Share

Calon Istrimu

last update Last Updated: 2025-06-02 08:23:28

"Calon istrimu memanggil, tuh, Mas. Aku duluan, ya." Saat aku hendak pergi lagi, Mas Ali terus mencegah dengan menggenggam tanganku.

"Yu ...."

Kami sama-sama menatap Dinda yang berjalan dengan agak pincang sambil membawa gagang besi yang ada kantung infusnya. Setelah dia sampai, hanya Mas Ali yang dia tatap.

"Aku duluan, Mas. Ibuku menunggu di kamar." Aku mencoba melepaskan tanganku lagi.

"Ayu ... aku ingin bicara denganmu," celetuk Dinda. Hingga membuatku harus mengurungkan langkah.

"Maaf, Dinda. Yang kamu butuhkan Mas Ali. Bukan aku. Silakan saja kalau kalian ingin berduaan lagi," ketusku seraya melengos karena tak tahan melihat wajah sahabat yang sudah berkhianat itu.

"Bukan itu yang ingin aku bicarakan denganmu, Yu. Lebih baik kita duduk dulu saja. Aku minta waktumu sebentar saja. Tolonglah, Yu!" Dengan wajah melas dia mengiba.

"Ayu, kasihanilah Dinda. Dia hanya ingin tidak ada kesalahpahaman diantara kalian," imbuh Mas Ali.

Aku tidak menjawab lagi. Kuberi mereka kesempatan menjelaskan. Jika aku tak sanggup lagi dengan rencana mereka, aku tidak akan bertahan lagi.

Akhirnya, kami bertiga duduk di dalam ruangan Dinda di rawat. Mas Ali sengaja duduk di sebelahku sambil menggenggam tanganku. Dia tak mau melepaskannya.

"Dengan alasan apa pun, aku tak ingin pisah denganmu, Yu. Aku tidak bisa hidup tanpamu," bisiknya saat Dinda tak melihat kami. Tapi, aku tidak percaya lagi dengannya.

Aku menghela napas agar Dinda sadar, aku tidak banyak waktu di sini. Sesaat kemudian, dia mendongak lalu tersenyum tipis.

"Mas Ali, boleh kah aku minta tolong ambilkan air? Kebetulan di meja habis," katanya sambil mengulas senyum lagi pada suamiku.

Mas Ali terlihat bingung. Dia menatapku dengan tatapan ragu. Tapi, herannya aku dia selalu saja mengikuti apa mau Dinda.

"Oke. Aku keluar dulu," ucap Mas Ali lalu keluar.

Setelah pria berkemeja putih itu keluar, kini tinggal aku dan Dinda saja di dalam ruangan. Lagi-lagi aku menghela napas panjang.

"Ayu, aku tau kamu sangat mencintai Mas Ali. Sebagai sahabatmu, aku paham bagaimana perasaanmu." Dia menunduk.

"Langsung aja pada inti pembahasannya. Tidak perlu berbelit-belit," tukasku.

"Aku ingin jujur sama kamu. Maafkan aku sebelumnya." Pakai acara menangis segala dia. "Sebenarnya ... aku dan Mas Ali sudah menjalin hubungan sebelum kamu kenal dia."

Bagai petir menyambar batin malam itu. Kudengar hujan pun turun begitu derasnya. "Terus? Sekarang kamu mau minta dia? Setelah suami kamu meninggal? Kamu enggak malu, Din? Kamu enggak mikirin gimana suami kamu di alam kubur? Melihat istrinya mengejar-ngejar suami orang, hah? Aku enggak habis pikir, Din!"

"Bukan gitu, Yu. Dengarkan aku dulu!" Dia sesenggukan. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Ibunya Mas Ali yang meminta kami untuk menikah. Semua demi kebaikan kita. Beliau itu tidak mementingkan dirinya sendiri."

"Kenapa harus Mas Ali, Din? Kenapa?" Aku menahan diri. "Apa tidak ada laki-laki lain di luar sana, hah?"

Dia makin sesenggukan. "Karena aku adalah cinta pertamanya. Dia bilang saat kuliah dulu, aku lah cinta pertama dia. Lalu dia mengenalkan aku pada ibunya. Ibunya menyuruh kami segera menikah setelah lulus waktu itu."

Dadaku makin panas rasanya. Aku tak tahan lagi ingin segera pergi. Tapi, aku masih ingin mendengar apa lagi yang akan dia katakan.

