ramah dan baik kepada dirinya, banyak kejadian yang membuat dua wanita paruh baya itu kenapa kini menjadi sahabat.
Kisah persahabatan mereka tidak semulus yang terlihat, banyak masalah yang telah mereka lalui namun semua itu kini sudah tak jadi masalah karena selain menjadi sahabat, mereka juga akan menjadi besanan, hubungan yang telah mereka bangun akan menjadi lebih erat lagi.
Berbeda dengan Arora dan Hanna, Aldrich sang ayahnya Harsya sangat membenci suaminya Hanna karena mereka berdua adalah musuh sejak zaman SMA, mereka bagaikan dua orang yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa bersatu, ibaratkan minyak dan air sampai kapanpun mereka tidak akan pernah bisa menyatu dan bersatu.
Dharma mau menjodohkan anaknya karena alasan bisnis dan permintaan istrinya sedangkan Aldrich melakukan semua itu demi kebahagiaan sang istri, bagi Aldrich semua keiingin yang Arora inginkan harus dapat ia kabulkan bila tidak ia akan merasa dirinya tidak berguna.
Hubungan rumah tangga Hanna dan Dharma tidak seindah kelihatannya, namun dia sejoli itu begitu mampu menutupi segalanya dengan sangat rapi, Arora tau semua masalah yang menimpa sahabat karibnya itu namun ia tidak dapat berbuat apa-apa karena pada dasarnya cinta itu memang membuat siapa saja terjerat kepadanya dan menjadi bodoh saat itu juga bahkan logika cerdas yang mereka miliki tak mampu menandingi kekuatan dari cinta tersebut.
Walaupun Arora tau hubungan keluarga Angkasa tidak sehat namun ia tau bahwa anaknya Hanna memiliki sikap seperti sahabatnya itu, anaknya Hanna merupakan seorang pria dengan kepribadian yang sangat hangat sangat cocok dengan putrinya yang seperti kutub berjalan tersebut.
Arora melakukan semua ini bukan hanya untuk membuat hubungan persahabatanya lebih kuat namun ia juga ingin mendamaikan suaminya dengan sang suami sahabatnya dan yang terakhir ia hanya ingin putri kecilnya dapat bahagia, ia ingin melihat lagi semua senyum tulus yang putrinya punya saat pertama kali ia melihat putri kecilnya itu yang kini sudah beranjak menjadi wanita dewasa.
Bagi Arora perjodohan ini mungkin adalah sebuah harapan agar ia bisa sekali saja kembali melihat senyum manis milik anak semata wayangnya itu, ia tidak ingin apapun selain dari kebahagiaan putrinya, ia rela memberikan semua yang ia punya agar putrinya dapat tersenyum lepas seperti dahulu namun ia tidak tau harus melakukan apalagi, semua cara telah ia coba namun hasilnya nihil.
Arora tak sadar bahwa sikapnya kali ini akan membuat putrinya lebih terluka lagi, Arora berpikir inilah yang terbaik bagi hidup Harsya namun Arora tidak tau bagi Harsya ini adalah sebuah hutang yang harus ia bayar, Harsya sebenarnya sangat menderita karena perjodohan tersebut namun ia menerima apa saja yang kedua pasangan Pradigta perintahkan kepada dirinya karena ia harus sadar diri bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya makan siang gratis, jadi ia harus sadar diri dan membalas semua kebaikan sepasang suami istri itu berikan kepada dirinya.
Harsya hanya seorang gadis kecil yang ingin mengharapkan cinta dari orang-orang disekelilingnya namun hatinya terlalu buta karena kehidupan yang telah ia jalani sungguh keras, dihidupkan tidak ada yang namanya cinta dan ketulusan, ia hanya mengenal kata "Bila kau ingin bahagia kau harus bekerja keras untuk mendapatkan, tidak ada seseorang pun di dunia ini yang mau memberikan sesuatu kepada orang lain dengan percuma."
"Eh anakmu mana Han?" Tanya Arora kepada Hanna sambil melihat kiri-kanannya.
"Tadi sore dia baru ngabarin kalo datangnya gak telat karena tiba-tiba ada urusan pekerjaan yang sangat penting, maaf ya Ra." Ujar Hanna menjelaskan semuanya kepada sang sahabat, ia tidak ingin anaknya di cap bermain-main dalam pernikahan ini.
"Oh gitu gak apa-apa kok, aku maklum lagian Harsya juga gitu suka ada aja urusan mendadak, ya namanya juga bisnis Han jadi gak ketebak urusannya." Balas Arora dengan pengertian karena anaknya dan sang suami juga sering seperti itu kadang membuat dirinya amat teramat jengkel namun apa boleh buat karena itu semua tuntutan pekerjaannya.
