Accueil / Romansa / Cinta Sang CEO di Ujung Desa / BAB 1 • Dari Langit ke Bumi

Share

Cinta Sang CEO di Ujung Desa
Cinta Sang CEO di Ujung Desa
Auteur: Hadi Putra

BAB 1 • Dari Langit ke Bumi

Auteur: Hadi Putra
last update Dernière mise à jour: 2025-09-04 18:11:18

Langkah kaki Nayara Adeline bergema di ruang tamu mansion mewah yang kini terasa lebih mirip ruang sidang. Puluhan mata menatapnya penuh tuduhan, termasuk para pengacara, kolektor utang, hingga wartawan yang tanpa izin sudah menjejalkan kamera ke wajahnya.

Semua itu terjadi begitu cepat. Kemarin dia masih berdiri anggun di pesta sosialita, mengenakan gaun rancangan desainer internasional dengan segelas champagne di tangan. Hari ini, ia berdiri di tengah kerumunan, wajahnya pucat, bibirnya bergetar, dan tubuhnya nyaris goyah karena berita yang bagai kilat menyambar: perusahaan keluarganya bangkrut.

“Apa benar Anda terlibat dalam penggelapan dana, Nona Nayara?”

“Apakah benar tunangan Anda meninggalkan Anda setelah mendengar kabar ini?”

“Bagaimana perasaan Anda kehilangan seluruh harta?”

Pertanyaan demi pertanyaan menusuk seperti belati. Kilatan kamera membuatnya hampir buta. Nayara berusaha membuka mulut, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Seumur hidup, ia tak pernah menghadapi situasi seperti ini. Dunia yang selama ini ia banggakan—dunia pesta, gaun mewah, perhiasan berkilauan—semua lenyap hanya dalam satu malam.

Dan yang paling menyakitkan, saat matanya mencari sosok yang seharusnya berdiri di sampingnya, ia menemukan kenyataan pahit: Arman, tunangannya, menghilang.

Pria yang selalu tersenyum manis saat kamera menyorot mereka, pria yang selalu berjanji setia di telinganya, kini bahkan tak meninggalkan pesan. Hanya kabar dingin dari asistennya: “Tuan Arman memutuskan pertunangan. Harap Nona mengerti.”

Dunia Nayara runtuh.

---

Tiga hari kemudian, pintu besar mansion itu digedor-gedor. Para petugas bank masuk dengan kertas-kertas penyitaan, dan semua barang berharga—lukisan, perabotan antik, koleksi tas branded, bahkan piano warisan ibunya—diangkut keluar begitu saja. Nayara hanya bisa berdiri di depan tangga marmer, melihat setiap kenangan diseret paksa tanpa ada yang peduli.

Air matanya menetes, bukan hanya karena kehilangan harta, tetapi karena kesadaran pahit: ia tidak punya tempat lagi untuk pulang.

---

Beberapa minggu kemudian…

Kereta ekonomi berderit di rel, membawa tubuh Nayara yang terhuyung-huyung dengan koper usang. Wajahnya kusut, rambutnya tergerai berantakan, jauh dari citra wanita glamor yang dulu dielu-elukan media.

Ia tiba di sebuah stasiun kecil yang bahkan papan namanya sudah usang dan catnya mengelupas. Udara desa menerpa wajahnya dengan aroma tanah basah dan jerami, membuatnya meringis. “Astaga… apa aku benar-benar harus tinggal di tempat seperti ini?” gumamnya, setengah tak percaya.

Tapi ia tak punya pilihan. Semua rekeningnya dibekukan, kartu kreditnya hangus, dan satu-satunya tempat murah yang bisa ia sewa adalah sebuah rumah kecil di ujung desa terpencil yang bahkan tak tertera di peta digital.

Dengan langkah terhuyung, ia menyeret kopernya menyusuri jalan tanah yang berdebu. Di kiri kanan, hamparan sawah menghijau. Sesekali, ayam berlarian menyeberang jalan, membuatnya terlonjak. Nayara mendengus, mencoba menjaga gengsi meski tak ada seorang pun peduli.

“Dulu aku naik mobil sport ke butik. Sekarang? Aku berjalan kaki di jalan becek sambil dikejar ayam. Oh Tuhan, ini mimpi buruk.”

