Share

Vheranindya

Sena masih sibuk dengan aktivitas menghisap madunya, dan aku hanya pasrah menikmati setiap detik sentuhannya. Padahal, delapan bulan yang lalu dia sangat enggan mencoba rasa manis yang kutawarkan. Kini, madu yang telah menjadi minuman favoritnya itu bisa dia reguk kapan saja dia mau, dan aku selalu siap memberikannya. Asal bisa membuatnya bahagia, apa pun akan aku korbankan. Baik harta, tahta, atau dukungan apa pun itu.

Namun, sampai detik ini aku belum juga mendapat cinta darinya. Mawar yang telah kuberikan belum cukup mampu meraih kesetiaannya. Dia hanya dekat denganku setiap madu itu siap dihidangkan. Selepas lapar dan dahaga, hatinya lupa bahwa aku menginginkan hidup bersamanya.

"Oh ... Sayang ... makasih ya, Sayang ...," ucapnya saat mencapai puncak kenikmatan. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Oh ... Sena, jika aku tak bisa mendapatkan cintamu, maka tak kubiarkan siapa pun bisa memiliki ragamu. Segala cara kulakukan agar kau jatuh dan terjatuh lagi dalam pelukanku.

Hari sudah menjelang sore. Sudah beberapa kali Sena mereguk madu, dan mencium aroma bunga mawar itu, yang tak akan pernah habis kecuali aku mati

"Makasih ya, Sayang ... Kamu selalu memberikanku kebahagiaan ...."

"Lalu tidakkah kamu ingin memberikan apa yang aku mau?"

"Sayang ... biarkanlah waktu yang menjawab. Cinta tidak bisa dipaksakan .... Apakah kamu menghendaki kepura-puraan?"

"Tapi sampai kapan! Apakah kamu tega membiarkan aku mati dalam penantian?"

Wajah Sena kembali terlihat frustasi, dan itu sangat menyebalkan bagiku. Aku bisa membuatnya bahagia dengan semua pengorbananku, di lain sisi aku tersiksa setiap melihatnya mulai resah akan posesifnya cintaku.

"Aku yakin kamu bisa memahamiku, Mina. Aku telah mendengar semuanya dari Amang, kamu percaya bahwa di dunia tidak mungkin ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Jadi kamu hanya sedang memaksaku untuk rela dicintai olehmu, dan menikah denganmu bukan?"

Aku tersentak. Ternyata dia tahu bahwa aku memang seorang wanita yang posesif. Musnah sudah anggapanku selama ini, kukira dia masih percaya bahwa aku menanti cintanya. Ya, aku memang hanya ingin memilikinya karena cintaku padanya begitu besar, hingga tak rela jika aku dan dia menikah dengan yang lain. Namun jika kebenarannya sudah terungkap seperti ini, tentu akan semakin berat perjuanganku. Serasa percuma setiap madu yang selama ini kusediakan, ternyata hanya menjadi pelepas dahaga saat dia lelah mengejar cinta yang lain.

"Sena ... aku mohon ... menikahlah denganku. Aku tak bisa hidup jika bukan denganmu ... segalanya akan kuberikan agar kamu bisa kumiliki ...," ucapku seraya memohon, tak terbendung air mata ini. Betapa cinta membuatku menderita berulang-ulang kali.

"Sudah kubilang! Hapuslah air matamu! Kamu sudah gila, Mina ...!"

"Tidak, Sena ... aku tidak gila! Cinta telah menjadi racun yang meenguasai tubuhku, hanya kamulah obat dalam kehidupanku!"

Kami adu mulut, dengan nada yang mampu menggetarkan payung-payung rasa dalam hati kami. "Setidaknya kasihanilah aku, Sena. Aku tak bisa hidup tanpamu," ucapku berkali-kali.

"Aku sadar, Mina. Tiada cinta yang tumbuh meski telah kuberusaha. Namun, sampai kapan aku mencegahmu terluka? Dengan rela terjatuh dalam pelukanmu!" Kini Sena membalas ucapanku tanpa memandang ke arahku. Dia hanya menunduk menutup wajahnya. Lagi dan lagi, adegan yang sama seperti yang sudah-sudah, kini terulang lagi.

"Sepertinya kita lelah seperti ini, Sena. Lebih baik kita cari tempat hiburan untuk bersenang-senang. Kita ke Mall yuk!" Aku mengajaknya untuk menghentikan adegan ini. Aku sudah muak dengan pengorbananku yang terasa sia-sia, tapi cinta ini masih saja tak mau pergi.

