Share

Bab 2. Pertunangan Dibatalkan

“Ya, Ridwan dan Kintani sama-sama bersuku Caniago. Dan itu artinya mereka bersaudara,” Paman Gindo geleng-geleng kepala lalu mengusap wajahnya.

“Astaqfirullah, kenapa ini bisa terjadi!?” Pak Rustam berseru kaget.

“Apa mereka telah mengetahui sejak awal mereka kenal?” kali ini Bu Suci yang bertanya.

“Entahlah, aku rasa mereka tidak tahu jika mereka sesuku,” Bu Anggini yang menjawab.

“Inilah kesalahan Pamannya Ridwan yang tidak memberitahu kemenakannya soal adat-istiadat kita termasuk sukunya,” ujar Paman Gindo menyalahkan Paman Ramli.

“Jangan menyalahkan sepihak saja itu tidak baik, Uda Gindo sendiri pernahkah memberitahu hal itu pada Kintani? Sama sekali nggak pernahkan?” Bu Anggini yang merupakan Adik kandung dari Paman Gindo membela Pamannya Ridwan.

“Nah, itulah Uda. Semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak kelihatan,” tambah Pak Wisnu ikut mencecar Paman Gindo yang hanya menyalahkan Paman Ridwan, sementara dia sendiri selaku Paman dari Kintani tak pernah menuturkan perihal suku dan tradisi adat-istiadat keponakannya itu.

“Sudah, sudah! Tak perlu kita permasalahkan siapa yang salah dan benar, ini merupakan peringatan bagi kita yang selama ini ceroboh dalam mendidik dan memberitahu anak kemenakan kita mengenai adat-istiadat. Hingga mereka sekarang yang menjadi korban,” tutur Paman Gindo yang merasa tersudutkan.

“Lantas bagaimana solusinya, apakah kita tetap melanjutkan acara pertunangan ini?” tanya Bu Anggini.

“Tidak bisa, Anggini. Tradisi dan Adat-istiadat tetap harus kita junjung tinggi, jika kita mengabaikan itu dan tetap memaksakan Kintani bertunangan dengan Ridwan, itu sama saja melempar kotoran ke muka kita sendiri, malunya alang kepalang!” seru Paman Gindo.

Perlu diketahui di dalam adat Minangkabau itu sendiri banyak sekali terdapat suku-suku, diantaranya ; Koto, Piliang, Caniago, Sikumbang, Melayu, Jambak, dan masih banyak lagi.

Berada dalam ruang lingkup satu suku merupakan Badunsanak ( Bersaudara ) meskipun mereka tidak ada pertalian darah, salah satu ketentuan yang tidak boleh dilanggar adalah menikah sepesukuan atau sesuku. Misalnya suku Caniago tidak boleh menikah dengan orang yang bersuku Caniago juga, jika itu dilanggar akan ada sanksi keras secara adat-istiadat.

Sanksi yang terburuk jika melanggar akan terbuang dari adat, Mamak ( Paman ) yang memiliki kedudukan penting dalam sebuah keluarga tidak akan pernah merestui ataupun datang jika ada keponakannya nikah dengan orang yang sesuku.

Terbuang dari adat disini juga melarang pergelaran acara pernikahan, jangankan acara resepsi pernikahan, menikahpun tidak diperboleh berada di daerah itu. Jika pasangan yang sesuku tetap bersikeras ingin melangsungkan pernikahan juga, maka mereka harus pergi dari daerah itu ataupun kampung halamannya.

Sanksi lain yang mereka terima yaitu berupa lepasnya hak mereka atas harta pusaka atau warisan dalam keluarga besar, jika pada masa dahulunya seluruh keluarga juga akan mendapatkan dampak dari semua itu, berupa rasa malu dan dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat dalam waktu yang tidak dapat dipastikan lamanya.

Namun di zaman yang modern ini, dampak sanksi itu hanya berlaku pada pasangan yang menikah sesuku saja, dan sekarang tidak semua daerah di Sumatera Barat yang memberlakukan sanksi itu. Di daerah asal Ridwan dan Kintani hal itu masih diberlakukan, masyarakat di sana masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan tradisi turun-menurun dari para leluhur sejak dulunya.

