Home / Romansa / Cinta Sang CEO di Ujung Desa / Bab 7 • Antara Tawa, Salah Tingkah, dan Bahaya

Share

Bab 7 • Antara Tawa, Salah Tingkah, dan Bahaya

Author: Hadi Putra
last update Last Updated: 2025-09-07 00:55:32

Mobil bak itu akhirnya keluar dari jalan hutan yang penuh bebatuan. Langit sudah mulai berubah warna, jingga senja perlahan merambat jadi biru tua, diselimuti awan tipis. Jalanan desa yang lebih rata sedikit memberi rasa lega, meski suasana hati mereka masih tegang setelah kejadian barusan.

Sari yang menyetir mendengus panjang. “Rasanya, kalau hidup kita ini film, penontonnya pasti sudah lelah lihat kita dikejar-kejar terus.”

“Kalau film, penontonnya juga pasti jatuh simpati sama tokoh perempuan yang… hmm, selalu terjerat masalah,” celetuk Arga tanpa menoleh.

Nayara menoleh cepat. “Hei! Maksudmu aku?”

Arga menahan senyum. “Aku nggak bilang gitu.”

“Ya, tapi nadamu jelas-jelas mengarah ke aku.” Nayara memelototinya, meski wajahnya memerah karena sadar ia masuk ke perangkap kecil Arga.

Sari terkekeh. “Hahaha, tenang, Naya. Kalau ini film, ratingnya pasti tinggi banget. Adegan romantisnya natural sekali.”

“Diam, Sar!” Nayara langsung menutupi wajahnya dengan tangan, teringat kejadi
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 13 — Bayangan yang Mulai Mengintai

    Pagi itu, udara di Desa Sembada terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Awan mendung menggantung rendah, menutupi sinar matahari yang biasanya hangat menembus pepohonan. Burung-burung yang biasa berkicau di atap rumah kayu Arga pun seolah enggan bernyanyi hari itu.Nayara membuka jendela kamarnya, membiarkan embusan angin dingin masuk dan membuat tirai putih berayun pelan. Ia berdiri di sana cukup lama, memandangi sawah yang mulai menguning di kejauhan, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi entah kenapa, pagi itu hatinya terasa gelisah — seperti ada sesuatu yang tidak beres.Ia menatap ke arah halaman rumah, dan melihat Arga sedang duduk di bangku kayu sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Wajahnya terlihat serius, nyaris tegang. Biasanya Arga selalu terlihat tenang dan santai, tapi hari ini ada sesuatu yang lain dari sorot matanya.Nayara menuruni tangga dengan langkah pelan, rambutnya dibiarkan terurai alami, mengenakan kaus lengan panjang dan celana training sederhana. Aroma kopi

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 12 — Luka yang Belum Sembuh

    Suasana pagi di desa itu tampak menenangkan seperti biasa—embun masih menggantung di ujung dedaunan, ayam berkokok dari kejauhan, dan sinar matahari menembus sela pepohonan bambu di belakang rumah Nayara. Namun di dalam rumah itu, suasana jauh dari kata tenang.Nayara duduk diam di kursi kayu ruang tengah, menatap kosong ke arah pintu. Cangkir tehnya sudah dingin, uapnya lenyap sejak tadi. Sejak semalam, setelah pembicaraannya dengan Arga yang cukup menegangkan, pikirannya tidak berhenti berputar. Kata-kata Arga terus terngiang di kepalanya.“Nayara, aku rasa ada orang yang sengaja menjatuhkan keluargamu.”Kalimat itu seperti menghujam ke dalam dada. Nayara tidak tahu harus percaya atau tidak. Tapi wajah serius Arga malam itu, nada suaranya yang berat dan yakin, membuat Nayara sadar—ini bukan sekadar dugaan kosong.Pintu terbuka pelan. Arga muncul sambil mengenakan kemeja hitam yang lengan kirinya masih digulung, rambutnya sedikit acak-acakan, dan wajahnya terlihat lelah tapi tetap me

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 11 – Pertarungan di Halaman Pagi Itu