"Aduh kok jadi ngobrol disini, ayo masuk mas Dharma dan Hanna, kita ngobrol didalam." Arora mempersilahkan kedua tamu istimewanya itu masuk.
"nih minum dulu minumnya." Ujar Arora sambil meletakkan 2 gelas teh kedapan pasangan Angkasa tersebut. "Eh anak kamu yang cantik itu mana Ra? Kok gak keliatan dari tadi." Tanya Hanna sambil menyeruput pelan teh yang ada didepan matanya. "Tadi dia letakin Bella ke kamarnya, eh itu dia datang." "Malam om tante." Sapa Harsya dengan senyum tipis khas miliknya. "Oh ini toh anak kamu Ra, cantik ya bahkan lebih cantik ya pa daripada di foto." Ungkap Hanna sambil melirik kearah suaminya, Dharma Angkasa yang sedang menatap tajam kearah Aldrich sang musuh dan sebentar lagi akan menjadi besannya, kalo bukan karena urusan bisnis mungkin ia tidak akan mau berbesanan denga musuh abadinya tersebut. "Iya kamu cantik gak kayak-" "Kayak siapa? Jelas itu anak saya jadi pasti dia cantik, bapaknya aja ganteng kayak gini." Sela Aldrich dengan muka sewot. "Baru tau ada orang ganteng muji diri sendiri, cih." Desis Dharma tak mau mengalah. "Sud
"Jadi apakah Dana dan putri cantik papa bersedia akan perjodohan ini?" Tanya Adlrich dengan serius kepada dua anak muda itu. "Gak usah pakai ditanya segala, Dana kamu siapa kan?" Jawab Dharma sambil memandang tajam kearah sang putra. "Harsya setuju, apapun yang papa mama inginkan dari Harsya, Harsya siap lakuin apapun asal papa dan mama menginginkan itu semua." Ujar Harsya dengan ekspresi dingin. Arora hanya melihat sendu kearah sang putri, demi tuhan ia hanya ingin yang terbaik untuk putrinya, ia hanya ingin putrinya bahagia, tidak lebih. "Kami akan menjalani om." Ujar Dana dengan pasrah karena ia juga tidak bisa menolak apalagi wanita dingin yang ada dihadapannya sudah setuju jadi tidak ada lagi alasan baginya untuk menolak, sebenarnya ia sungguh kasihan dengan wanita cantik yang ada dihadapannya, wanita itu terlihat begitu kuat namun Dana sadar wanita itu hanya sedang menutupi semua kelemahan dan ketidakberdayaan dengan bersikap cuek terhadap sekit
"Lupa nyetrika muka ya buk." Goda Fajar melihat muka Harsya yang sangat kusut itu."Bisa diem gak!" Sahut Harsya dengan sinis."Jarang galak-galak buk entar saya jadi cinta loh," nampaknya Fajar sangat senang menggoda seorang Harsya."Keluar dari ruangan saya!" Harsya jengah dengan godain sang sahabat sekaligus sekretarisnya, Harsya hanya ingin istirahat namun nampaknya tak bisa."Kalo saya keluar entar ibuk kangen loh." Fajar begitu menikmati setiap ekspresi yang Harsya keluarkan."Fajar aku lagi cape, jadi jangan bercanda deh." Akhirnya Harsya menggunakan bahasa informal juga, berarti cara Fajar memancing Harsya itu berhasil."Ada masalah apa?" Fajar langsung mengambil posisi duduk didepan mejanya Harsya."Jadi tadi malam, mama papa ngenalin aku sama cowok dan nampaknya kami akan menikah dalam waktu cepat.""Degghh..." Ulu hati Fajar seketika berdenyut sakit."Kamu serius kan?" Ucap Fajar dengan senyum getir diwajahnya
Kini waktu telah menunjukkan pukul 1 siang dan sudah waktunya untuk makan siang dan Harsya pun terbangun dari tidur lelapnya, ia kembali memasang muka datarnya seperti tidak ada yang terjadi.Ia pun melihat sekeliling ruangan sangat rapi sepertinya Fajarlah yang telah merapikan ruang tersebut, Harsya pun langsung bangkit dari tidurnya dengan kepala yang sedikit pusing karena ia banyak menangis tadi di tambah tadi malam gadis itu tidak dapat memejamkan matanya sedetik pun.Setelah merapikan dirinya dikamar mandi, kini Harsya sudah kembali Fresh dan sepertinya tidak terjadi apapun terhadap gadis itu.Harsya menghapiri Fajar yang berada di depan ruangannya, Fajar nampak begitu sibuk dengan semua file-file yang ada di tangannya kanannya dan tangan kirinya pun asik mengetik, Fajar sangat terlihat tampan bila lelaki itu sedang serius seperti saat ini."Jar kita makan siang dulu yuk," Ajak Harsya kepada bawahannya sekaligus sahabatnya itu."Dikit lagi buk