“Lantas bagaimana saudara Gindo?” kali ini Pak Rustam yang bertanya, dia juga sangat terpukul akan kenyataan itu.

“Jalan satu-satunya kita harus memisahkan mereka, dan itu berarti tidak dibenarkan lagi untuk mereka menjalin hubungan cinta kasih,” jawab Paman Gindo.

“Tapi masalahnya sekarang, Ridwan dan Kintani berada dalam satu kota. Ridwan bekerja disana, sementara Kintani kuliah,” Bu Anggini ikut pusing memikirkan bagaimana cara memisahkan mereka.

“Begini saja, bukankah Ridwan memiliki Paman yang sekarang tinggal di Jakarta?”

“Benar saudara, Gindo,” jawab Pak Rustam.

“Nah, bagaimana kalau Ridwan kita suruh merantau ikut dengan Pamannya disana? Mengenai biaya ke Jakarta biar kami yang akan menanggung nantinya,” tawar Paman Gindo.

“Masalah biaya Ridwan ke Jakarta, kami rasa masih sanggup untuk memberikannya. Yang kami cemaskan sekarang tentang perasaan mereka, betapa hancurnya hati Ridwan dan Kintani setelah kita memberitahukan semua ini,” tutur Bu Suci.

“Apa boleh buat, Uni. Kita terpaksa bertindak seperti itu, agar keluarga besar kita tidak mendapat malu nantinya. Dan ini harus kita rahasiakan,” ujar Paman Gindo.

( Uda = Abang ) panggilan ini biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari di Tanah Minang untuk memanggil pria yang lebih tua atau bisa juga untuk orang yang disayang seperti halnya pada suami maupun kekasih, ( Uni = Kakak ) kerap juga digunakan untuk memanggil wanita yang lebih tua di Tanah Minang.

“Baiklah, sekarang kami akan membawa Ridwan pulang. Di rumah nantinya akan kami beritahu tentang acara pertunangan yang kita batalkan ini,” tutur Pak Rustam.

“Iya Uda Rustam, kami juga nantinya setelah kepergian kalian akan memberitahukan itu pada Kintani. Sebenarnya tidak sampai hati karena memang mereka sejak awal tidak tahu menahu akan hal ini, tapi apa boleh buat segala resiko akan kita tanggung,” Paman Gindo berucap dengan nada yang berat.

“Ridwan, sekarang kita pulang ke rumah,” ajak Bu Suci yang dulu keluar dari ruang tengah.

“Loh, bukankah acara intinya belum dimulai, Bu?” Ridwan tampak heran dengan ajakan Ibunya untuk pulang ke rumah, begitu pula dengan Kintani.

“Nanti saja Ayah dan Ibu jelaskan saat tiba di rumah.” kali ini Pak Rustam yang membujuk putranya itu untuk pulang.

Meskipun dengan wajah lesu dan rasa penasaran, Ridwan yang juga dikenal patuh pada keduanya mengikuti ajakan Pak Rustam dan Bu Suci untuk pulang.

Sepeninggalnya Ridwan yang diajak kembali ke rumah oleh kedua orang tuanya, Paman Gindo, Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri Kintani yang saat itu masih duduk bersimpuh di ruangan tempat acara pertunangan yang tadi direncanakan akan digelar.

“Kintani, Paman ingin bicara sesuatu padamu. Paman harap kamu nanti dapat memahaminya,” Paman Gindo mengawali pembicaraan.

“Ada apa Paman?” tanya Kintani penasaran karena melihat Ridwan barusan dibawa pulang oleh kedua orang tuanya.

“Begini Kintani, sebenarnya berat untuk Paman katakan karena Paman tahu hal ini tidak akan mudah dapat kamu terima. Namun apa boleh buat Paman harus mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi,” Paman Gindo hentikan sejenak bicaranya, ia tampak menarik napas dalam-dalam.

“Pertunanganmu dengan Ridwan kami batalkan,” belum selesai Paman Gindo melanjutkan kata-katanya Kintani memotong.

“Apa? Dibatalkan? Kenapa begitu, Paman? Ayah, Ibu! Apa yang terjadi sebenarnya, kenapa jadi begini?” Kintani terkejut bukan alang-kepalang dan ia semakin tak mengerti dengan yang diutarakan Pamannya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status