Di Malam sunyi, saat kegelapan merenggut cahaya sang Mentari. Tepatnya di sebuah rumah besar dan mewah. Rasa cemas, takut dan sedih melanda hati dua insan.
"Tolong bawa dan rawat anak kami dengan baik! sampai saat waktunya tepat untuk kami kenalkan ke publik."
Seorang wanita cantik, berpenampilan berkelas berkata pada sepasang suami istri yang duduk bersimpuh. Pria yang berdiri di sebelah wanita itu mengusap pundak istrinya menguatkan.
"Ta-tapi Ny-nyonya, ba-bagaimana kami bisa merawat bayi Nyonya? kami hanya orang tidak mampu. Se-sementara …." Laki-laki awal empat puluhan itu tak melanjutkan ucapannya. Merasa bingung dengan apa yang akan diucapkan. Sementara istrinya yang bersimpuh dengan kepala tertunduk di sebelahnya nampak mencolek lengan suaminya pelan.
"Mang, Bi, saya mohon! Saya dan istri saya tidak mungkin membesarkan anak ini. Mamang dan Bibi tahu kan yang terjadi dengan rumah tangga kami?" Akhirnya, sang Tuan mengeluarkan suaranya. Walau sedikit bergetar karena menahan kesedihan. Ia sangat takut, lelaki itu. Lelaki yang ingin merebut harta mereka itu, akan menyakiti anaknya hanya karena harta. Maka sebaiknya mereka menyembunyikan identitasnya terlebih dulu.
"Tolong Mang, Bi, hanya Mamang dan Bibi yang bisa kami harapkan. Kami percaya kalian akan mengurus anak kami dengan baik," sambung Sang Nyonya dengan tatapan mengiba. Netranya nampak mengembunkan air dengan tatapan sarat permohonan.
Dua orang bawahan yang merupakan pasangan suami istri itu saling tatap. Mencoba berkomunikasi lewat mata.
"Mang?" desak sang Tuan.
Bayi mungil yang masih merah di dalam gendongan itu menangis. Seakan merasakan bahwa dirinya akan berpisah dengan orangtuanya. Suara tangisnya yang keras memecah keheningan di dalam ruangan. Seolah menyuarakan protes, bahwa dirinya tidak mau pergi meninggalkan dekapan hangat mereka.
"Ba-baik Tu-tuan. Saya dan istri saya akan merawat bayi itu semampu kami." Akhirnya, laki-laki itu menyanggupi permintaan majikannya.
"Ini, Bi. Bawalah dan besarkan seperti anak Bibi dan Mamang sendiri." Sang Nyonya menyerahkan bayi mungilnya yang menangis semakin keras, ke dalam pelukan bawahannya.
"Dan juga ini, di dalamnya telah terisi uang satu milyar, pergunakan untuk hidup kalian. Nanti, saya akan rutin mengirim uang ke rekening ini. Pin ATM sudah saya tulis di balik sampul buku tabungan." Sang Tuan mengangsurkan sebuah amplop coklat berisikan buku tabungan dan juga kartu ATM yang telah terisi dengan sejumlah uang.
"Pergilah Nak, pergilah sampai keadaan aman, kelak kami akan menjemputmu." Sang Nyonya menyematkan satu kecupan di dahi bayinya yang kini mulai menangis lirih.
Lalu bawahan yang mereka panggil Mamang dan Bibi itu berpamitan untuk kemudian pergi meninggalkan rumah bak istana itu, menyusuri dinginnya jalanan malam.
Dengan menggendong bayi mungil itu, mereka berjalan dengan cepat melewati jalan yang sepi. Tidak ingin ada satu orangpun yang tahu kemana mereka akan pergi.
"Ayo Bune, cepat!"
Sang istri yang berjalan sambil menggendong bayi tergopoh-gopoh mengikuti langkah kaki suaminya yang panjang.
"Iya, Pak. Jangan terlalu cepat, Bune pegal Pak."
Suaminya pun berhenti menunggu dengan wajah tak sabar.
"Bapak takut Bune, bagaimana jika ada yang melihat kita?" ujar suami menyuarakan kegelisahannya.
"Siapa tho Pak yang akan melihat dini hari buta begini?"
Namun, tak lama sanggahan istrinya pun tertepis. Sebuah cahaya lampu dari mobil jip hitam menyorot mereka hingga membuat pasangan suami istri itu mematung. Pun dengan bayi seakan mengerti situasi, tiba-tiba mengeluarkan tangisnya.
Mobil jip itu berhenti tepat di sebelah mereka berdiri. Pintu mobil terbuka menampilkan beberapa sosok kekar berbaju hitam dengan wajah tertutup balaclava.
Orang-orang itu memaksa pasangan suami istri itu untuk masuk ke dalam jip. Aksi tarik-menarik pun terjadi. Hingga akhirnya, salah seorang dari penumpang jip itu memukul tengkuk suami dengan keras sampai jatuh tak sadarkan diri.
