"Rani, katakan yang jujur, Mas Gusti tidur sama kamu?" tanya Desta tak sabar. Namun, jangan panggil ia Zia, kalau tidak bisa berkelit. "Apa menurut Pak Desta, Mas Gusti mau tidur sama saya? Kalau begitu, kenapa saya harus dikirim ke penjara? Mas Gusti gak akan menyentuh saya, Pak. Lagian Bapak tadi gak dengar kalau Mas Gusti bilang, dia tidur sama wanita malam. Duh, saya bingung sama keluarga suami saya. Udah, ah, saya mau ke rumah Pak Desta saja." Desta belum lagi sempat menjawab sanggahan Rani, wanita itu sudah tidak ada di hadapannya dan kini tengah berjalan begitu cepat menuju rumahnya. Desta yang tidak mau ikut campur secara langsung pada urusan Gusti, hanya bisa tersenyum simpul. Ada banyak yang harus ia selesaikan setelah kakak iparnya meninggal, termasuk melindungi Zia dari Gusti yang semena-mena. Kembali ke dalam rumah. Baju kemeja dengan bercak darah tadi, kini sudah ada di tangan Gusti. Ia memandangi terus noda itu dengan mata yang sayu. Kenapa ia bisa sampai terjerumus
["Halo, Desta, apa kamu ada waktu siang ini? Temani aku ke kantor polisi."]["Mau apa, Mas? Mau menjarain siapa lagi? Rani?"]["Ish, bukan, aku mau konfirmasi ke kantor polisi, karena dari informan yang aku suruh, mengatakan bahwa Zia sudah dibebaskan dengan jaminan oleh seseorang, tepat di hari yang sama saat ia keluar dari rumah ini."]["Untuk apa konfirmasi? Orang Zia udah dibebaskan, kenapa Mas perlu konfirmasi? Penyelidikan tetap berlangsung walau Zia ga di rumah Mas lagi. Nanti juga di datang saat dimintai keterangan. Lagian, setahu saya Mas gak peduli dengan Zia. Sudah, biarkan saja dia pergi."]["Aku sih gak peduli dengan Zia, Des. Yang bikin aku penasaran itu, siapa lelaki yang membebaskan Zia. Bayar jaminan uangnya gak seratus dua ratus. Bisa puluhan juta kalau berurusan sama polisi. Berarti bukan orang sembarangan."]["Ya, terus? Mas bukannya gak peduli sama istri muda Mas itu. Udahlah, mungkin, diam-diam ada hot daddy yang senang sama Zia atau ada berondong yang bucin deng
POV Zia alias Rani"Apa-apaan, Mas Gusti? Aneh sekali tiba-tiba minta ditemani makan. Sama Mbak Hanin saja gak begitu amat. Mungkin saat mereka berdua iya, aku percaya. Lah, ini, dengan orang lain yang baru dikenal, sudah sok ngatur mintanya banyak. Masa gara-gara tidur bersama jadi sok ngatur. Ya ampun, mesum sekali ternyata suami jadi-jadianku itu!" Sekilas aku melirik pintu kamar. Berharap ia tidak mendobrak masuk dan kembali menyerangku. Walau tidak apa-apaan sebenarnya karena aku masih istrinya, tetapi tetap saja, Mas Gusti menganggapku pembantu Pak Desta. Orang lain yang tidur bersama. Tok! Tok! "Duh! Apa lagi ini orang?" aku menelan ludah sambil meraba dada yang berdebar karena pintu diketuk tiba-tiba olehnya. Lekas aku turun dari tempat tidur dan berjalan untuk membukakan pintu. "Ada apa, Pak?" tanyaku tanpa senyuman. "Mm... kamu gak ngapain gitu di luar?" "Hah? Ngapain apa?" aku menganga tidak mengerti maksud ucapannya yang absurd. "Koprol, kayang, yoga, pilates? Apa?!"
