"Zia, bangun!" Suara hentakan keras diiringi pukulan pada besi pagar tahanan, membuatku tersentak.
"Kenapa, Pak?" tanyaku masih dengan kelopak mata yang amat berat. "Udah waktunya makan ya?" tanyaku lagi karena merasa perut ini keroncongan. "Makan terus yang ada di otak kamu, bangun! Ada tamu!""Oh, saya disuruh buatin teh untuk tamunya?" tanyaku lagi masih dalam mode belum sadar sepenuhnya. Polisi muda itu tertawa cekikikan dan enggan menjawab pertanyaanku barusan. Aku pun berdiri, meninggalkan tas ranselku di dalam sel. Tidak mungkin ada yang mengambil karena tidak ada tahanan lain di dalam sel bersamaku. Sepi, mungkin sudah pada mudik. "Eh, mau ke mana jalannya? Bukan belok kanan, itu... ke kiri!" petugas itu menarik tanganku dengan kuat, hingga tubuh ini yang sudah berada di arah kanan, terpaksa berbalik ke arah kiri. "Oh, dapurnya di sana! Berapa banyak tehnya, Pak?" tanyaku lagi. Petugas itu menghela napas, lalu tertawa. Begitu juga dengan petugas lain yang duduk di meja masing-masing yang tidak jauh dari tempat aku berdiri. "Zia, saya bilang ada tamu, bukannya itu berarti kamu harus buatkan teh.""Lalu apa, Pak? Kopi? Kopi hitam apa kopi susu? Susu murni apa mau susu basi?"Aargh! Pekikku saat rambut ini ditarik dengan kesal olehnya. "Udah, jangan ngoceh aja! Jalan lurus, ada tamu yang mau ketemu kamu!" Aku pun mengangguk paham sambil terus mengusap kepala yang sakit karena ditarik barusan. Siapa sih tamunya? Waktu masih di rumah Mas Gusti, aku gak pernah ada tamu. Sekalinya tamu, kurir paket susu Hilmi. Dengan tidak semangat, aku membuka pintu yang ditunjukan polisi tadi. Seorang pria duduk memunggungi pintu, tempat di mana aku berdiri saat itu. "Permisi, apa Bapak cari saya?" tanyaku pelan. Pria itu menoleh dengan kaget, lalu segera berdiri dengan cepat. "Zia, kamu gak papa? Kamu ga dipukulin di sini'kan? Alhamdulillah, aku tidak melihat wajah atau tubuh kamu terluka, syukurlah." Pria itu nampak tersenyum lega. Aku pun ikut tersenyum. Baru dua kali aku bertemu dengannya karena ia tidak tinggal di Jakarta. "Ada apa Bapak kemari?" tanyaku heran. "Sini, duduk dulu!" Pria itu pun menarik tanganku untuk duduk di kursi kosong di sampingnya. Aku menurut saja, membiarkan ia menarik tubuh ini dan mendaratkan bokong di kursi kayu yang keras. "Apa Mas Gusti yang meminta Bapak ke sini?" tanyaku lagi dengan harap-harap cemas. Jika jawabannya iya, maka Mas Gusti pasti tidak tega juga denganku. "Bukan, ini inisiatif saya saja. Apa menurut kamu, saya percaya dengan tuduhan Gusti atas terpelesetnya almarhum Mbak Hanin karena kamu? Tentu saja tidaktidak," terang pria itu. "Lalu?" tanyaku lagi. "Kamu aku bebaskan, Zia. Aku tahu kamu tidak seperti prasangka Gusti. Aku menjamin kamu agar bisa keluar dari penjara, tapi kamu tidak boleh keluar kota sama sekali sampai masa penyelidikan selesai." Mata ini sudah berkaca-kaca mendengar ada orang baik seperti Mas Desta yang menjaminku. Apakah ini mimpi? "Pak, tapi percuma juga saya keluar, saya mau tinggal di mana? Masa saya jadi gelandangan? Udah, saya gak papa di sini, suasana selnya enak kok. Cuma dingin aja karena terbuat dari semen, bukan ubin keramik." Pak Desta tertawa mendengar perkataanku. "Kamu akan tinggal di rumah saya, bagaimana? Kamu jadi ART saya?"Pak Desta biasa aku memanggilnya. Pria berusia dua puluh sembilan tahun; adik dari Mas Gusti. Selama ini, Pak Desta bekerja mengelola toko bahan bangunan milik papanya di daerah Yogyakarta. Itu yang pernah aku dengar dari Mbak Hanin. Dalam setahun, Pak Desta pulang ke Jakarta hanya satu tahun sekali, pada saat lebaran saja dan datang bertamu ke rumah Mas Gusti sangat jarang sekali. Selama aku bekerja dan tinggal di rumah Mbak Hanin, baru dua kali aku bertemu Pak Desta. Orangnya tidak banyak bicara, tetapi masih bisa dibilang ramah. Kenapa aku panggil Pak Desta? Karena Mas Gusti yang memintanya. Kata Mas Gusti, aku harus sopan dan hormat pada Pak Desta. Mereka memang kakak beradik, tapi sepertinya karakter mereka berbeda. Sebuah kejutan dalam hidupku yang di ujung tanduk ini, saat seorang Pak Desta datang dan menjaminkan diri ini agar bisa keluar dari penjara. Sungguh aneh, tapi semua mungkin memang takdir bagiku yang memang sebenarnya tidak bersalah. "Zia, malah bengong! Ayo, kamu