Namun nasib memang suka bercanda. Tepat ketika Nayara mencoba menyeimbangkan diri di pematang sawah yang sempit, tumit sepatunya tersangkut. “Ya ampun—jangan sekarang! Jangan—!”

Bruk!

Tubuhnya terjerembab ke lumpur sawah, dan seisi keranjang belanja yang baru dibelinya di pasar desa tumpah berantakan. Daun-daun bayam, tomat, bahkan seikat cabai merah beterbangan. Nayara menjerit putus asa sambil mencoba bangkit, tapi semakin ia bergerak, semakin dalam tubuhnya tenggelam dalam lumpur.

“Astaga! Ini kotor sekali! Tolong! Ada orang?!” teriaknya panik.

Saat itulah, suara berdecit sepeda tua mendekat. Seorang pria dengan kemeja putih sederhana, lengan tergulung, berhenti di tepi sawah. Wajahnya tampan dengan rahang tegas, matanya tajam namun teduh. Ia menatap Nayara sekilas, lalu turun dari sepedanya.

Nayara yang penuh lumpur mendongak, berharap pertolongan, tapi pria itu justru menatapnya lama… dan kemudian, tertawa kecil.

“Wanita kota ya? Tumit tinggi dipakai jalan di pematang sawah. Jenius sekali.”

“Hey! Bukan waktunya menghakimi! Tarik aku keluar!” Nayara berteriak histeris.

Pria itu menghela napas, menaruh sepedanya ke samping, lalu mengulurkan tangan. “Pegangan. Tapi kalau kamu jatuh lagi, jangan salahkan aku.”

Dengan wajah memerah karena malu, Nayara menggenggam tangannya. Sekejap, tubuhnya terangkat keluar dari lumpur. Namun, sialnya, karena gerakannya terlalu cepat, Nayara kehilangan keseimbangan—dan brukk! mereka berdua terjatuh bersama ke tanah, posisi yang membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

Nayara membeku, napasnya tercekat. Sementara pria itu mengangkat alis, menatapnya tanpa ekspresi.

“Kalau mau jatuh cinta, setidaknya jangan sambil bau lumpur,” ucap pria itu santai.

Wajah Nayara langsung merah padam. “Kau—kau—berani sekali bicara begitu! Dasar pria desa sok keren!”

Pria itu bangkit sambil membersihkan bajunya. Senyum samar terlukis di bibirnya. “Nama saya Arga. Bukan pria desa, bukan juga sok keren. Kamu akan sering lihat aku di sini. Selamat datang di desa ujung dunia, Nona Kota.”

Nayara tertegun. Ia tidak tahu, bahwa pria sederhana yang menolongnya itu… sebenarnya adalah CEO salah satu perusahaan terbesar di negeri ini.

Dan pertemuan memalukan itu hanyalah awal dari kekacauan—dan cinta—yang akan mengubah hidup mereka berdua.

Nayara masih terduduk di pinggir pematang, bajunya belepotan lumpur, wajahnya merah padam karena marah bercampur malu. Ia berusaha berdiri sambil menepuk-nepuk sepatunya yang sudah tak lagi bisa disebut sepatu. Tumitnya patah, kulitnya terkelupas, dan lumpur menempel di mana-mana.

“Ya Tuhan… ini beneran hari terburuk dalam hidupku,” gumamnya lirih.

Arga yang masih berdiri tak jauh darinya hanya menyandarkan sepedanya, lalu melipat lengan kemejanya lebih tinggi. Entah kenapa, tatapan matanya membuat Nayara semakin jengah. Ada semacam ketenangan, tapi juga sinis, seakan-akan pria itu sedang menonton pertunjukan komedi murahan.

“Kenapa bengong? Lanjut saja, toh kamu sudah sukses bikin penampilan runway di sawah,” ucap Arga datar, namun dengan nada setengah mengejek.

Nayara mendongak, menatap tajam. “Hey! Aku baru saja kehilangan segalanya. Aku… aku sudah cukup menderita tanpa perlu komentar pedas dari pria asing yang bahkan… bahkan…” suaranya tercekat, lalu ia menoleh ke arah sepeda butut di samping Arga. “Bahkan cuma naik sepeda tua!”

