Hari pernikahan datang lebih cepat daripada yang Adimas duga. Hingga dalam waktu dua hari, ia sudah berada di sebuah aula dan mengenakan jas resmi.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pernikahan itu diadakan secara tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan seorang penghulu. Penampilan Karina tidak jauh lebih baik. Rambutnya masih berantakan. Wajahnya terlihat kusam dan dia mengenakan gaun putih sederhana. Adimas kira, pernikahan ini tidak akan berjalan mulus. Namun, rupanya Karina bisa duduk diam di sisinya tanpa berkata-kata. Tentu rasanya sangat aneh menikah dengan orang yang tidak dikenal. Karena itu, sementara penghulu bersiap-siap, Adimas mencoba menyapa. “Hai, Karina,” tuturnya sambil tersenyum manis. Ia mengulurkan tangan ke arah gadis itu. “Kau bisa memanggilku Adimas.” Karina tidak langsung bereaksi, tetapi ia menoleh, tanda bahwa ia bisa mendengar Adimas. Alih-alih menjabat tangan pria itu, Karina justru menamparnya. PLAKKK Adimas dan semua orang terkejut dengan reaksi tiba-tiba itu, sementara raut wajah Karina tetap datar seolah tidak merasa bersalah. ‘Apa ini? Apakah ini pertanda aku membuat keputusan yang salah?’ pikir Adimas. Ia tidak menyangka ia akan mendapat tamparan pada hari pernikahannya. “Baik, semuanya harap bersiap,” ujar seorang pemandu yang akan memimpin jalannya proses pernikahan tersebut. Adimas bisa melaksanakan semuanya dengan lancar, begitu pula Karina yang tidak berulah. “Silakan mencium pengantin Anda,” ujar penghulu. Adimas menoleh ke arah Karina dan bersiap mengecup keningnya saat tahu-tahu sebuah tamparan kembali mendarat di pipinya. PLAKKK Kali ini, suaranya terdengar lebih nyaring dan Karina seakan ketakutan hingga gadis itu langsung berdiri dan lari keluar ruangan. Semua orang terkejut, termasuk keluarga Karina. “Karina! Tunggu! Mau ke mana kamu?” ucap Adimas seraya cepat-cepat berdiri. Ia berlari menyusul secepat yang ia bisa, tetapi kecepatan Karina masih jauh lebih di atasnya hingga Adimas nyaris kehilangan jejak gadis itu. Sementara itu, di aula sebelah yang berjarak beberapa ruangan, terlihat sebuah pesta pernikahan lain tengah digelar dengan ramai kehadiran para tamu. Tiba-tiba …. “Apa-apaan ini?!” “Siapa dia?!” “Orang gila! Ada orang gila!” Suasana pernikahan yang semula haru dan bahagia seketika menjadi ricuh saat Karina yang berpenampilan berantakan menerjang masuk. Dia berjalan cepat tanpa arah dan nyaris menabrak para tamu yang tengah berdiri. Adimas mendengar keributan itu dan langsung menghampirinya. Benar saja. Karina tengah berdiri diam, menatap berkaca-kaca pada David dan Kamala yang berdiri berdampingan di altar. “Satpam! Satpam! Bawa orang gila ini keluar!” seru Kamala dengan nada tinggi. Gadis itu terlihat terkejut dan marah karena kekacauan di pernikahannya. Dengan cepat, datang dua orang satpam. Mereka berusaha memegang kedua tangan Karina dan membawanya pergi, tetapi tenaga Karina jauh lebih besar dan kuat. “Keluar dari sini, Nona! Jangan mengacaukan acara ini!” ujar salah satu satpam dengan tegas. Karina tentu saja tidak dapat memahaminya. Ia terus meronta hingga berhasil melepaskan diri dan berjalan lebih maju ke arah altar. “David! David!” Ia memanggil-manggil dengan suara tinggi dan parau tidak terkendali. Para tamu seketika menjadi heran dan Kamala semakin kesal dibuatnya. “Cepat, bawa dia keluar bagaimanapun caranya! Jangan biarkan gadis hina seperti dia mengotori pernikahanku!” perintahnya dengan suara tinggi. Para tamu mulai mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam kejadian tersebut seraya terus berbisik-bisik. Kedua satpam itu kembali menangkap tubuh Karina dan bersiap menyeretnya pergi, tetapi dihentikan oleh Adimas. “Tidak! Hentikan! Jangan sentuh dia!” sergah pria itu seraya menerjang masuk. Ia langsung melepaskan tubuh Karina dari kukungan dua satpam itu dan menangkup pipinya. Raut wajah gadis itu terlihat kacau dan ketakutan. “Karina, Karina, kau bisa mendengarku?” Adimas memanggil-manggil, berusaha membuat tatapan gadis itu terpaku padanya. Dia mulai menyatukan kepala keduanya demi menenangkan emosi gadis itu. “Ini bukan pernikahan kita. Ini pernikahan orang lain. Kita harus pergi dari sini, oke?” ujar Adimas dengan lembut. Karina tidak melawan dan para tamu memandang Adimas dengan sorot aneh.