Matari membuka matanya lagi. Saat dilihatnya jam tangannya, sudah pukul 7 pagi. Dia ketiduran lagi. Samar-samar terdengar suara Iko dan Raline dari arah area dapur. Matari mendongakkan kepalanya. Tampak olehnya Iko dan Raline tengah memasak mie instan bersama sambil bersenda gurau. Matari menarik napas lega. Entah pikiran jelek apa yang merasukinya tadi pagi-pagi buta, namun dia senang melihat Iko dan Raline berada di sana.
“Good morning, putri tidur. Enak bobo di sofa?” sapa Iko saat melihat Matari terbangun dan memperhatikan dirinya.
“Hehehe. Maaf ketiduran…,” kata Matari sambil mengucek-ucek matanya.
“Sorry ya, semalam mau bangunin elo tu nggak enak, ya udah gue biarin aja di situ. Udah nyenyak banget kayanya,” sahut Iko sambil mengambil mangkok yang memang disediakan oleh fasilitas hotel. “Mau mie nggak? Sarapan baru dianter ke kamar sekitar jam 9 nan. Soalnya s
Malamnya, yang berarti malam kedua bagi Matari, setelah makan malam di restoran seafooddekat hotel, Matari kembali ke kamarnya bersama Dian. Matari cukup merasa beruntung ada Dian di sampingnya. Meski dia tak banyak mengobrol, setidaknya Matari merasa senasib dengan gadis kecil itu. Menumpang liburan dengan keluarga lain. Hal yang baru disadarinya, ternyata menumpang liburan, meski dengan hotel sebagus apapun, tidak terlalu membuatnya nyaman.Padahal, Tante Indira dan Om Baskara tidak terlalu ikut campur dengan urusan anak-anak yang ikut dengan mereka. Mereka benar-benar menikmati liburan dengan caranya sendiri. Anak-anak yang sudah dianggap lebih besar dan bisa bertanggungjawab, sama sekali tidak terlalu diatur ini-itu. Hal itu tentu berbeda dengan cara Eyang Putri atau Ayah Matari di rumah. Jika mereka ada di sini, pasti akan ada aturan-aturan tidak tertulis yang harus ditepati.Banyak hal yang dilakukan Matari bersa
Matari membuka matanya dan langsung merasa bersyukur. Dia benar-benar berada di dalam kamarnya sendiri sekarang. Liburan 4 hari 3 malam di Anyer terasa bagaikan mimpi. Dia masih agak linglung dan lelah setelah perjalanan jauh yang beberapa kali tersendat macet karena ada kecelakaan besar di tengah perjalanan pulang mereka kembali ke rumah. Sesampainya di rumah pun, Matari tak banyak bicara dan langsung tertidur di kamarnya hingga menjelang maghrib.“Neng, saya masuk ya?” suara Mbok Kalis mengagetkan lamunannya.Pintu kamarnya yang baru disadarinya tidak tertutup sepenuhnya, memperlihatkan siluet Mbok Kalis membawa nampan.“Iya, Mbok. Masuk aja. Aku udah bangun, kok!” sahut Matari.“Ini ada teh dicampur madu sama lemon. Kata Eyang Putri buat Neng. Soalnya tadi pas turun mobilnya Bu Indira mukanya pucet banget dan pandangan matanya kosong. Takutnya Eyang, ada yang nempel. Hehehe…,” sahut Mbok Kalis sambil tertawa k
“SUMPAH! GUE KESEL BANGET SAMA YANG NAMANYA IKO DAN EYANG POER!” seru Lisa saat Matari selesai menceritakan kejadian selama liburan di Anyer.“Gue nggak terlalu kebawa perasaan kan? Wajar nggak sih gue marah atau sekedar kecewa?” tanya Matari kemudian. “Soal Eyang gue, itu udah biasa sih. Kalo Iko….”“Wajar banget! Iko itu aneh ya, kalo nggak ada Raline kadang tuh sikapnya agak-agak perhatian sama lo. Kalau ada, kaya buta banget orang-orang di sekitarnya. Udah gitu sok-sok ngajarin soalfree sex, tapi dia sendiri ngelanggar! Aneh banget!”“Sebenernya, gue agak nggak yakin sih sama yang terakhir beneran ngelakuin apa nggak.”“Mau adu naif sama gue, Ri? Ri, gue nih hidup di dunia di mana semua itu lumrah terjadi. Bahkan beberapa temen di agensi gue, udah sering ngelakuin itu sama entah pacarnya, entah sutradara, entah fotografer. Itulah kenapa gue dimanagerin langsung sam