Arga terkekeh. “Sepeda tua ini sudah menemaniku lebih lama daripada sepatu mahalmu yang baru saja patah. Dan lihat? Dia masih setia, tidak meninggalkan aku terbenam di lumpur.”

Wajah Nayara memerah lagi, kali ini bukan karena malu, melainkan kesal. “Kamu…” Ia berhenti, menarik napas panjang, lalu berusaha mengendalikan emosinya.

Arga menatapnya sebentar, lalu tanpa banyak kata ia memunguti cabai, bayam, dan tomat yang berserakan di lumpur. Dengan tenang, ia masukkan semuanya ke dalam keranjang anyaman yang tadi sempat terlempar.

“Kamu… apa yang kamu lakukan?” tanya Nayara heran.

“Kalau mau makan malam, setidaknya bahan-bahannya jangan ditinggal di sini. Di desa, setiap butir cabai ini berharga,” jawab Arga sambil mengibaskan lumpur dari salah satu cabai.

Nayara mengerutkan kening. Ia terbiasa membuang makanan hanya karena bentuknya tidak cantik atau warnanya tidak sempurna. Kini, seorang pria asing dengan kemeja putih sederhana, berdiri di hadapannya, memungut cabai yang kotor penuh lumpur, lalu berkata seolah itu harta berharga.

Seketika, rasa asing menjalari hatinya. Dunia ini… benar-benar berbeda dari dunia yang ia kenal.

Arga menaruh kembali keranjang berisi sayuran itu ke tangan Nayara. “Sudah. Pulanglah. Kamu tidak akan bertahan lama kalau begini caranya.”

“Pulang?” Nayara mendengus sambil melipat tangan. “Kalau aku bisa pulang, aku tidak akan sampai ke desa terpencil seperti ini, Tuan Sepeda.”

Arga tersenyum tipis. “Bagus. Berarti kita punya kesamaan.”

Nayara mengerjap. “Apa maksudmu?”

Arga tidak menjawab. Ia hanya meraih sepedanya, lalu naik dengan gerakan santai. “Lain kali kalau mau jalan di pematang, lepas dulu tumit tinggi itu. Kalau tidak… ya siap-siap jadi bahan tontonan. Sampai jumpa, Nona Kota.”

Dengan kayuhan ringan, ia melaju meninggalkan Nayara yang terdiam.

---

Nayara berdiri terpaku di tepi sawah, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menggenggam keranjang sayur erat-erat, lalu mendengus.

“Siapa sih dia? Sombong sekali. Padahal cuma… cuma…” Nayara menoleh, tapi sosok pria itu sudah jauh. “…cuma pria kampung,” gumamnya pelan, meski hatinya sendiri tidak sepenuhnya percaya dengan kata-kata itu.

Ia berjalan tertatih menuju rumah kontrakan kecil di ujung desa. Rumah itu mungil, berdinding papan, dengan atap seng yang sudah berkarat di beberapa sisi. Sama sekali tidak layak dibandingkan mansion yang dulu ia tinggali.

Begitu masuk, aroma kayu tua bercampur debu menyambutnya. Nayara meletakkan keranjang di meja reyot, lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang yang berderit ketika ia duduki.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaga… Nayara Adeline. Dari pesta sosialita ke kasur berjamur. Apa hidupmu sudah benar-benar selesai?”

Perutnya berbunyi keras, memotong drama dirinya sendiri. Nayara membuka mata, lalu melirik sayuran yang tadi dipungut Arga. Sejenak ia termenung.

“Kalau bukan karena pria menyebalkan itu, mungkin aku sudah kelaparan malam ini…”

Namun gengsinya menolak mengakui. Dengan kesal, ia berdiri, mencoba menyalakan kompor minyak tanah yang disediakan pemilik rumah. Setelah beberapa kali gagal dan hampir membakar poninya, akhirnya api kecil menyala.

Di saat yang sama, di seberang desa, Arga duduk di beranda rumah kayu yang tampak sederhana. Ia membuka kemeja, menggantinya dengan kaos polos, lalu menyeduh teh hangat.

Tatapannya kosong menatap sawah yang mulai diselimuti senja. Namun di sudut bibirnya, samar ada senyum muncul.

“Wanita kota itu… benar-benar seperti ikan dilempar ke daratan,” gumamnya lirih.

