Untunglah saat aku menoleh ke arah pagar, mainan Hilmi jatuh dan anak kecil tampan itu berjongkok untuk mengambilnya. Mungkin ia tidak menyadari ada aku bersama Om Desta-nya. Aku pun berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam rumah Pak Desta.
"Ada Hilmi, Pak, jangan sampai dia tahu saya ada di sini." Aku pun masuk saja tanpa tahu harus ke arah mana dan harus bersembunyi di mana. Dapur adalah tujuan pertamaku, bersembunyi di kolong meja. "Eh, ada anak Om Desta. Sini, ayo, masuk!" Kudengar suara riang Pak Desta menyapa Hilmi. Tidak lama kemudian, suara pagar dibuka. Jantung ini semakin berdegub kencang karena langkah Hilmi dan Desta terasa semakin dekat. "Assalamu'alaikum, Hilmi masuk ya, Om," suara anakku yang lucu itu. Ah, ingin sekali memeluknya dan mengatakan berapa ia sangat pintar. Anak yatim yang pintar dan tampan itu, sungguh sangat disayangkan tidak dipedulikan oleh papanya. "Masuk sini, Gantengnya Om Desta! Kalau mau nonton, di kamar Om saja ya. Di luar, TV-nya rusak," suara Pak Desta berbicara pada Hilmi, tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar dibuka. Aku tahu, Pak Desta pasti sengaja menggiring Hilmi ke kamar agar memberikan waktu padaku untuk keluar dari persembunyian. "Zia, cepat keluar! Kamar kamu ada di sebelah kanan dekat dapur ya. Kamarnya tidak aku kunci," ujar Pak Desta sambil berbisik. Aku pun mengangguk paham, lalu mengendap-ngendap berjalan dengan berjinjit untuk sampai di depan pintu kamarku. Pelan kututup pintu kamar, lalu kukunci dari dalam. Napasku pun masih terengah-engah karena terkejut sekaligus khawatir Hilmi menyadari kehadiranku di rumah om-nya. Tunggu, ini kamarku? Yang benar saja. Ini lebih mirip kamar nona muda, bukan pembantu. Lemari pakaiannya saja berwarna merah muda. Ranjang single yang sepreinya juga berwarna merah muda. Kenapa bisa seperti ini? Apakah Pak Desta sengaja menyiapkannya, tapi untuk apa? Aku terus bermonolog sambil terus memperhatikan kamar bagus yang mulai malam ini akan aku tinggali. Lemari, laci, meja kecil, serta cermin yang menempel di dinding, tidak luput dari perhatianku. Tangan ini pun ikut menyentuh benda-benda yang sangat bagus di kamarku ini. Jika ingin jujur, saat aku masih di panti, kamar seperti inilah yang menjadi kamarku. Namun, itu saat aku masih usia SD, sekarang aku sudah tua, rasanya lucu mempunyai kamar layaknya kamar anak SD. Wah, ada kamar mandi juga di dalam kamar yang masih kosong. Tidak ada botol sampo ataupun sabun. Tok! Tok! "Zia, buka!" Aku pun berjalan cepat untuk membukakan pintu bagi Pak Desta. Pria itu masuk dan menutup pintu dengan rapat. Jari telunjuknya ia taruh di bibir, tanda aku tidak boleh bersuara keras."Aku dapat ide, kamu sebaiknya tidak menampakkan diri sebagai Zia. Keadaan Mas Gusti juga sepertinya belum baik. Kata Hilmi, papanya tidak keluar dari kamar sejak pagi. Neneknya sudah pulang dan dia ke sini karena lapar.""Ya ampun, Pak, kasihan sekali Hilmi," ujarku dengan mata berkaca- kaca. "Mas Gusti benar-benar mengabaikan Hilmi. Saya takut Hilmi diantar ke panti lagi," isakanku akhirnya tumpah juga. "Nanti, aku akan mengajak Hilmi pergi. Kamu bisa beberes rumah. Aku akan ajak Hilmi main dan makan, lalu aku kembalikan pada Mas Gusti setelah Hilmi lelah. Terus, aku akan belikan kamu rambut palsu. Kamu harus berlakon dan bergaya bukan seperti Zia yang dikenal Hilmi maupun Mas Gusti. Aku yakin, begitu Mas Gusti tahu aku punya ART, pasti Hilmi dititip di sini dan kamu masih bisa mengurus Hilmi, tapi bukan sebagai Zia, bagaimana?"Pak Desta sudah membawa Hilmi pergi dengan mobilnya. Aku mengintip dari jendela kamar kepergian keduanya. Setelah merasa aman, aku pun pergi ke dapur untuk mencari sabun. Ya, paling tidak, aku harus segera mandi membersihkan tubuh. Ada sabun batangan di dalam lemari perlengkapan dapur dan masih banyak persediaan rumah tangga lainnya. Satu batang sabun batangan aku bawa ke kamar untuk membersihkan tubuhku. Barang yang lainnya bisa aku urus nanti. Setelah mandi dan mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman. Aku pun menyapu rumah dan mengepelnya. Setelah semua lantai dan ruangan bersih dan wangi, aku pun mencuci piring kotor yang tidak terlalu banyak di kitchen sink. Adzan magrib berkumandang saat aku selesai melakukan semuanya. "Desta! Desta! Lu di rumah gak? Desta!" Teriakan Mas Gusti membuatku terlonjak kaget. Dengan ketakutan, aku kembali bersembunyi di dalam kolong meja. Bisa saja Mas Gusti masuk ke dalam rumah dan aku tidak tahu, apakah pintu rumah tadi sudah dikunci Pak Desta