"Pelan-pelan dong Sya makannya, sampe belepotan begini." Omel Fajar kepada Harsya yang sedang menikmati bebek bakarnya, ia tidak memperdulikan bibirnya yang celemotan karena bumbu bebek bakarnya."Enak tau!" Balas Harsya tanpa memperdulikan omelan lelaki yang ada dihadapannya itu baginya makan bebek bakar itu harus dinikmati dengan seksama tanpa adanya etika yang selama ini menuntut dirinya untuk tampil secara anggun di setiap situasi, hal itu sangat melelahkan baginya.Fajar yang tak tahan melihat bibir wanita didepannya kotor itu pun langsung mengambil tisu dan membantu Harsya membersihkan bibirnya dan Harsya pun tampak begitu biasanya saja dengan perlakuan yang Fajar berikan kepadanya, mungkin bila wanita lain yang diberlakukan seperti itu ia akan meleleh namun tidak dengan Harsya si gadis kutub."Aku gak bakal ngambil kok, jadi yang pelan ya makannya." Ujar Fajar dengan lembut mengusap rambut tebal milik Harsya, "Nih aku tambahin lagi." Lanjut Fajar sambil m
Ardana Angkasa adalah namaku, nama yang indah namun tidak seperti kelihatan, keluargaku sangat berantakan apalagi dengan papa yang memiliki sikap yang ambisius dan juga merupakan lelaki yang tidak setia yang membuat aku muak berada di keluarga yang penuh kebohongan ini. Andai aku tidak menyayangi mama, mungkin aku akan membunuh lelaki itu, lelaki yang tidak pantas aku sebut sebagai papa itu namun mama dengan segala kebodohan malah mencintai lelaki seperti itu, aku tidak habis pikir dengan semua pola pikir yang mama punya, ia sudah disakitin berkali-kali namun ia rela memaafkan lelaki brengsek itu! Terkadang aku sangat iri dengan anak-anak lain yang memiliki keluarga yang sangat harmonis, mereka selalu di limpahi kasih sayang oleh kedua orang tua mereka, tapi tidak dengan ku. Dari kecil aku hanya melihat mama menangis karena selalu di pukuli oleh papa, dulu aku pernah melaporkan semua kejadian itu kepada kakek dan kakek pun sangat marah kepada papa namun mama
"Aku lelah dengan semua ini, aku benci kehidupan ini namun mengapa Tuhan begitu senang menyiksaku.Hidup sebagai alat itu sangat menyedihkan bahkan untuk urusan seorang pendamping pun aku masih di atur-atur oleh keluarganku, hidupku hanya sebuah bisnis bagi papa, aku lelah tapi mengapa dengan bodohnya aku mau menuruti kata mereka kepadaku.Hari ini aku merasa sedikit bersalah terhadap gadis itu namun ini sepenuhnya bukan salah tapi kesalahan orang tua kami.Lagian buat apa gadis itu marah, bukannya hubungan kami hanya sebuah transaksi bisnis jadi buat apa dia marah, dasar gadis yang aneh.Aku tidak sepenuhnya bersalah di sini karena aku hanya mengikuti apa yang kedua orang tuaku perintahkan dan soal Maya aku tidak ingin dipisahkan dari sahabat yang selama ini bersama ku sejak aku kecil.Tapi aku pastikan ketika gadis itu serius terhadap hubungan kami, aku akan lebih serius kepadanya namun aku tidak akan menjauhi Maya karena Maya adalah segalanya ba
""Fajar kita balik sekarang!" Sahut ku dengan paksa menarik lelang kekar milik Fajar agar lelaki itu tidak menolak permintaanku."Iya-iya sabar Sya." Jawab Fajar sambil berusaha menyamakan langkahnya dengan langkahku yang sedang berlari kecil seperti sedang menghindari hantu saja tapi kali ini lebih seram dari hantu karena aku harus menghindari pria brengsek seperti dirinya yang sangat senang berpura-pura baik itu padahal ia sama saja dengan lelaki brengsek di luaran sana.Kali ini aku duluan yang memasuki mobil setelah mobil yang aku tumpangi di buka kuncinya oleh Fajar, aku tidak menunggu Fajar membukakan pintu untuk ku karena aku sudah muak rasanya berada di sini, aku tidak ingin bernafas dengan oksigen yang sama dengan lelaki Bangs*t itu hirup.Fajar tentu sangat keheranan dengan semua sikapku namun aku tidak peduli, aku hanya ingin sendiri untuk saat ini."Fajar antarin aku ke rumah." Titahku dengan nada sedingin mungkin, demi tuhan aku ingin kembali