Semua berkas sudah diurus oleh keduanya. Tanggal pun sudah didapatkan untuk melaksanakan hari bahagia antara Zia dan Gusti. Persiapan pun mulai dikerjakan dengan benar-benar mengerahkan bantuan dari sanak-saudara. Wedding organizer ter-the best juga sudah dipesan Gusti. Ia memang sudah berjanji akan memberikan pernikahan terbaik untuk Zia. Sebagai penebus dosa masa lalu yang sangat berat.Zia yang awalnya menolak karena menurutnya semua terlalu mewah, sedangkan kehidupan pernikahan itu panjang. Ia ingin Gusti sedikit berhemat, tetapi Gusti menolak. Undangan sedang di design dan akan dicetak sebanyak lima ratus lembar. Belum lagi undangan virtual bagi saudara yang jauh dan kiranya tidak bisa dikunjungi untuk diberikan undangan.Mungkin akan ada sekitar seribu undangan yang akan hadir nanti."Zia, sini sebentar!" Panggil Gusti saat Zia tengah berada di ruang makan. Menata makan sore untuk keluarganya. Bik Desi pulang lebih awal karena tidak enak badan, sehingga tidak bisa membantunya s
Pov Desta"Mbak kapan sampai? Mana Mas Gusti? Hilmi gak ikut?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk di ruang tengah rumahku.Hari ini memang Mas Gusti berencana datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Ada proyek yang harus ia pantau untuk beberapa hari di sekitar Jogya. Tentu saja aku tidak keberatan jika Mas Gusti menginap di rumahku, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengannya. Namun aku tidak tahu kalau Mas Gusti ke rumah bersama Mbak Hanin. Pria itu sama sekali tidak memberitahu perihal Mbak Hanin yang turut serta."Satu jam yang lalu. Aku bawa makanan tuh! Kata Mas Gusti, kamu jarang masak, makanya dari rumah udah aku masakin, tinggal dipanaskan saja," jawab Mbak Hanin sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu membuat hati ini berdebar. Aku tahu tidak boleh ada debar di jantung ini terhadap Mbak Hanin, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dari pada jantungku tidak berdebar, malah lebih repot lagi."Terima kasih, Mbak, saya mau mandi dulu baru makan ya." Tanpa menunggu bala
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali," bisik Galih; menghentikan gerakan tangannya. Melepas keintiman ciuman itu sesaat untuk menatap lekat sangat Istri yang wajahnya sudah bersemu merah. Ditambah riasan bibir yang sudah amat berantakan karena ulahnya. Mata Dia pun berkaca-kaca. Berada dalam kamar pengantin sangat bagus bersama dengan lelaki yang selalu ia cintai sepanjang hidupnya, tentu saja tidak berani ia mimpikan, tetapi kali ini, kenyataan manis sedang ia hadapan bersama sang pujaan hati. "Terima kasih sudah berusaha sejauh ini untuk kebahagiaan saya dan anak-anak," balas Zia sambil menunduk. Tetes air matanya jatuh tepat di punggung tanganku Gusti. Pria ia mengangkat dagu Zia dengan lembut. Menghapus air mata di pipi istrinya dengan bibirnya. Bergantian, kanan dan kiri. Suasana baru itu hanya sesaat, karena kemudian Gusti sudah menghujani Zia dengan ciuman. Ciuman kali ini berbeda dari ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya, bahkan dalam gairah yang meluap-luap. C
Aku menutup pelan pintu kamar yang biasa ditempati Mas Gusti dan Mbak Hanin. Pria itu masih menangis sesegukan tanpa suara. Bahunya naik turun, bergetar hebat, menandakan ia dalam keadaan rapuh. Ya, bagaimana dia tidak rapuh, bila cinta sejatinya pergi untuk selamanya? "Gusti masih menangis?" tanya ibu mertuaku dengan mata sembabnya. Aku mengangguk pelan. "Kita semua terpukul, apalagi Gusti. Mama tidak tahu sampai berapa belas tahun kesedihan ini akan sembuh. Namun Mama berharap kamu sabar menemani Gusti dan juga Hilmi." Pesan mertuaku dengan air mata kembali menganak sungai. Aku hanya mengangguk ikut menangis lagi sambil berpelukan pada ibu mertuaku. "Mandi dulu sana, ganti baju. Baiknya sehabis dari pemakaman kita mandi dan berwudhu. Setelah itu kamu istirahat, temani Hilmi. Untuk urusan tahlilan sampai nanti tiga hari ke depan, biar Mama dan bude-bude yang mengurus." Mama mengendurkan pelukan kami, ia menghapus air mata menggunakan berego hitam yang ia kenakan dan sudah begitu b
