Share

Mina

"Iya, sih Mas. Kalau boleh saya bilang, sebenarnya Mas itu orang kedua yang mengetahui kriteria yang diinginkan Mina. Sayalah orang pertama yang sering diajaknya membahas tentang cinta, dan darinyalah saya banyak belajar. Jika bukan karena kutipannya, saya pasti sudah lama menjadi pria yang masuk dalam barisan sakit hati, heheheh .... Menurutnya, cinta sejati adalah yang mampu membangkitkan jiwa, tidak pernah menyerah, dan siap berjuang dengan mengorbankan apa pun." Aku menanggapi cerita Sena dengan sok bijak.

Aku pun melanjutkan, "asalkan Mas tahu, saya adalah orang yang seperti telah mendapat pencerahan dari seorang Mina. Bayangkan saja Mas, pria mana sih yang tidak cemburu dan iri hati melihat Mas dicintai oleh Mina? Seorang wanita muda tajir melintir, yang dibebaskan dalam mencari calon suaminya nanti, mengejar-ngejar seorang pedagang Martabak, dan tak menyerah meski sudah sering ditolak. Namun karena saya sudah lulus kuliah percintaan yang didirikan Mina di mobilnya, hahahah ... saya jadi memiliki dada yang sangat lapang. Seperti yang saya kutip dari pernyataannya, 'Ketika seorang wanita menemukan pria yang dicintainya — dalam hal ini Mina adalah wanita yang dimaksud, sesungguhnya wanita itu sedang menemukan organ tubuhnya yang hilang.' Jadi, secemburu apa pun saya, jangan harap Mina akan merasa cocok dengan saya."

Aku pun menyeruput kopi hitamku agar tak kehilangan sensasi hangat yang dikandungnya. Sena tampak mencerna kata-kataku tadi. Sepertinya dia mulai mengerti mengapa Mina begitu bersabar dalam berjuang untuk memilikinya.

"Apakah cinta harus memiliki?" tanya Sena padaku.

"Menurut Mina sih, iya. Begitu pun saya sebagai muridnya."

"Lalu bagaimana jika saya tidak mencintainya? Apakah dia masih tetap ingin hidup bersama?"

"Begitulah, Mas. Cinta sejati adalah yang rela mencintai, bukan dicintai. Mina tidak pernah membuatku percaya bahwa ada sepasang kekasih yang saling mencintai di dunia ini. Kemungkinannya kecil sekali, dan sepertinya itu hanya ada di dalam kisah dongeng. Tuhan menciptakan manusia untuk memilih peran, apakah dia rela dicintai atau mencintai. Ketika Mas menikah dengan Mina, dia tidak akan memaksa dicintai oleh Mas. Karena Mina lebih memilih hidup dengan pria yang dia cintai, bukan dengan pria yang mencintai tetapi Mina tidak mencintainya. Contohnya aja saya, Mina tidak akan mau menikah dengan saya karena saya bukanlah pria yang dicintainya, hahahah ...."

"Berarti Mina itu seorang wanita yang memiliki prinsip kuat ya ...."

"Iya, Mas. Sangat tepat. Mina itu kan wanita tajir melintir, tentu bukan harta pria yang diincarnya. Sebaliknya, kebanyakan wanita memilih dicintai pria tajir daripada mencintai pria miskin. Mereka ingin merasakan hidup bahagia dengan bergelimang harta dari suaminya. Begitu pun pria, Mas, seandainya saya tidak pernah mencintai Mina, pasti saya kan sangat senang jika Mina mengajak saya menikah. Karena ya itu tadi, harta." jawabku layaknya seorang pencerah.

"Jadi menurutmu, saya harus bagaimana. Apakah saya terima saja cinta Mina lalu menikah dengannya?"

"Itu sih terserah, tergantung prinsipnya Mas. Jika Mas mau menikah dengan Mina hanya karena harta, dia tidak mempermasalahkannya kok. Karena dia mencintai Mas. Lagi pula, harta Mina itu tidak akan habis ssmpai 17 turunan. Jadi dia tidak khawatir jika menikah dengan pria yang hanya memandangnya karena harta. Seperti yang kubilang tadi, kalau saya di posisi Mas, tentu saya tidak akan menolaknya."

"Lalu bagaimana dengan kisah cinta Amang?" Sena bertanya dengan gerakan yang menggambarkan penasarannya.

"Sampai saat ini saya belum mencintai siapa pun Mas, tetapi saya berdoa agar Tuhan tidak membuatku mencintai wanita kaya. Bisa-bisa gak akan menikah nanti, karena pasti ditolak, hahahah ... saya berharap bisa seberuntung Mas, dicintai wanita tajir melintir."