Anak kecil berusia empat tahun, tidak semuanya mampu memahami maksud dari perkataan orang dewasa. Satu hal yang perlu aku syukuri saat ini, Hilmi tidak bersedih dengan kalimat penolakan Mas Gusti, karena Hilmi saat itu bersin sebanyak tiga kali. Memang seperti itu jika pagi, Hilmi alergi udara pagi, walau pagi tidak mendung sekali pun. Anak kecil itu kini menatapku dengan heran. Masih sambil mengucek kedua matanya. Aku tersenyum, lalu berjalan untuk menutup pintu rumah, setelah memastikan Mas Gusti keluar dari rumah Pak Desta. "Halo, saya Teh Rani, pembantunya Om Desta. Nama kamu siapa ganteng?" tanyaku sambil berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan Hilmi. "Hilmi, Teh." Anak kecil itu tersenyum. Lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Hilmi mau sarapan dulu atau mau mandi dulu?" tanyaku pada Hilmi yang saat ini menatapku dengan intens. Semoga saja ia tidak mengenaliku. "Hilmi mau libur sekolah boleh gak, Teh?" aku terkejut mendengar perkataan Hilmi. "Memangnya kenapa mau libur?" "Ma
Tidak akan ada yang bisa menandingi tenaga pria yang telah dikuasai oleh alkohol. Tenaga dua wanita, bahkan mungkin tiga orang wanita sekali pun, tetap tidak akan mampu menahan kuatnya cengkeraman dan tarikan kuat pria dalam keadaan mabuk berat. Memang Mas Gusti suamiku, tetapi ia tidak tahu, bahwa yang saat ini ia ciumi habis-habisan tubuhnya adalah aku. Jika saja ia tahu bahwa wanita yang sibuk ia lucuti pakaiannya ini adalah Zia, mungkin saja Mas Gusti akan pingsan. Mengingat betapa ia membenciku. "Pak, lepas!" Kembali sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya, tetapi tidak bisa. Kedua tanganku ditarik ke atas hingga berada di atas kepala. Ia tahan dengan kedua tangannya dan tangan satunya lagi terus saja menggodaku. Air mata sudah tidak terbendung. Aku takut dengan Mas Gusti, walau ia suamiku. Tenggorokan ini pun bagaikan ditimpa baru besar, sehingga tidak mampu berteriak berhenti. "Hanin, kenapa menangis, aku suami kamu? Aku belum melakukan apa-apa, baru mencium saja, kenapa sudah
"Rani, katakan, itu darah apa yang ada di kasur kamu? Kamu mencoba mempermainkan saya?" sebelum suara lelaki itu semakin keras, kutarik ia masuk ke dalam kamar, agar Hilmi yang tengah makan tidak mendengar pertengkaran kami. "Pak Gusti melakukannya dan jangan bilang Bapak gak sadar! Oke, Bapak memang gak sadar karena pengaruh alkohol, tetapi apa yang Bapak lakukan bukan hal rekayasa. Gak percaya?" kedua bola mataku menatap lekat netranya. Ada sebuah kesedihan dan luka di dalam sana, sehingga yang ia lakukan beberapa jam lalu padaku dapat dipastikan sebuah pelarian. "Ini, lihat!" Aku menarik turun baju daster yang aku kenakan. Ada banyak tanda merah yang ditinggalkan Mas Gusti di sana. Pria itu memalingkan wajahnya karena malu dan juga mungkin kesal dengan dirinya sendiri. "Tidak mungkin saya menandainya dengan crayon'kan? Memangnya pekerjaan saya gak ada?" Aku berpura-pura tidak terima keperawananku terenggut. Biarlah untuk sementara, Mas Gusti menganggap dirinya telah menodai Rani,
"I-itu tadi saya tidak sengaja menumpahkan susu yang akan saya berikan pada Hilmi, Pak. Terus, masalah kaus dalam Pak Gusti itu sepertinya saat mengambil baju untuk Hilmi, Pak Gusti mengira mungkin itu kaus dalam Hilmi, padahal kaus dalam beliau. Begitu ceritanya." Aku berusaha menampilkan ekspresi serius dan tidak berbohong. Pak Desta masih memandangiku dengan seksama, tapi sedetik kemudian, ia pun berjalan masuk ke dalam kamarnya. "Saya mau makan, Rani, tolong ambilkan untuk saya." Pria itu keluar lagi dari kamar sambil memanjangkan lehernya. "Baik, Pak." Bergegas kuhidangkan menu masakan yang sudah kubuat sebelum ashar tadi. Soal rasa, mungkin masih enakan yang kubeli di restoran bento, tetapi warnanya, aku usahakan sama, sehingga Pak Desta tidak mencurigaiku.Hilmi pun ikut makan, duduk di depan televisi. Anak kecil itu sudah pintar makan sendiri, aku hanya menemaninya saja. Pak Desta makan tanpa banyak suara. Entahlah, kadang pria ini begitu ramah, terkadang juga begitu dingin.