Matari memarkirkan sepedanya di sebelah sepeda Sandra. Sandra akhirnya memutuskan untuk membeli sepeda juga, agar tidak membebani Matari. Hari Senin tahun ajaran baru, parkiran sepeda tidak terlalu penuh. Memang yang membawa sepeda di SMP mereka tak lebih dari 20 anak.“Kalo nggak pake rok, gue kira lo cowok,” kata seseorang di sebelah mereka pada Sandra.Matari melihat badge nama di seragam anak laki-laki itu, namanya tertulis Lingga. Setahu Matari, dia sama-sama anak kelas 2. Matari tidak terlalu mengenalnya secara personal. Dulunya, Lingga adalah penghuni kelas 1 E. Kelas yang paling adem ayem. Mereka terpisah dalam satu kelompok besar, tidak pernah tergabung dengan kelas lain, terkecuali Indah tentunya karena berpacaran dengan Joan.Sandra melotot. “Lo ngatain gue?”Lingga hanya tertawa. “Habisnya potongan rambut lo cepak banget. Kaya anak laki! Hahahah!”Sandra menendang sepeda Lingga. “Nggak usah bawa
Hari kedua, Matari menyadari bahwa dia tidak duduk sendiri lagi di deretan depan. Ada sebuah tas tergeletak di sampingnya. Dan saat ini sudah ada kursi di sampingnya, karena hari sebelumnya dia hanya duduk sendirian. Didatanginya Echa yang tampak sedang sibuk menyisir rambutnya.“Sebelah gue siapa?” tanya Matari pada Echa.Echa mengangkat bahu. “Coba tanya Eve, dia datang paling pagi biasanya.”Eve yang sedang duduk-duduk di depan kelas juga menjawab tidak tahu. “Mungkin anak baru, karena pas gue dateng, tas dia udah ada di sana,” jawab Eve yang disambut dengan anggukan Hanni.“Gue denger emang ada anak baru yang masuk hari ini. Tapi cowok,” kata Hanni kemudian. “Coba kita tanya ketua kelas kita, si Agam.”Agam yang baru datang mengiyakan. “Masih di ruang Tata Usaha, katanya ngambil seragam.”“Cowok, Gam?” tanya Hanni penasaran.“Iya, cowok. Pind
Matari hendak memejamkan matanya ketika teleponnya berdering beberapa kali. Menyadari bahwa tak ada seorangpun yang mau mengangkat telepon, akhirnya Matari beranjak keluar kamar. Anggota keluarga di rumah Eyang Putri sudah hapal jadwal telepon Davi, bahkan suaranya. Karena memang hanya satu-satunya anak laki-laki yang menelepon ke rumah dan mencari Matari hanya dia. Eyang Putri tak keberatan, karena bukan dirinya yang membayar tarif telepon Davi. Meskipun awalnya beliau sering menegur, namun lama-kelamaan beliau sudah merasa lelah menegur berulang-ulang yang mana bukan dirinya sebagai pihak yang dirugikan.“Halo….,” sahut Matari malas, karena siang itu dia cukup mengantuk.Matari pun sudah beradaptasi untuk tidak mengucapkan "Assalamualaikum" dengan seenaknya, karena dia tahu Davi yang menelepon.“Hai, Ri. Lagi apa? Lemes banget suaranya,” jawab Davi.“Iya Dav, ngantuk. Hoaaahmmm….!”“Oh, mau
“Ri, temenin gue dong. Plis, plis, plis. Gue udah bawain lo majalah nih. Gue males kerja kelompok di rumah Abdi tanpa lo!” seru Lisa saat istirahat di hari Kamis minggu berikutnya, yang telah memasuki bulan September.“Heiiii, gue ekskul panahan, kan udah mulai masuk nih,” sahut Matari. “Banyak anak baru dan gue diminta untuk nunjukin latihan dasar buat mereka.”Lisa merengut.“Emang Thea ke mana? Nggak sekelompok?” tanya Matari sambil meneguk es jeruknya tanpa sedotan, karena sedotan sedang habis.“Enggak. Kan ini kelompoknya dipilihin sama Bu Anisa, guru mapel Bahasa Inggris. Bener-bener acak. Yang lain gue nggak gitu kenal, makanya gue males ajak ke rumah gue buat ngerjain. Lagian Thea hari ini mantau penghitungan suara Osis. Besok Jumat bakalan diumumin kandidat pemenang kan. Jadi kayanya dia mau nebeng nama doang, atau maksimal besok abis kelar sekolah ngerjain bareng-bareng kelompoknya. Tapi mepe
Lisa hendak memanggul tasnya saat Davi menghentikan langkahnya.“Wah, kenapa, Dav? Gue ada pemotretan nih!” seru Lisa sambil memberi isyarat pada Thea agar tidak pergi keluar kelas duluan.“Gue pengen tanya sesuatu sama lo. Mungkin kalo Thea nggak keberatan, dia boleh gabung!” jawab Davi saat melihat Thea mendekat ke arah mereka.Abdi menyelimpangkan tasnya. “Guys, dia mau nembak Matari. Gimana menurut lo semua?”Thea mengangkat bahu sambil berkata, “Terserah aja gue sih. Yakin nih?”“Kata Lisa, Matari ada perasaan juga sama gue. Ya kan Lis?” timpal Davi.Lisa mengangguk kemudian berkata, “Gue yakin sih. Menurut lo gimana The? Sepemahaman nggak sama gue?”Thea terdiam sejenak dan menyahut dengan cepat, “Iya, kayaknya gitu.Btw, nanti gue diceritain aja ya, gue harus cabut duluan, ada rapat Osis.”“Siap, Bu Ketua. Sem