"Gaji Amang berapa sih?"

"Waduh ... kok nanya gaji Mas. Yang pasti lebih besar dari gaji pejabat DPR lah Mas," jawabku bangga.

"Hmmh ... mending aku jadi supir Mina aja kayak Amang."

"Yeee ... si Mas gak bersyukur nih ... mending dicintai lah Mas, bisa kaya tanpa perlu kerja dulu sama dia, hahahah ...."

"Ah, bisa aja si Amang."

Hahahah ....

Kami pun tertawa bersama. Obrolan ini sudah seperti guru dan murid pendidikan percintaan. Aku bangga bisa menguasilai ilmu ini, yah walau sebenarnya cuma sekadar prinsip sih .... Namun, aku senang bisa ditakdirkan dekat dengan orang-orang seperti mereka. Saya mengenal Sena sebagai pria yang tidak "Mata Duitan". Hidupnya mengalir penuh syukur, maka itulah wajar jika Tuhan memberikan anugerah terindah-Nya dalam bentuk seorang Mina.

"Kriiing ... kriiing ...."

Ponsel Sena berdering. Sepertinya panggilan dari Mina.

"Wah ... udah jam 9 nih Mas, itu pasti Mina yang telpon ...," ucapku. Sena memberi kode dengan tangannya agar aku berhenti berbicara, karena dia sesang mengangkat telpon

"Di Caffe bawah, Sayang ... iya, ada Amang. Kita lagi ngopi di sini." Sena menjawab telpon, ternyata benar itu dari Mina.

Sena pun menutup ponselnya, "Mina mau ke sini. Katanya kok tega gak ngajak-ngajak, heheheh ...."

"Kalau gitu pesanlah minuman untuk Mina, Mas. Pesankan teh manis aja dulu," ucapku pada Sena memberi ide.

"Ok." Sena pun memannggil pelayan, "Maaaas .... tolong sediakan teh manis yah ...."

Mina pun muncul secara tiba-tiba di hadapan kami. Tampak rapi, seper5inya baru saja ha is mandi. Aromanya sangat harum mewangi.

"Woy ... ngopi gak ngajak-ngajak ...!"

"Heheheh ... sorry Neng, tadi saya diajak Mas Sena."

"Kamu aja masih tidur kok, pulas dan ngorok," ujae Sena.

"Yeee ... saya gak pernah ngorok ya, sembarangan ...," sahut Mina.

"Hiliiiih ... duduk lah ...."

Aku serasa mau buang air kecil. Karena itu aku izin pada mereka untuk pergi ke kamar kecil. Sepanjang perjalanan, kulihat suasana Cafde sudah mulai ramai, matahari pun kian meninggi membuat suhu ruang menjadi lebih panas. Sepertinya lebih baik cari tempat lain yang lebih sejuk, pikirku.

Setelah keluar dari kamar kecil, aku pun kembali menghampiri mereka. Kulihat mereka baik-baik saja dan sedang tertawa bersama. Aku mengusulkan untuk pindah ke tempat nongkrong lain saja, yang lebih sejuk.

"Kita ke tempat lain yuk ... di sini panas."

"Bagaimana, Mina?" tanya Sena pada Mina, "eh ... kamu Booking hotel berapa hari?"

"Tiga hari, Yang ...," jawab Mina.

"Waduh ... lama amat. Emangnya mau ngapain aja selama itu di sini?"

"Bulan madu lah, Yang ...."

"Lah ... kamu gak kuliah emangnya?"

"Males, Yang ...."

"Dasar ...."

"Hahahah ...," aku pun teetawa mendengarnya. Kuliah gak kuliah, tetap aja si Mina tajir.

"Eh ... kenapa kita gak berenang aja di pantai?" Aku memberi usul pada mereka.

"Kayaknya enggak deh, Mang. Hari ini Mina gak semangat. Kita tidur aja lagi ya ...," ucap Mina. Membuat aku dan Sena tersentak.

Wajah Sena sepertinya prihatin, "Yaudah, Mang. Kita ikut maunya Mina aja, mingkin dia masih capek."

"Ok, Mas. Yaudah kalau gitu, aku ke kamar lagi ya, mau main game."

Kami pun kembali ke kamar masing-masing. Namun, ada sedikit kekhawatiran dalam hati ini. Mina dan Sena sudah sering melakukan hubungan intim. Mungkinkah terjadi sesuatu pada Mina? Tapi aku segera menepis pikiran itu dan segera memainkan game di ponsel retakku, "ah ... aku lupa meminta ponsel baru sama Mina."

Hari ini pun berakhir saat gelap melanda pandanganku, ternyata aku tertidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status