Perempuan yang tengah menggendong bayi hanya bisa berteriak histeris memanggil suaminya. Sampai sebuah kain dipaksakan menutup mulut dan hidungnya, hingga kesadarannya pun menghilang.
Salah seorang berbaju hitam itu mengambil sang bayi dan meletakkannya ke dalam semak yang berada di pinggir jalan. Ada rasa iba di hatinya saat bayi merah itu mulai merengek. Namun titah dari majikan membuatnya harus menekan rasa itu.
"Kau disini saja yah, gadis kecil. Agar jejakmu hilang dari kehidupan keluarga itu. Mudah-mudahan hidupmu kelak lebih baik!" gumamnya.
Sementara, pasangan suami istri yang sudah tak sadarkan diri itu mereka angkat dan masukkan ke dalam mobil. Lalu jip pun melaju membelah jalanan malam, meninggalkan suara tangisan bayi di belakang mereka.
***
~22 tahun kemudian~
"Bu, ayo cepat. Bapak sudah tidak sabar melihat anak kita diwisuda."
Pak Santo, sang juragan beras itu berseru dengan nada tak sabar kepada Bu Imah yang tengah sibuk membenarkan kerudungnya.
Bu Imah wanita paruh baya itu mengenakan gamis berwarna hijau pastel dengan jilbab senada. Di wajahnya yang mulai terlihat kerutan, terpulas make up tipis dengan lipstik berwarnanude.
Ia adalah wanita sempurna dimata pak Satno, walau ia tidak dapat menjadi ibu seutuhnya. Tetapi Almira telah melengkapi semuanya. Menjadi ibu bukan hanya tentang melahirkan anak bagi Pak Santo.
"Sudah? ayo! nanti keburu Mira menunggu," ajak Pak Santo sambil meraih tangan Bu Imah dan menggandengnya keluar rumah.
Mobil sedan mereka melaju membelah jalanan ibukota yang ramai. Sesekali obrolan terselip dalam perjalanan mereka. Ya, Pak Santo dan Bu Imah akan datang ke acara wisuda anak mereka satu-satunya, Almira Nafisa. Almira atau akrab dipanggil Mira, berhasil lulus kuliah jurusan fashion design.
"Alhamdulillah ya, Bu. Anak kita berhasil lulus. Sebentar lagi, anak kita akan menjadi desainer baju yang terkenal!" ujar Pak Santo bangga.
"Aamiin, Pak. Wah nanti kita ikut terkenal ya Pak, kalau Mira sudah tenar?"
"Iya pasti, Bu. Nanti Mira akan jadi desainer terkenal yang merancang baju-baju artis dan pejabat-pejabat negeri ini. Ibu bisa jadi modelnya," seloroh Pak Santo.
"Model apa Pak? model baju nenek-nenek?"
Pasangan suami istri itu tertawa bahagia. Sepanjang perjalanan mereka lalui dengan harapan-harapan dan canda. Sampai-sampai Pak Santo tidak sadar saat ada sebuah truk bermuatan pasir melaju kencang dari arah berlawanan. Truk itu oleng dan dengan cepat melaju ke arah mobil yang tengah dikendarai Pak Santo dan Bu Imah.
"Pak awasss!!!" teriak Bu Imah.
Sampai akhirnya
Bbrrrrakkkkkkkkkk!!!...
Teriakan-teriakan orang-orang yang berada di pinggir jalan bergema. Suara benturan yang amat keras itu menarik perhatian para pengguna jalan. Mobil yang dikendarai oleh Pak Santo terguling dan ringsek parah.
Pak Santo merasakan berat dan sakit di sekujur tubuhnya. Tersadar sejenak hanya untuk melihat Bu Imah yang telah berlumuran darah dengan luka dimana-mana. Sampai akhirnya, kegelapan merenggut kesadaran Pak Santo. Tidak, tubuhnya tak kuat lagi.