Ia menyesap teh, lalu menghela napas panjang. Ada alasan besar kenapa ia berada di desa itu, jauh dari hiruk pikuk kota. Dan entah kenapa, kehadiran wanita asing yang tiba-tiba jatuh ke sawah di hadapannya… terasa seperti pertanda bahwa ketenangannya tidak akan bertahan lama.

---

Di ranjang kayu reyotnya, Nayara berbalut selimut tipis, menatap langit-langit rumah kontrakan. Matanya terasa berat, namun pikirannya berputar-putar.

Arman. Mansion. Hidup mewah yang hilang. Dan pria asing bernama Arga.

Entah kenapa, wajah pria itu terus muncul dalam benaknya.

Nayara mendengus keras, lalu memalingkan wajah. “Tidak, tidak. Aku tidak boleh mikirin dia. Aku benci pria itu. Aku benci desa ini. Aku benci… semua ini…”

Namun di balik kelopak matanya, yang muncul justru tatapan tenang dan senyum tipis Arga.

Dan tanpa ia sadari, untuk pertama kalinya sejak hidupnya berantakan, Nayara tertidur dengan perasaan campur aduk—antara benci, malu, kesal, dan… rasa penasaran.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 11 – Pertarungan di Halaman Pagi Itu

    Udara desa yang biasanya damai kini berganti dengan hiruk-pikuk pertarungan sengit. Fajar baru saja merekah, namun halaman kecil rumah kayu tempat Arga dan Nayara tinggal sudah dipenuhi suara pukulan, teriakan, dan desah nafas berat. Arga bergerak lincah, menangkis serangan dari tiga pria sekaligus. Pukulan deras menghantam udara, tendangan cepat nyaris mengenai kepalanya, namun ia selalu berhasil menghindar pada detik terakhir. Mata elangnya terus fokus, tubuhnya berputar dan bergeser seperti penari yang terbiasa dengan medan keras. Pria pertama—yang sebelumnya lengannya dipelintir Arga—masih terlihat kesakitan, tapi dipaksa ikut menyerang lagi. Sementara pria kedua, dengan tubuh lebih kecil namun gesit, terus mencari celah. Pemimpin mereka, yang jelas lebih berpengalaman, menjadi ancaman utama dengan serangan yang terukur dan mematikan. “Serahkan wanita itu! Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi, Arga!” teriak pemimpin itu sambil melayangkan pukulan lurus ke arah dada. Arga menep

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 10 – Jejak yang Mengintai

    Fajar baru saja merekah. Cahaya oranye muda menembus celah-celah jendela bambu, menyingkap debu tipis yang berterbangan di udara. Suara ayam jantan dari kejauhan bersahut-sahutan, menandakan hari baru dimulai. Namun bagi Arga, pagi ini bukan sekadar awal biasa. Ia sudah terbangun sejak sebelum adzan Subuh. Tubuhnya tegap berdiri di teras rumah, kedua matanya menyapu ke arah jalan setapak yang masih sepi. Dari wajahnya, jelas terlihat kewaspadaan penuh. Semalam, setelah kejadian dua pria berjas itu, ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Arga menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang. Tangannya refleks meraih secangkir kopi hitam yang sudah dingin di meja bambu. “Mereka pasti balik,” gumamnya pelan. “Pertanyaannya… kapan?” --- Dari dalam kamar, Nayara baru saja bangun. Rambutnya masih kusut, matanya bengkak karena tangis semalam. Ia berjalan pelan keluar kamar, mengenakan cardigan tipis untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Ia mendapati Arga masih berdiri di teras d

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 9 – Bayangan Masa Lalu

    Senja di desa itu terlihat berbeda sore ini. Langit memerah jingga, awan tipis berarak pelan seperti kapas yang terbakar cahaya. Burung-burung gereja pulang ke sarang, sementara dari kejauhan, suara kentongan tanda waktu Maghrib mulai terdengar sayup. Suasana tenang itu seolah kontras dengan hati Nayara yang sedang berkecamuk hebat. Ia duduk di bangku bambu depan rumah sederhana tempat ia menumpang. Tangannya sibuk mengusap-usap rok yang sudah agak kusut, namun pikirannya tidak ada di situ. Sejak insiden “cium tak disengaja” dengan Arga beberapa hari lalu, ia merasa hidupnya seperti berputar aneh. Ada rasa malu, ada rasa kesal, tapi juga ada sesuatu yang aneh… sebuah rasa hangat yang diam-diam mengganggunya. “Kenapa sih aku jadi kepikiran terus?” gumam Nayara, menunduk sambil menendang kerikil kecil di bawah kakinya. Tak jauh darinya, Arga muncul sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia tampak biasa saja, wajahnya tetap tenang, seolah tidak pernah terjadi insiden memalukan itu. Pada