"Dia terpaksa menikahimu karena keinginan ayahnya waktu itu. Terakhir kali dia mengirim pesan sesaat sebelum akad nikah kalian, suatu saat dia akan menikahiku."

"Apa lagi yang hendak kamu katakan, Din? Kamu sahabatku sejak kecil. Tapi ini balasanmu? Apa yang kamu inginkan sekarang? Mas Ali? Ambil saja dia! Aku tidak butuh lagi. Bujuk dia agar menceraikanku secepatnya!" Dengan derai air mata yang sudah membuncah dan gemetar tubuh, aku berdiri lalu pergi dari ruangan itu.

Sambil mengusap wajah dan memegangi dada yang sesak, aku bergegas kembali ke ruangan ibu. Sampai aku lupa, pagi ini harusnya aku berangkat kerja di toko roti dekat rumah. Karena tak tahan lagi, akhirnya aku mencari ketenangan dengan kembali ke ruangan ibu.

Aku memeluknya erat. Hanya ibu yang bisa membuatku lebih tenang. Pelukannya yang bisa membuatku sedikit lega dan bisa menghirup udara lagi.

***

Hari ini, tepat dua Minggu ibu di rawat di rumah sakit. Sekarang sudah dibolehkan pulang. Tanpa ditemani Mas Ali, aku sendiri yang membantu ibu berjalan ke luar rumah sakit hingga masuk ke dalam taksi.

Ponsel dalam tas bergetar bersamaan dengan mobil taksi berjalan. Ibu menoleh padaku yang tak kunjung mengangkat panggilan.

"Kenapa enggak diangkat, Yu?" tanya ibu.

"Biar kita sampai di rumah dulu aja, Bu."

"Kasian yang nelpon. Pasti nungguin. Gimana kalau penting nanti?"

"Enggak ada yang penting, Bu." Aku sebenarnya malas mengangkat panggilan dari Mas Ali.

Setelah kami sampai di rumah, aku membantu ibu turun dan masuk ke dalam. Kuminta ibu istirahat di kamar saja. Tapi, ibu malah ingin duduk di samping rumah. Katanya kangen dengan tanaman hiasnya.

"Yu, sudah jam delapan. Kamu pergilah ke toko Mang Ujang. Sudah berapa hari kamu tidak masuk? Nanti enggak enak sama orangnya," kata ibu sambil memegang tanganku.

"Iya, Buk."

"Oh ya, kenapa akhir-akhir ini Ali tidak sama kamu, Yu? Apakah kalian marahan?"

"Em, enggak, Buk. Enggak usah pikirkan kami. Semua baik-baik saja, kok."

"Ya sudah kalau begitu. Cepat berangkat, ibu enggak enak sama Mang Ujang."

Aku mengikuti apa kata ibu. Meskipun menjadi istri seorang pegawai kantoran, aku tidak malu kerja di toko roti. Yang penting, hasilnya halal dan aku bisa memberikannya pada ibu. Sebagai baktiku sebagai anak.

Sampai di toko, aku menceritakan semuanya. Sebab-sebab kenapa aku tidak masuk. Dan mereka, memaklumi itu. Setelah kembali kerja lagi, aku sengaja pulang telat karena tak enak dengan pemilik toko yang sudah bermurah hati.

"Ayu! Tuh, ada yang nyariin di luar," ucap Mbak Gendis, salah satu karyawan toko juga yang tiba-tiba menoel pundakku.

"Apa? Siapa, Mbak?" Aku melebarkan mata.

"Suami kamu lah, siapa lagi." Dia tertawa.

"Ngapain sih dia ke sini?"

"Mana kutau. Gih, buruan ke sana. Mumpung ini udah mau habis jam kerjamu."

"Ya udah."

Aku segera melepas celemek lalu mencuci tangan di wastafel. Saat aku keluar dari dapur, kulihat Mas Ali sudah duduk di kursi pengunjung sambil menungguku. Saat aku sudah di dekatnya, dia langsung berdiri.

Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi langsung menyentuh tanganku. "Habis ini kamu enggak usah kerja-kerja lagi, ya! Aku yang tanggung semua kebutuhan kamu dan ibumu."

"Maaf, Mas. Aku enggak bisa. Aku enggak enak sama ibumu, Mas. Apalagi sebentar lagi Mas bakal nikah. Bakal keluar uang banyak."

"Sayang, jangan bilang begitu. Kau tetap istriku."