POV AuthorBu Nadia sudah berada di ruang cuci rumah putranya yang baru saja jadi duda. Ada banyak pakaian yang belum dicuci. Tiga ember besar pakaian almarhum Hanin; menantunya, Gusti, Hilmi, dan juga beberapa potong baju Zia. Ah, bagaimana nasib gadis itu setelah di penjara? Batin Bu Nadia miris. Ia sebenarnya tidak percaya begitu saja bahwa Zia-lah yang menyebabkan Hanin terpeleset di rumah. Karena sepanjang ia mengenal Zia, gadis itu selalu kerja dengan sangat baik. Memasak, menjaga Hilmi, dan juga mengurus rumah. Namun, Gusti bersikeras mengatakan Zia adalah pelakunya, sehingga ia sebagai ibu, mau tidak mau akhirnya percaya dengan Gusti. "Kenapa, Ma?" tanya Gusti yang baru saja keluar kamar dan langsung ke belakang menghampiri Bu Nadia. "Ini loh, pakaian kamu banyak sekali. Masa Mama yang nyuci, dibawa ke laundry-an aja, Gusti. Harusnya kemarin itu, Zia jangan langsung disuruh keluar dari rumah ini. Ck, lihat baju-baju ini banyak sekali," omel Bu Nadia sambil menggelengkan kep
"Gusti, kamu dipanggil mama!" Suara Pak Mus membuat dua lelaki dewasa menoleh serentak ke arah pagar. Kening Desta mengerut saat memperhatikan wajah papanya yang seperti menahan marah. Rahang pria dewasa itu mengeras dan menatap dua putranya dengan begitu lekat."Saya juga dipanggil gak, Pa?" tanya Desta yang ikut berdiri juga. "Nggak, ini khusus urusan duda nyeleneh kayak mas kamu ini! Udah, cepat, Gusti, keburu rumah kamu dibakar mama!""Waduh, rumah siapa yang kebakaran?" sela Rani alias Zia yang datang sambil memegang sapu. "Sebentar, saya ambil ember! ""Rani, apa yang mau kamu lakukan?" tanya Desta sambil menahan tawa. "Ambil ember bantuin memadamkan api beneran kan? Kalau api asmara saya gak tahu cara memadamkannya, hi hi hi.... " Rani melirik Gusti dengan sengaja. Ia memainkan bibir sambil menggigit manja di depan Gusti yang mencebik. "Gusti, cepat!" Pekik Pak Mus tak sabar. Gusti berbalik, lalu berjalan ke arah pagar. "Kuy, Pak Desta, kita bantuin padamkan api!" "Ya amp
"Rani, katakan yang jujur, Mas Gusti tidur sama kamu?" tanya Desta tak sabar. Namun, jangan panggil ia Zia, kalau tidak bisa berkelit. "Apa menurut Pak Desta, Mas Gusti mau tidur sama saya? Kalau begitu, kenapa saya harus dikirim ke penjara? Mas Gusti gak akan menyentuh saya, Pak. Lagian Bapak tadi gak dengar kalau Mas Gusti bilang, dia tidur sama wanita malam. Duh, saya bingung sama keluarga suami saya. Udah, ah, saya mau ke rumah Pak Desta saja." Desta belum lagi sempat menjawab sanggahan Rani, wanita itu sudah tidak ada di hadapannya dan kini tengah berjalan begitu cepat menuju rumahnya. Desta yang tidak mau ikut campur secara langsung pada urusan Gusti, hanya bisa tersenyum simpul. Ada banyak yang harus ia selesaikan setelah kakak iparnya meninggal, termasuk melindungi Zia dari Gusti yang semena-mena. Kembali ke dalam rumah. Baju kemeja dengan bercak darah tadi, kini sudah ada di tangan Gusti. Ia memandangi terus noda itu dengan mata yang sayu. Kenapa ia bisa sampai terjerumus