Untunglah Mas Gusti memiliki adik baik seperti Pak Desta, sehingga aku tertolong. Jika tidak, pasti aku akan awet di dalam penjara.Perjalanan ke rumah Pak Desta memakan waktu setengah jam saja. Kami tidak banyak bicara, bukan karena sungkan, melainkan aku yang kembali tertidur di mobilnya. Saat mobil itu berhenti, barulah aku membuka kelopak mata yang berat ini.Kupandangi sekeliling sambil mengucek kedua mata yang terasa sangat berat ini. Kenapa semua perumahan sama? Model dan bentukannya sama. Jalanannya pun sama saja."Pak Desta, saya kayak ngerasa pulang ke rumah Mbak Hanin, he he he...," kataku dengan mata berkaca-kaca."Kenapa memangnya?" tanya pria itu sambil mengulum senyum."Karena perumahannya kayak sama dengan perumahan Mbak Hanin. Itu, ada pos jaga satpam di dekat pohon nangka." Pak Desta tertawa cekikikan lagi. Entahlah, aku tidak pernah merasa menjadi pelawak, tetapi kenapa pria ini selalu saja menertawakanku?"Zia, nyawa kamu belum ngumpul ya? Ini memang perumahan Peso
Untunglah saat aku menoleh ke arah pagar, mainan Hilmi jatuh dan anak kecil tampan itu berjongkok untuk mengambilnya. Mungkin ia tidak menyadari ada aku bersama Om Desta-nya. Aku pun berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam rumah Pak Desta. "Ada Hilmi, Pak, jangan sampai dia tahu saya ada di sini." Aku pun masuk saja tanpa tahu harus ke arah mana dan harus bersembunyi di mana. Dapur adalah tujuan pertamaku, bersembunyi di kolong meja. "Eh, ada anak Om Desta. Sini, ayo, masuk!" Kudengar suara riang Pak Desta menyapa Hilmi. Tidak lama kemudian, suara pagar dibuka. Jantung ini semakin berdegub kencang karena langkah Hilmi dan Desta terasa semakin dekat. "Assalamu'alaikum, Hilmi masuk ya, Om," suara anakku yang lucu itu. Ah, ingin sekali memeluknya dan mengatakan berapa ia sangat pintar. Anak yatim yang pintar dan tampan itu, sungguh sangat disayangkan tidak dipedulikan oleh papanya. "Masuk sini, Gantengnya Om Desta! Kalau mau nonton, di kamar Om saja ya. Di luar, TV-nya rusak," sua
Pak Desta sudah membawa Hilmi pergi dengan mobilnya. Aku mengintip dari jendela kamar kepergian keduanya. Setelah merasa aman, aku pun pergi ke dapur untuk mencari sabun. Ya, paling tidak, aku harus segera mandi membersihkan tubuh. Ada sabun batangan di dalam lemari perlengkapan dapur dan masih banyak persediaan rumah tangga lainnya. Satu batang sabun batangan aku bawa ke kamar untuk membersihkan tubuhku. Barang yang lainnya bisa aku urus nanti. Setelah mandi dan mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman. Aku pun menyapu rumah dan mengepelnya. Setelah semua lantai dan ruangan bersih dan wangi, aku pun mencuci piring kotor yang tidak terlalu banyak di kitchen sink. Adzan magrib berkumandang saat aku selesai melakukan semuanya. "Desta! Desta! Lu di rumah gak? Desta!" Teriakan Mas Gusti membuatku terlonjak kaget. Dengan ketakutan, aku kembali bersembunyi di dalam kolong meja. Bisa saja Mas Gusti masuk ke dalam rumah dan aku tidak tahu, apakah pintu rumah tadi sudah dikunci Pak Desta