"Zia, lihat saya!" Tentu saja aku menggeleng. Aku tidak berani mengangkat wajah karena tompel waterproof yang pasti terlihat oleh Mas Gusti nantinya. "Ayo!" Mas Gusti menarikku jauh dari makam Mbak Hanin. Kaki ini terserat-seret, hingga tersandung. "Aduh!" Aku memekik karena batu besar beradu dengan mata kakiku. Mas Gusti berhenti menarik tanganku, lalu menatapku dengan sorot tajam. Aku meringis sambil menutupi tompel dengan buku yasin. "Pelan-pelan, Mas, kaki saya sakit," kataku. Mas Gusti semakin terbelalak. "Suara kamu mirip pembantu Desta." Sekarang ganti aku yang melotot. Baru satu minggu bersuara sebagai Rani, aku sampai lupa suara Zia seperti apa. Benar-benar bodoh! Belum lagi baju yang aku pakai adalah baju yang pastinya dikenali oleh Mas Gusti. Pasti hal ini yang membuatnya terkejut dengan memanggilku Zia. "Siapa? Pak Desta? Memangnya Pak Desta punya pembantu? Saya gak tahu. Udah, Mas, lepasin tangan saya. Saya mau pulang. Saya ke sini cuma ziarah aja. Bukan mau mengga
"Mohon maaf, Pak Gusti. Ini memang bukan urusan saya sebagai pribadi, tapi saya harus konfirmasi hal ini karena saya aparat lingkungan. Saya turut prihatin atas meninggalnya Bu Hanin. Baru kemarin juga kita tahlilan tiga hari almarhumah. Hari ini saya dan bendahara RT melihat adegan tidak pantas yang dilakukan Pak Gusti dan pembantu Pak Desta. Saya barusan mengirimkan pesan pada Pak Desta untuk segera ke sini dan menyelesaikan masalah ini. Dua orang dewasa berciuman di rumah yang sepi, tanpa ikatan sah. Ditambah prianya baru saja menduda. Ini akan menimbulkan fitnah bagi Pak Gusti dan Mbak Rani." Aku menelan ludah mendengar teguran dari Pak RT tempat kami tinggal. Tidak berani kepala ini terangkat sedikit saja, karena rasa malu yang teramat sangat. "Pak, itu kakinya Mbak Rani terluka dan saya mau mengantar ke kamarnya. Terus kaki saya tersandung karpet, lalu.... ""Terjadi hal yang tidak pantas. Begini, Pak Gusti. Bagaimana kalau Pak Gusti menikahi Mbak Rani?""Apa?!" Pekikku dan Ma
POV Gusti. Aku bolak-balik berjalan di kamar. Sebentar lagi, sehabis salat Isya, akan dilangsungkan pernikahan siriku dengan Rani. Sebenarnya aku juga tidak ingin seperti ini, karena hatiku masih berat dengan Hanin, tapi kecelakaan demi kecelakaan mesum, terus saja kulewati bersama Rani, hingga akhirnya hari ini, mau tidak mau, aku harus menikahinya. Kuraba cincin yang kusimpan di saku celana bahan. Cincin ini lebih kecil dari milik Hanin yang biasa aku belikan. Mungkin ukurannya sama dengan jari manis Zia. Ah, wanita itu entah berada di mana sekarang? Biarlah, urusan ini ku bereskan satu-satu, baru aku mengurus Zia. Kring! Aku menoleh saat ponsel berdering di atas ranjang. Aku menggigit bibir saat tahu kontak siapa yang muncul di sana. Pasti mama akan memarahiku habis-habisan perkara malam ini. Desta biang rumpi yang sama sekali tidak bisa disogok transferan. Pasti Desta yang telah memberitahu mamanya. Mama"Halo, assalamu'alaikum, ya, Ma.""Wa'alaykumussalam. Dah, langsung saj
"Tega sekali kamu, Gusti. Kuburan Hanin belum juga kering, tapi kamu malah mau menikah lagi. Apa yang ada di kepala kamu sebenarnya? Apakah ini aslinya menantu kesayangan kami? Suami yang selalu dibanggakan Hanin. Sampai-sampai ia menikahkan kamu dengan karyawannya sendiri. Bisa kamu bayangkan berapa besarnya cinta almarhumah untuk kamu, Gusti, tapi kamu malah begitu cepat berpaling. Sungguh tega kamu, tega!" Pekik Bu Isti; ibu dari almarhumah istriku. Jari telunjuknya ia tunjuk ke dada ini hingga sedikit terasa sakit. Aku salah, sakit ini memang tidaklah seberapa dibanding kekecewaan keluarga Hanin. "Tahan dulu, Bu, Pak, ayo, kita selesaikan ini di dalam rumah Gusti. Lihat warga semua sudah keluar dan menonton kita. Ayo, kita selesaikan di dalam. Lagian, Gusti belum jadi menikah karena wanitanya pergi." Pak RT menengahi. Kami semua dipaksa masuk oleh beliau ke dalam rumahku. Ada beberapa aparat lingkungan selain Pak RT. Ada juga ibu-ibu tetangga yang tadi hadir saat akan melihatku
POV AuthorTanpa menunggu lagi, Gusti langsung berlari ke IGD untuk melihat Zia. Jika benar adalah Zia yang dimaksud suster tadi adalah Zia istri sirinya. Seorang wanita bed satu, dua, dan tiga berisi oleh lelaki paruh baya yang ditemani anak dan istrinya. Gusti menyusuri satu per satu bed mencari sosok Zia. Punggung seorang wanita berambut pendek nampak di depan matanya. Kaki kanan wanita itu sangat bengkak tepat di bagian mata kaki, persis dengan luka Rani. "Zia," panggil Gusti pelan. Sontak Zia menoleh dan terbelalak melihat kehadiran suaminya. Bagaimana Mas Gusti bisa tahu aku di sini? Batin Zia. "Ada apa ya?" tanya Zia sembari menetralkan rada terkejutnya. "Kamu sakit?" tanya Gusti polos. Zia tertawa, lalu matanya mengarah pada kaki kanannya."Menurut Mas, apa saya baik-baik saja setelah kaki saya bertabrakan dengan batu besar di makam karena Mas yang menariknya dengan kasar?" Gusti diam sebentar. Lalu berjalan perlahan untuk memperhatikan Zia. Pakaian, rambut, dan wajahnya m