"Ada yang mau saya bicarakan, Nyonya," ujar Dion pada Arumi.Sore itu, sepulang dari kantor, Dion kembali menghadap ke Arumi untuk berdiskusi."Ada info apa, Dion?""Saya mempunyai ide yang menurut saya bagus untuk perusahaan. Atau paling tidak bisa memulihkan citra perusahaan."Arumi menatap Dion dengan seksama. Tubuhnya mulai pulih kini. Namun tetap ada batasan yang harus dijaga. Dan Arumi harus berhati-hati dalam mengelola pikirannya agar tidak terbebani terlalu berat."Kita membutuhkan suasana dan terobosan baru, Nyonya. Nona Alana sepertinya tak lagi bisa dijadikan ikon perusahaan kita. Harus ada model pengganti yang memberi kesan baik dan religius. Sehingga masyarakat akan tahu, jika perusahaan kita tak terpengaruh deng
"Kita membutuhkan model baru untuk menggantikan Nona Alana, Tuan. Karena dengan skandal yang Nona Alana ciptakan, citra baik perusahaan menurun. Belum lagi desakan para pemegang saham untuk segera memulihkan kondisi perusahaan.""Mereka menuntut perubahan atau mereka akan menarik saham mereka. Beberapa perusahaan pun membatalkan kerjasama secara sepihak karena tidak mau mendapatkan imbas dari kasus Nona Alana.""Rating beberapa produk pun yang menggunakan Nona Alana sebagai brand ambassador menurun jauh sehingga memerlukan pergantian agar tidak semakin memburuk.""Bahkan, maaf Tuan, beberapa direksi mengemukakan pendapatnya untuk mengganti Tuan dengan Tuan Alex."Aldi, sekretaris Dion memberikan laporannya. Nampak Dion yang duduk di kursi kebesarannya manggut-manggut men
"Ke-kenapa Tuan? apa tidak enak?" Almira bertanya gugup. Apalagi ketika Alex terlihat mengerutkan keningnya. Apa dirinya salah memasukkan komposisi racikan kopinya?"Mmmhhh, gimana ya?" Alex seakan ragu untuk menjawabnya."Saya buatkan lagi, Tuan. Maaf kalau kurang enak," ujar Almira berniat meminta cangkir yang masih dipegang oleh Alex."Apa aku bilang kopi ini tidak enak?"Almira menggelengkan kepalanya."Kopi buatanmu enak, aku suka. Buatkan aku seperti ini lagi jika nanti aku meminta.""Baik, Tuan. Siap!"Alex kembali menyeruput kopi di tangannya. Sementara Almira bingung apa yang hendak dia lakukan."Kenapa kamu berdiri disitu?""Eh, iya Tuan. Maaf, saya masuk dulu," pamit Almira."Memang aku menyuruhmu masuk? duduklah! Aku sedang butuh teman bicara," perintah Alex."Baik, Tuan."Almira pun mengambil posisi di ujung bangku taman yang menghadap ke kolam renang itu."Kamu punya
"Buat Alana jatuh, dan aku menjadi milikmu!" ujar Alex dengan nada tegas yang membuat Vina terkejut."Maksud kamu? kenapa aku harus menjatuhkan Alana? bukannya dia adalah adik kamu sendiri?"Alex menjauhkan badan Vina dan duduk bersandar di kepala ranjang. Kedua tangannya dia lipat ke belakang kepalanya sambil menatap ke depan dengan tatapan menerawang."Lex? kenapa harus menjatuhkan Alana?"Sekali lagi Vina bertanya. Vina ikut duduk dengan selimut melilit tubuhnya yang polos."Karena aku ingin menebus rasa sakit hatiku."Vina menatap Alex bingung."Tapi kenapa Alana? Dia kan adik kamu sendiri, dan lagipula dia modelku, Lex. Jika namanya jatuh, maka penghasilanku sebagai managernya pun berkurang.""Aku yang akan memenuhi kebutuhanmu. Bukankah sudah ku bilang, jika kamu bersedia melakukan apa yang aku mau, maka aku menjadi milikmu," rayu Alex."Tapiii … a-aku …." Vina menatap Alex ragu."Apa semua uca
"Kenapa kamu tidak meninggalkan saya?" Alana dengan matanya yang sembab menatap Almira.Almira pun tersenyum simpul. Disodorkannya segelas coklat hangat kepada Alana. Minuman yang selalu menjadi andalan saat dirinya sedih."Apa kamu sedang mencoba menarik perhatianku?"Almira menarik nafas pelan."Nona, minum dulu. Coklat bisa menenangkan hati. Atau, itu yang saya rasakan."Alana menurut dan menyeruput minuman berwarna pekat tersebut. Hangat, membuat hatinya ikut menghangat."Jadi kenapa? apa alasan kamu tetap berdiri dan menemaniku?""Apa harus selalu ada alasan Nona? apa jika saya katakan saya hanya mengikuti nuraninsaya Nona akan percaya? semua manusia pasti punya salah Nyonya. Tetapi bukan berarti kita bisa melihat seseorang dari kesalahannya.""Apa kamu sedang bersikap sok suci?" Alana memandang Almira dengan tatapan menilai. Mencari apa yang tersembunyi dari sorot mata pelayan itu.Almira mengulas senyum yang mened
"Kakakkkk!" Alana berseru saat Alex muncul dari arah depan.Alex berjalan masuk menyusul Vina di belakangnya. Membuat Alana merasa kesal. Bisa-bisanya mereka bersenang-senang dan meninggalkannya?"Kak, Vin, tolong jelasin ke semua bahwa ini tidak seperti yang ada di berita. Itu fitnah! Kakak tahukan Alana baru semalam bertemu Pak Riko? dan itupun dikenalin sama kakak!"Alana berganti menatap ke arah Vina penuh harap."Vin, jelasin! Lo yang jadi asisten gue, Lo tau gue seperti apa. Jelasin semalam itu bukan kesengajaan! Gue dijebak kan Vin?"Vina nampak salah tingkah. Bahkan mengalihkan pandangannya saat Alana menatap penuh harap padanya."Maaf, Al. Gue nggak tahu. Kan gue nggak du