“A–adimas?” Kamala bertanya dan menatap rendah pada keduanya. “Jadi, kau yang sengaja melepaskan orang gila ini untuk mengacaukan pernikahan kami?!” sergah gadis itu dengan kasar. Di sisinya, David hanya terdiam menyimak keadaan. Tatapannya terlihat janggal saat memandang ke arah Karina. “Jangan berkata buruk tentang Karina!” ujar Adimas, membela sang istri. Ia tahu orang-orang akan memandangnya aneh karena membela gadis seperti Karina. Namun, Karina adalah istrinya dan sudah menjadi kewajiban Adimas untuk membelanya. “Karina? Tunggu….” Kamala memicingkan mata dan mengamati busana keduanya yang tampak serupa. “Jangan bilang, kalian baru saja menikah? Kau menikahi gadis gila ini?!” ucap Karina. Sedetik setelah menyadarinya, Karina mulai tertawa terbahak-bahak. Para tamu ikut tertawa kecil seraya membisikkan komentar-komentar buruk tentang mereka. “Kau pasti benar-benar sudah gila!” komentar Kamala, “Apakah kau sefrustrasi itu hingga mau menerima gadis gila seperti dia?” tanya gadis itu dengan nada mengejek. Adimas masih berlutut di sisi Karina dan cepat-cepat menutupi telinga sang istri dengan kedua tangannya. “Jangan didengarkan. Kau tidak perlu mendengarkan kata-kata mereka. Kau hanya perlu menatapku,” ujar Adimas dengan lembut. Ia tahu Karina hanya bisa ditundukkan dengan kata-kata lembut. Dan, benar saja. Gadis itu tidak melawan dan menatap lurus pada Adimas. “Utututu, kata-kata yang sangat romantis!” ledek gadis itu dengan sorot mata merendahkan, “Kalian memang benar-benar cocok, dasar pasangan gila!” kecamnya. Adimas sama sekali tidak menyangka dengan komentar buruk itu. Ia tidak percaya jika wanita itu adalah gadis yang pernah ingin ia nikahi. Adimas mengabaikan komentarnya. Saat ia kembali menatap Karina, perhatian gadis itu terpusat pada David. “Aku tahu ini menyakitkan dan kau pasti sangat merindukannya, tapi tidak seharusnya kita berada di sini, Karina. Kita pergi sekarang, ya?” bujuk Adimas dengan lembut. Dengan amat perlahan dan hati-hati, Adimas meraih tangan mungil gadis itu. Ia takut Karina akan kembali menamparnya. Namun, tidak. Gadis itu menurut dan berdiri, kemudian mengikuti Adimas dengan patuh. Orang-orang masih memperhatikan, tetapi Adimas tidak peduli. Ia hanya fokus pada sang istri. “Tunggu.” Tiba-tiba satu suara terdengar. Ketika Adimas menoleh, ia telah melihat David yang menyusul mereka hingga ke ambang pintu aula. Adimas secara otomatis mengeratkan pegangan tangannya pada Karina seakan berusaha menguatkan gadis itu. “Apakah… kau benar-benar menikahi dengannya?” tanya David. Benar-benar di luar perkiraan Adimas. “Apa urusannya denganmu?” jawab Adimas dengan tidak senang. Bukan karena ia cemburu pada David yang berhasil menikahi Kamala. Akan tetapi, pada situasi ini, David adalah sosok yang harus Karina hindari dan itu berarti Adimas juga akan membencinya. “Jadi, kau yang akan menjadi pengasuhnya mulai sekarang?” Dia kembali bertanya. Kali ini, Adimas tidak menjawab. Pria itu hanya menatap lurus dan tegas kepada David seakan berusaha menerka ke mana arah pembicaraan ini. David menoleh ke kanan kiri dengan cemas dan mulai berbisik. “Hati-hati. Apa pun kata-kata manis yang diucapkan keluarganya, itu hanyalah kebohongan! Mereka penuh kemunafikan,” ujarnya dengan suara rendah seakan takut orang lain mendengarnya. Kening Adimas seketika mengerut heran. “Mengapa kau mengatakannya padaku?” balas pria itu. “Aku hanya memperingatkanmu. Bahkan Karina menjadi seperti ini karena keluarganya,” jawab David dengan nada serius sebelum ia kembali ke altar untuk menemani pengantin perempuannya. Adimas terus membimbing Karina keluar. Di luar, seluruh keluarga Karina sudah menunggu dan mereka tersenyum lega mendapati Adimas berhasil membawa Karina keluar. Akan tetapi, perasaan Adimas justru menjadi tidak enak melihat senyum orang-orang itu. Kata Bella, Karina menjadi seperti ini karena David. Sebaliknya, kata David, Karina menjadi seperti ini karena keluarganya. Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki