Share

7. Pamitan

Pak Desta biasa aku memanggilnya. Pria berusia dua puluh sembilan tahun; adik dari Mas Gusti. Selama ini, Pak Desta bekerja mengelola toko bahan bangunan milik papanya di daerah Yogyakarta. Itu yang pernah aku dengar dari Mbak Hanin. 

Dalam setahun, Pak Desta pulang ke Jakarta hanya satu tahun sekali, pada saat lebaran saja dan datang bertamu ke rumah Mas Gusti sangat jarang sekali. 

Selama aku bekerja dan tinggal di rumah Mbak Hanin, baru dua kali aku bertemu Pak Desta. Orangnya tidak banyak bicara, tetapi masih bisa dibilang ramah. Kenapa aku panggil Pak Desta? Karena Mas Gusti yang memintanya. Kata Mas Gusti, aku harus sopan dan hormat pada Pak Desta. Mereka memang kakak beradik, tapi sepertinya karakter mereka berbeda. 

Sebuah kejutan dalam hidupku yang di ujung tanduk ini, saat seorang Pak Desta datang dan menjaminkan diri ini agar bisa keluar dari penjara. Sungguh aneh, tapi semua mungkin memang takdir bagiku yang memang sebenarnya tidak bersalah. 

"Zia, malah bengong! Ayo, kamu mau tidur di penjara atau di rumah saya yang ada kasurnya?" tanya Pak Desta terlihat mulai tidak sabar. Aku menggaruk rambut yang tidak gatal. 

"Tapi kasurnya springbed atau kasur kapuk, Pak? Kalau kapuk saya gak bisa, soalnya saya ada sakit lambung," tanyaku dengan wajah penasaran. Pria itu malah tertawa sambil menggelengkan kepala. 

"Zia, Zia, apa hubungannya kasur kapuk dengan lambung? Pokoknya kamu tidur nyaman mulai malam ini. Di kamar kamu ada AC-nya, gimana?" tentulah mata ini berbinar senang mendengar pendingin ruangan disebut. 

Saat menjadi istri Mas Gusti, aku tidur di kamar berdua Hilmi berpanas-panasan dengan kipas angin saja sebagai pereda gerah. Namun, saat diminta jadi pembantu, malah aku ditawari kamar ber-AC. Tahu gitu, mending jadi pembantu saja. 

"Zia, ya ampun, ngelamun lagi! Ayo, ambil tas kamu di dalam sana! Ikut aku!" Aku pun mengangguk. Semoga ini jalan terbaik bagiku. Dengan air mata penuh haru, aku berjalan ke dalam sel yang tidak dikunci itu, untuk mengambil tas ransel berisi pakaianku. 

Aku bersalaman dengan beberapa petugas di sana, sambil mengucapkan kalimat perpisahan. Padahal aku baru saja di sana sejak pukul sembilan pagi sampai pukul tiga sore, tetapi rasanya begitu berat meninggalkan kantor polisi ini. 

"Maafin saya ya, Mas Polisi, jika selama saya di sini, saya sudah menyusahkan dan banyak dosa," kataku pada petugas yang tadi pagi menggiringku masuk ke dalam sel. 

"Iya, udah, sana! Untung kamu ada yang jamin, kalau tidak, penyakit darah tinggi saya bisa kambuh ketemu kamu setiap hari. Lagian, kamu di sini tadi cuma numpang sarapan dan tidur siang doang, jadi gak akan berdosa! Udah, pergi sana!" Aku pun mengangguk paham. Lalu menyusul Pak Desta yang sudah di parkiran. 

"Kenapa?" tanya Pak Desta saat aku terus saja memandangi kantor polisi yang baru sebentar aku kunjungi. 

"Saya gak enak sama polisi di dalam, Pak, masa cuma numpang makan ketupat sayur doang sama tidur siang di sana," jawabku masih dengan tidak enak hati. Pak Desta tertawa cekikikan, lalu membukakan pintu mobilnya Toyata Avaanaza untukku. 

"Dah, kamu ini aneh. Kenapa Mas Gusti malah gak bisa jatuh cinta sama kamu, padahal kamu ngeselin loh!" Kali ini aku yang terbahak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status