"Hmmh ... maafkan aku ya, Mina ... percayalah ... aku pun sedang berusaha menerima tawaran menikah denganmu. Yaudah, sekarang kita mandi. Kita ke Mall cari tempat hiburan." Sena sangat manis saat mengatakan itu. Kemudian tersenyum lalu mencium keningku.

"Aku duluan, Yang. Perutku mules." Aku pun segera bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Rasanya seluruh tulangku seperti remuk setaelah dihajar berkali-kali oleh hasrat liarnya. Selain tampan, romantis, ternyata dia perkasa membuat tubuhku mengeluarkan bulir-bulir tanda kenikmatan. Setiap jengkal kulitku basah tersiram pesonanya. Oh ... sena, engkaulah dara jantanku.

Kami pun akhirnya keluar dari kamar hotel menuju tempat parkir. Kami berdua berdiri di depan mobil. Sena mengetik nomor di layar hpnya, lalu menelpon Amang untuk segera turun ke bawah.

"Amang gak usah mandi, nanti aja mandinya sepulang dari Mall."

"Iya, Mas. Sebentar lagi saya ke situ."

Beberapa menit kemudian, Amang pun muncul. Tercium aroma parfum yang begitu menyengat dari tubuhnya.

"Kamu pakai parfum gimana sih, nyengat banget ke hidung," ucap Sena padanya.

"Iya, Mas, sorry. Heheh ... Kebablasan ... kita mau kemana nih sekarang?"

"Ini, si Mina mau ngajak kita ke Mall. Mandi bola katanya."

"Owh ... siap, kebetulan dah bete juga nih saya."

"Nanti kamu mampir aja ke konter hp di sana, beli hp baru. Pakai kartu kreditmu, nanti saya isi saldonya," ucapku setelah melihat ponsel Amang yang retak. Aku baru ingat mau menggantinya dengan yang baru.

"Siap Neng," balas Amang.

Kami pun akhirnya pergi meninggalkan hotel menuju Mall terdekat. Sepanjang jalan, tangan Sena merangkul bahu dan membenamkan wajahku ke dadanya. Mengelus-ngelus rambut dan punggungku, menciptakan suhu dingin dan menyejukkan hatiku yang sempat panas dibakar rasa kecewa, saat bertengkar di hotel tadi.

"Yang ... seandainya kita menikah, aku mau kita seperti ini terus. Berada dalam pelukanmu adalah hal paling nyaman dalam hidupku," ucapku yang sedang terbuai.

"Elaaah ... Neng, bucin molooo ...," sahut Amang yang mendengar ucapan Mina.

Rese banget ih ... si Amang.

"Hahahah ...." Sena pun menertawakanku.

"Amang awas ya ...," ucapku pada Amang.

"Hehe, maaf Neng. Kita udah sampai nih, parkir di luar apa di dalam nih Neng?" tanya Amang.

"Di dalam aja Mang."

Aku segera membetulkan posisi dudukku, "kita makan dulu ya, baru main."

"Iya, kita makan aja dulu di dalam tuh, ada Nasi Ayam," sahut Sena.

Beberapa saat kemudian, kami turun dari mobil, dan segera menuju ke tempat makan Nasi Ayam. Akhirnya kami ke Mall juga setelah sebulan terakhir tidak ke mana-mana. Ada sensasi tersendiri saat jalan berdua di Mall dengan Sena, aku merasa seperti seorsng istri berbelanja dengan ditemani suaminy. Uuuuuh ... So sweet ....

"Mbak, kami oesan 3 paket ayam dengan nasi ya," ucapku pada pelayan.

Saat sedang melihat sekeliling, tiba-tiba aku dikagetkan dengan seorang wanita yang duduk sendirian. Pandangannya terlihat sedang fokus menatap layar laptopnya. Aku perhatikan baik-baik, ternyata benar ... tidak salah lagi itu pasti si Vhera. Aku pun segera menarik-narik tangan Sena.

"Apaan sih ...?" tanya Sena yang heran melihat tingkahku.

"Itu lihat, Yang. Itu si Vhera tuh ...!"

"Ah, masa sich ...." Sena pun melihat ke arah wanita yang aku tunjuk, "hah ... vhera?" Melihat respon Sena, ternyata dugaanku benar, itu memang Vhera.

Sena pun memanggil Vhera untuk mengundangnya bergabung di meja kami, "Vhera ... Vhera ... Woy ... Vhera!"

Aku pun tak kalah dengan Sena, kulambaikan tanganku ke dalam memberi tanda agae Vhera mengerti bahwa kami mengundangnya bergabung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status