    Udara desa yang biasanya damai kini berganti dengan hiruk-pikuk pertarungan sengit. Fajar baru saja merekah, namun halaman kecil rumah kayu tempat Arga dan Nayara tinggal sudah dipenuhi suara pukulan, teriakan, dan desah nafas berat. Arga bergerak lincah, menangkis serangan dari tiga pria sekaligus. Pukulan deras menghantam udara, tendangan cepat nyaris mengenai kepalanya, namun ia selalu berhasil menghindar pada detik terakhir. Mata elangnya terus fokus, tubuhnya berputar dan bergeser seperti penari yang terbiasa dengan medan keras. Pria pertama—yang sebelumnya lengannya dipelintir Arga—masih terlihat kesakitan, tapi dipaksa ikut menyerang lagi. Sementara pria kedua, dengan tubuh lebih kecil namun gesit, terus mencari celah. Pemimpin mereka, yang jelas lebih berpengalaman, menjadi ancaman utama dengan serangan yang terukur dan mematikan. “Serahkan wanita itu! Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi, Arga!” teriak pemimpin itu sambil melayangkan pukulan lurus ke arah dada. Arga menep

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 10 – Jejak yang Mengintai

    Fajar baru saja merekah. Cahaya oranye muda menembus celah-celah jendela bambu, menyingkap debu tipis yang berterbangan di udara. Suara ayam jantan dari kejauhan bersahut-sahutan, menandakan hari baru dimulai. Namun bagi Arga, pagi ini bukan sekadar awal biasa. Ia sudah terbangun sejak sebelum adzan Subuh. Tubuhnya tegap berdiri di teras rumah, kedua matanya menyapu ke arah jalan setapak yang masih sepi. Dari wajahnya, jelas terlihat kewaspadaan penuh. Semalam, setelah kejadian dua pria berjas itu, ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Arga menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang. Tangannya refleks meraih secangkir kopi hitam yang sudah dingin di meja bambu. “Mereka pasti balik,” gumamnya pelan. “Pertanyaannya… kapan?” --- Dari dalam kamar, Nayara baru saja bangun. Rambutnya masih kusut, matanya bengkak karena tangis semalam. Ia berjalan pelan keluar kamar, mengenakan cardigan tipis untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Ia mendapati Arga masih berdiri di teras d

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 9 – Bayangan Masa Lalu

    Senja di desa itu terlihat berbeda sore ini. Langit memerah jingga, awan tipis berarak pelan seperti kapas yang terbakar cahaya. Burung-burung gereja pulang ke sarang, sementara dari kejauhan, suara kentongan tanda waktu Maghrib mulai terdengar sayup. Suasana tenang itu seolah kontras dengan hati Nayara yang sedang berkecamuk hebat. Ia duduk di bangku bambu depan rumah sederhana tempat ia menumpang. Tangannya sibuk mengusap-usap rok yang sudah agak kusut, namun pikirannya tidak ada di situ. Sejak insiden “cium tak disengaja” dengan Arga beberapa hari lalu, ia merasa hidupnya seperti berputar aneh. Ada rasa malu, ada rasa kesal, tapi juga ada sesuatu yang aneh… sebuah rasa hangat yang diam-diam mengganggunya. “Kenapa sih aku jadi kepikiran terus?” gumam Nayara, menunduk sambil menendang kerikil kecil di bawah kakinya. Tak jauh darinya, Arga muncul sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia tampak biasa saja, wajahnya tetap tenang, seolah tidak pernah terjadi insiden memalukan itu. Pada

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 8 — Terjebak dalam Kepungan

    Suara gedoran pintu semakin keras, menggema di seluruh ruangan kayu yang berdebu itu. Papan pintu bergetar seperti hampir copot dari engselnya. “Bukaaaa! Atau kami bakar rumah ini!” teriak seseorang dari luar, suaranya parau, penuh ancaman. Nayara terlonjak mendengar kata “bakar”. Dadanya sesak, tangannya spontan mencengkeram erat lengan Arga. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Arga tetap tenang, meski sorot matanya penuh waspada. Ia menoleh ke arah Sari. “Ambil kunci mobil dan siapkan jalan keluar. Kalau pintu depan jebol, kita harus lari lewat belakang.” Sari mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Nayara mendelik. “Bos? Kamu manggil dia bos?” Sari tersenyum kecut, buru-buru menghindar. “Eh… slip of the tongue. Pokoknya ikut aja, Nay!” Nayara makin bingung, tapi tak sempat bertanya. Karena detik berikutnya, jendela samping dihempas batu besar hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca beterbangan. “Aaaahhh!” Nayara menjerit kecil, tubuhnya reflek terlempar ke arah Arga. I

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status