"Tapi dia cinta pertamamu. Aku sudah tau semua, Mas." Air mataku mengalir. Untung saja tidak banyak orang.

"Kamu tau apa? Kamu tidak tau masa laluku, Yu. Yang perlu kamu tau adalah sekarang dan selamanya aku akan terus mencintaimu, Yu. Setelah ini aku mau kamu tidak usah kerja."

Aku masih diam karena bingung. Sikap Mas Ali tidak berubah, dia tetap manis padaku. Tapi ....

Tak lama, ponsel dalam sakuku bergetar. Aku langsung mengangkatnya karena khawatir ibu yang menelpon. Dan ternyata, nomor tetangga. Tumben sekali?

"Hallo, Tante?"

"Hallo, Yu!" Suaranya terdengar kencang sekali. "Ibumu, Yu! Ibumu!"

"Ibu kenapa, Tan?" Dadaku sakit tiba-tiba.

"Ibumu udah enggak ada!"

Seketika itu, tubuhku lemas. Langsung ditangkap oleh Mas Ali. "Ayu! Kamu kenapa, Sayang?"

bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama Mas Ali    Malam Berdua

    Malam itu, langit Jakarta seolah ikut merayakan kebahagiaan yang sudah lama ditunggu Biantara dan Aisyah. Setelah berbagai ujian yang mendera, terutama dengan hadirnya Rani yang sempat membuat hubungan mereka retak, akhirnya semua usai dengan keadilan. Rani resmi dipenjara karena fitnah dan segala rencananya terbongkar.Hari-hari setelah vonis itu, Aisyah seperti kembali menjadi dirinya yang dulu ceria, manja, dan penuh cinta. Senyum yang dulu sempat hilang kini kembali merekah setiap kali menatap Biantara. Sementara Biantara, setiap kali melihat senyum itu, hatinya terasa hangat. Ia tahu, inilah rumah sejati yang selama ini ia cari.Malam Pertama.Di sebuah kamar hotel mewah yang sudah mereka siapkan untuk bulan madu singkat, Aisyah duduk di tepi ranjang dengan gaun tidur sederhana berwarna putih gading. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena gugup.Biantara masuk setelah baru saja mengganti pakaiannya. Kemeja putih tipis membalut tubuhnya, rambutnya masih basah habis ma

  • Cinta Pertama Mas Ali    Kesalahpahaman

    Bian berhasil menarik koper Aisyah sebelum istrinya benar-benar keluar dari pintu. Nafasnya memburu, wajahnya pucat karena takut kehilangan.“Aku nggak pernah ketemu siapa pun semalam, Syah. Aku pulang langsung sama kamu, kan? Tolong percayalah,” ucap Bian dengan nada bergetar.Aisyah menggigit bibirnya. Air matanya jatuh, tapi rasa sakit di hatinya lebih keras. “Lalu foto ini? Pesan ini? Apa artinya kalau bukan bukti?”Bian buru-buru menunjukkan riwayat panggilan dan pesan di ponselnya. Tak ada satu pun jejak percakapan mencurigakan, hanya nomor asing yang tiba-tiba mengirimkan gambar dan tulisan provokatif.“Ini jebakan. Seseorang sengaja bikin kamu marah sama aku,” tegas Bian. “Kalau aku salah, aku berani sumpah di hadapan Allah, Syah.”Aisyah menatap lama pada suaminya. Tubuhnya gemetar, antara ingin percaya atau masih diliputi rasa curiga. Hingga akhirnya, sebuah pesan baru masuk.Nomor yang sama menuliskan: “Kamu akan segera kehilangan segalanya, Biantara. Lihat saja.”Kali ini

  • Cinta Pertama Mas Ali    Bayang Di Balik Foto

    Rumah itu kini terasa begitu asing bagi Aisyah. Dinding yang dulu bergema oleh tawa, kini hanya memantulkan suara langkahnya sendiri. Perempuan itu duduk di sofa dengan wajah murung, menatap kosong layar televisi yang tak dinyalakan. Senyum yang dulu mudah muncul, kini seakan hilang bersama ketenangan hatinya.“Bang,” panggilnya lirih ketika Biantara baru saja menggantung seragam dinasnya di kamar.Bian menoleh, masih dengan wajah lelah setelah penerbangan panjang. “Kenapa, Sayang?” tanyanya pelan, berjalan mendekat.Aisyah menunduk. Ada jeda yang cukup panjang sebelum ia akhirnya berkata, “Aku ingin pulang ke rumah Babe. Mungkin ... untuk sementara waktu.”Biantara terdiam. Jantungnya serasa diperas. “Kenapa ngomong gitu?” Suaranya meninggi sedikit, walau ia berusaha menahannya.Aisyah mengangkat wajahnya, matanya sembab. “Aku lelah, Bang. Aku ... nggak sanggup lagi. Aku ingin menenangkan diri. Aku nggak ceria lagi seperti dulu. Kamu juga pasti sadar.”Bian mendekat, duduk di samping