Anak kecil berusia empat tahun, tidak semuanya mampu memahami maksud dari perkataan orang dewasa. Satu hal yang perlu aku syukuri saat ini, Hilmi tidak bersedih dengan kalimat penolakan Mas Gusti, karena Hilmi saat itu bersin sebanyak tiga kali. Memang seperti itu jika pagi, Hilmi alergi udara pagi, walau pagi tidak mendung sekali pun. Anak kecil itu kini menatapku dengan heran. Masih sambil mengucek kedua matanya. Aku tersenyum, lalu berjalan untuk menutup pintu rumah, setelah memastikan Mas Gusti keluar dari rumah Pak Desta. "Halo, saya Teh Rani, pembantunya Om Desta. Nama kamu siapa ganteng?" tanyaku sambil berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan Hilmi. "Hilmi, Teh." Anak kecil itu tersenyum. Lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Hilmi mau sarapan dulu atau mau mandi dulu?" tanyaku pada Hilmi yang saat ini menatapku dengan intens. Semoga saja ia tidak mengenaliku. "Hilmi mau libur sekolah boleh gak, Teh?" aku terkejut mendengar perkataan Hilmi. "Memangnya kenapa mau libur?" "Ma
Tidak akan ada yang bisa menandingi tenaga pria yang telah dikuasai oleh alkohol. Tenaga dua wanita, bahkan mungkin tiga orang wanita sekali pun, tetap tidak akan mampu menahan kuatnya cengkeraman dan tarikan kuat pria dalam keadaan mabuk berat. Memang Mas Gusti suamiku, tetapi ia tidak tahu, bahwa yang saat ini ia ciumi habis-habisan tubuhnya adalah aku. Jika saja ia tahu bahwa wanita yang sibuk ia lucuti pakaiannya ini adalah Zia, mungkin saja Mas Gusti akan pingsan. Mengingat betapa ia membenciku. "Pak, lepas!" Kembali sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya, tetapi tidak bisa. Kedua tanganku ditarik ke atas hingga berada di atas kepala. Ia tahan dengan kedua tangannya dan tangan satunya lagi terus saja menggodaku. Air mata sudah tidak terbendung. Aku takut dengan Mas Gusti, walau ia suamiku. Tenggorokan ini pun bagaikan ditimpa baru besar, sehingga tidak mampu berteriak berhenti. "Hanin, kenapa menangis, aku suami kamu? Aku belum melakukan apa-apa, baru mencium saja, kenapa sudah
"Rani, katakan, itu darah apa yang ada di kasur kamu? Kamu mencoba mempermainkan saya?" sebelum suara lelaki itu semakin keras, kutarik ia masuk ke dalam kamar, agar Hilmi yang tengah makan tidak mendengar pertengkaran kami. "Pak Gusti melakukannya dan jangan bilang Bapak gak sadar! Oke, Bapak memang gak sadar karena pengaruh alkohol, tetapi apa yang Bapak lakukan bukan hal rekayasa. Gak percaya?" kedua bola mataku menatap lekat netranya. Ada sebuah kesedihan dan luka di dalam sana, sehingga yang ia lakukan beberapa jam lalu padaku dapat dipastikan sebuah pelarian. "Ini, lihat!" Aku menarik turun baju daster yang aku kenakan. Ada banyak tanda merah yang ditinggalkan Mas Gusti di sana. Pria itu memalingkan wajahnya karena malu dan juga mungkin kesal dengan dirinya sendiri. "Tidak mungkin saya menandainya dengan crayon'kan? Memangnya pekerjaan saya gak ada?" Aku berpura-pura tidak terima keperawananku terenggut. Biarlah untuk sementara, Mas Gusti menganggap dirinya telah menodai Rani,
"I-itu tadi saya tidak sengaja menumpahkan susu yang akan saya berikan pada Hilmi, Pak. Terus, masalah kaus dalam Pak Gusti itu sepertinya saat mengambil baju untuk Hilmi, Pak Gusti mengira mungkin itu kaus dalam Hilmi, padahal kaus dalam beliau. Begitu ceritanya." Aku berusaha menampilkan ekspresi serius dan tidak berbohong. Pak Desta masih memandangiku dengan seksama, tapi sedetik kemudian, ia pun berjalan masuk ke dalam kamarnya. "Saya mau makan, Rani, tolong ambilkan untuk saya." Pria itu keluar lagi dari kamar sambil memanjangkan lehernya. "Baik, Pak." Bergegas kuhidangkan menu masakan yang sudah kubuat sebelum ashar tadi. Soal rasa, mungkin masih enakan yang kubeli di restoran bento, tetapi warnanya, aku usahakan sama, sehingga Pak Desta tidak mencurigaiku.Hilmi pun ikut makan, duduk di depan televisi. Anak kecil itu sudah pintar makan sendiri, aku hanya menemaninya saja. Pak Desta makan tanpa banyak suara. Entahlah, kadang pria ini begitu ramah, terkadang juga begitu dingin.