Rasa penasaran ini membuatku menggeser gorden jendela. Masih banyak saja tamu yang silih berganti memberikan ucapan bela sungkawa pada keluarga besar Mbak Hanin dan Mas Gusti. Aku memang tidak berani terlalu menampakkan diri di luaran sana, karena pernikahanku dan Mas Gusti tidak banyak yang tahu. Hanya keluarga inti, keluarga panti tempat aku tumbuh, serta pejabat RT tempat kami tinggal saat ini. Ke mana Mas Gusti? Aku tidak melihatnya lagi. Tamu yang datang sepertinya teman-teman kantor suamiku itu, terlihat dari pakaian kemeja rapi dengan warna biru muda, persis sama dengan seragam Mas Gusti. Kuputuskan beristirahat sejenak dengan berbaring. Terlalu banyak mengeluarkan air mata sejak kemarin, membuat kepalaku berat. Ditambah kepergian Mbak Hanin tengah malam tadi, semua anggota keluarga histeris dan tidak bisa memejamkan mata. Acara tahlilan malam pertama berlangsung ramai. Para tetangga datang dan ikut mendoakan Mbak Hanin. Bagitu banyak rejeki yang Allah datangkan dari mereka
Aku tersentak begitu kalimat pengusiran itu ditangkap oleh telingaku dengan jelas. Kupandang sekeliling kamar yang masih dalam keadaan temaram. Ada Hilmi yang masih tidur dengan pulas dan suara jangkrik masih sangat nyaring di luar sana. Syukurlah aku hanya bermimpi? Memangnya ini jam berapa? Aku menoleh ke arah meja belajar Hilmi untuk melihat jam weker karena jam dinding di kamar ini mati. Sudah beberapa kali aku meminta tolong pada Mas Gusti untuk mengganti jam dinding itu, tapi suamiku mengabaikannya. Mungkin baginya memang aku tidak penting, apalagi hanya sekedar jam dinding. Ternyata baru jam dua dini hari. Aku menghela napas, sembari menyeka keringat yang mengucur deras di dahi dan leher. Udara terasa sangat panas, padahal saat selesai pengajian tadi, sempat gerimis sebentar. Baju piyama Hilmi saja sudah basah kuyup karena gerah. Kipas angin diputar full, tetapi masih saja kami berdua kegerahan. Aku turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamar sedikit. Hawa dari luar,
Aku hanya bisa menunduk takut saat tatapan ketiga orang dewasa di depanku, seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat, terutama Mas Gusti. Sepertinya ia sanggup menggigit dagingku tanpa perlu dimasak. Apa aku menangis dengan teriakan dan tuduhan itu padaku? Tentu saja tidak, untuk apa? Membela diri? Percuma, mereka tidak akan percaya."Mama gak sangka penyebab jatuhnya Hanin adalah kamu, Zia. Kenapa kamu bisa teledor? Apa kamu memang sengaja melakukan ini pada menantu sahku? Apa kamu hanya ingin memiliki Gusti sendirian saja? Mama tidak percaya ini. Kamu sudah Mama perlakukan seperti menanti benar, tetapi kamu licik!" Aku menulikan telinga ini dengan sangat tebal. Karena jika aku memasukkannya ke dalam hati, tentu saja aku kecewa dan sakit hati."Maafkan, Zia, Ma. Zia tidak sengaja. Biasanya.... " Aku hanya berusaha meminta maaf, tanpa membela diri."Gusti, apa yang akan kamu lakukan pada Zia? Mama serahkan pada kamu saja. Sudah selayaknya wanita pembunuh berada di mana, baik disengaja a
"Saya sudah membuat majikan saya terpeleset di rumah dan majikan saya meninggal, Pak. Jadi saya ke sini untuk menyerahkan diri karena sudah ceroboh. Majikan saya dan bayi yang ada di dalam perutnya tidak bisa diselamatkan karena saya. Tangkap saya, Pak!" Kataku saat berdiri di depan petugas yang melongo menatapku.Mungkin ia mengira, aku akan membuat laporan kehilangan, ternyata aku malah mau menyerahkan diri. Seandainya bisa kupotret wajah bingungnya pasti sudah kupotret."Jadi kamu ke sini mau menyerahkan diri?" tanyanya lagi padaku. Padahal tadi aku sudah bilang begitu, kenapa petugas ini malah menanyakan kembali? Ya ampun, aku benar-benar lelah dan tidak mau berdebat. Ketupat sayur padang yang ada di dalam tasku, pasti sudah mengembang karena terlalu lama si Mas Polisi menatapku."Masuk dulu ke dalam, nanti kita akan buatkan BAP-nya!" Aku pun mengangguk paham. Sampai di dalam, aku bingung mau ke mana. Ke arah kanan, polisi sedang duduk di mejanya dengan banyak kertas. Ke sebelah k