  • Cinta Pertama Mas Ali    Sulit Dipercaya

    Suasana rumah yang biasanya hangat kini terasa dingin. Malam itu, Bian duduk di ruang tamu dengan wajah serius, sementara Aisyah masih memeluk bantal di sofa seakan mencari perlindungan dari gelombang emosi yang tak menentu.“Aisyah,” panggil Bian dengan suara rendah, menahan sabar. “Tolong sekali lagi dengarkan aku. Wanita di foto itu bukan siapa-siapa. Dia cuma pramugari senior yang kebetulan satu tim. Kami rapat sebentar di kafe dekat hotel. Itu aja.”Aisyah menoleh, matanya merah. “Tapi kenapa harus berdua? Kenapa harus di tempat terbuka begitu? Mas tahu sendiri aku lagi belajar percaya. Kok malah dikasih bukti yang bikin aku ragu?”Bian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Aku salah kalau nggak cerita dulu. Aku kira hal sepele, ternyata bisa jadi besar begini.” Ia menatap dalam mata Aisyah. “Aku nggak main-main sama kamu. Hidupku sekarang ya kamu, Aisyah.”Aisyah menggigit bibir, hatinya dilanda dilema. Kata-kata Bian terdengar tulus, tapi bayangan foto itu terus menghantui.K

  • Cinta Pertama Mas Ali    Antara Cinta dan Curiga

    Pagi itu, bandara Soekarno-Hatta tampak ramai. Aisyah menggenggam erat tangan Biantara. Sudah berkali-kali ia mencoba tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Baru seminggu menikah, ia harus merelakan suaminya kembali bertugas sebagai pilot, dan kali ini bukan sekadar penerbangan domestik, tapi internasional. Shanghai. Beberapa hari tanpa Bian terasa seperti ancaman kecil bagi hati Aisyah yang baru saja belajar terbiasa dengan kehadiran lelaki itu setiap saat.“Sayang, jangan sedih gitu dong,” ucap Bian, suaranya lembut sambil mengusap pipi istrinya. “Hanya empat hari. Nanti aku pulang lagi, bawain kamu oleh-oleh banyak.”Aisyah menunduk, lalu menggembungkan pipinya. “Empat hari itu lama, Bang. Apalagi setelah resepsi, kita belum sempat benar-benar lama berdua di rumah baru. Eh, sekarang ditinggal terbang jauh.”Bian tertawa kecil, lalu menunduk mendekat, berbisik di telinga istrinya. “Kalau aku nggak kerja, gimana bisa beliin kamu sofa baru sama oven buat bikin kue? Hm?”Aisyah mendelik

  • Cinta Pertama Mas Ali    Rumah Baru

    Malam semakin larut ketika mobil yang membawa Bian dan Aisyah akhirnya meninggalkan gedung resepsi. Dua hari setelah akad di rumah Aisyah , keluarga. Bian mengadakan resepsi di gedung mewah. Lampu-lampu kota Jakarta berkelip indah, seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka. Aisyah bersandar di kursi mobil, masih dengan riasan tipis yang mulai luntur, tapi justru membuat wajahnya tampak natural.“Capek?” tanya Bian sambil melirik ke arahnya.“Banget,” jawab Aisyah sambil menguap kecil. “Dari pagi senyum terus. Rasanya pipiku kram.”Bian tertawa. “Aku juga. Kalau ada lomba senyum terlama, kita pasti juara.”Aisyah ikut terkekeh, lalu memandang keluar jendela. “Kita pulang ke rumah orang tuaku dulu, ya?”Bian tersenyum misterius. “Nggak. Aku ada kejutan.”Aisyah langsung melirik dengan dahi berkerut. “Kejutan? Jangan-jangan kamu mau bawa aku ke bandara, Bang?”“Eh, idenya bagus juga. Tapi bukan. Kita akan ke rumah baru kita.”Mata Aisyah membesar. “Serius? Rumah yang kamu bilang lagi dire

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status