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 8 — Terjebak dalam Kepungan

    Suara gedoran pintu semakin keras, menggema di seluruh ruangan kayu yang berdebu itu. Papan pintu bergetar seperti hampir copot dari engselnya. “Bukaaaa! Atau kami bakar rumah ini!” teriak seseorang dari luar, suaranya parau, penuh ancaman. Nayara terlonjak mendengar kata “bakar”. Dadanya sesak, tangannya spontan mencengkeram erat lengan Arga. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Arga tetap tenang, meski sorot matanya penuh waspada. Ia menoleh ke arah Sari. “Ambil kunci mobil dan siapkan jalan keluar. Kalau pintu depan jebol, kita harus lari lewat belakang.” Sari mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Nayara mendelik. “Bos? Kamu manggil dia bos?” Sari tersenyum kecut, buru-buru menghindar. “Eh… slip of the tongue. Pokoknya ikut aja, Nay!” Nayara makin bingung, tapi tak sempat bertanya. Karena detik berikutnya, jendela samping dihempas batu besar hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca beterbangan. “Aaaahhh!” Nayara menjerit kecil, tubuhnya reflek terlempar ke arah Arga. I

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 7 • Antara Tawa, Salah Tingkah, dan Bahaya

    Mobil bak itu akhirnya keluar dari jalan hutan yang penuh bebatuan. Langit sudah mulai berubah warna, jingga senja perlahan merambat jadi biru tua, diselimuti awan tipis. Jalanan desa yang lebih rata sedikit memberi rasa lega, meski suasana hati mereka masih tegang setelah kejadian barusan. Sari yang menyetir mendengus panjang. “Rasanya, kalau hidup kita ini film, penontonnya pasti sudah lelah lihat kita dikejar-kejar terus.” “Kalau film, penontonnya juga pasti jatuh simpati sama tokoh perempuan yang… hmm, selalu terjerat masalah,” celetuk Arga tanpa menoleh. Nayara menoleh cepat. “Hei! Maksudmu aku?” Arga menahan senyum. “Aku nggak bilang gitu.” “Ya, tapi nadamu jelas-jelas mengarah ke aku.” Nayara memelototinya, meski wajahnya memerah karena sadar ia masuk ke perangkap kecil Arga. Sari terkekeh. “Hahaha, tenang, Naya. Kalau ini film, ratingnya pasti tinggi banget. Adegan romantisnya natural sekali.” “Diam, Sar!” Nayara langsung menutupi wajahnya dengan tangan, teringat kejadi

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   BAB 6 • Fajar di Balik Bayangan

    Suara ayam jantan samar-samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan kokok lain yang bersahut-sahutan. Embun masih tebal di daun bambu, jatuh pelan tiap kali angin pagi menyapu. Lumbung tua itu kini berfungsi seperti markas darurat—bau gabah basi dan kayu lembab bercampur dengan aroma tanah basah seusai hujan. Arga berdiri di depan jendela kecil loteng, matanya menatap lurus ke horizon. Langit belum sepenuhnya terang, hanya semburat oranye tipis yang mulai muncul. Dari cara bahunya menegang, jelas ia belum tidur sama sekali. Nayara mengusap wajah dengan tangan, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggantung. Ia sempat tertidur sebentar dengan kepala di bahu Arga, dan itu membuat pipinya panas setiap kali mengingatnya. Namun, pagi ini ia memutuskan tidak akan menyinggungnya dulu. “Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara serak. “05:02,” jawab Arga singkat tanpa menoleh. Nayara menarik nafas dalam, lalu berdiri dan merapatkan jaket yang semalam dipinjamkan Arga. Jak

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status