“Ya, Ridwan dan Kintani sama-sama bersuku Caniago. Dan itu artinya mereka bersaudara,” Paman Gindo geleng-geleng kepala lalu mengusap wajahnya.
“Astaqfirullah, kenapa ini bisa terjadi!?” Pak Rustam berseru kaget.
“Apa mereka telah mengetahui sejak awal mereka kenal?” kali ini Bu Suci yang bertanya.
“Entahlah, aku rasa mereka tidak tahu jika mereka sesuku,” Bu Anggini yang menjawab.
“Inilah kesalahan Pamannya Ridwan yang tidak memberitahu kemenakannya soal adat-istiadat kita termasuk sukunya,” ujar Paman Gindo menyalahkan Paman Ramli.
“Jangan menyalahkan sepihak saja itu tidak baik, Uda Gindo sendiri pernahkah memberitahu hal itu pada Kintani? Sama sekali nggak pernahkan?” Bu Anggini yang merupakan Adik kandung dari Paman Gindo membela Pamannya Ridwan.
“Nah, itulah Uda. Semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak kelihatan,” tambah Pak Wisnu ikut mencecar Paman Gindo yang hanya menyalahkan Paman Ridwan, sementara dia sendiri selaku Paman dari Kintani tak pernah menuturkan perihal suku dan tradisi adat-istiadat keponakannya itu.
“Sudah, sudah! Tak perlu kita permasalahkan siapa yang salah dan benar, ini merupakan peringatan bagi kita yang selama ini ceroboh dalam mendidik dan memberitahu anak kemenakan kita mengenai adat-istiadat. Hingga mereka sekarang yang menjadi korban,” tutur Paman Gindo yang merasa tersudutkan.
“Lantas bagaimana solusinya, apakah kita tetap melanjutkan acara pertunangan ini?” tanya Bu Anggini.
“Tidak bisa, Anggini. Tradisi dan Adat-istiadat tetap harus kita junjung tinggi, jika kita mengabaikan itu dan tetap memaksakan Kintani bertunangan dengan Ridwan, itu sama saja melempar kotoran ke muka kita sendiri, malunya alang kepalang!” seru Paman Gindo.
Perlu diketahui di dalam adat Minangkabau itu sendiri banyak sekali terdapat suku-suku, diantaranya ; Koto, Piliang, Caniago, Sikumbang, Melayu, Jambak, dan masih banyak lagi.
Berada dalam ruang lingkup satu suku merupakan Badunsanak ( Bersaudara ) meskipun mereka tidak ada pertalian darah, salah satu ketentuan yang tidak boleh dilanggar adalah menikah sepesukuan atau sesuku. Misalnya suku Caniago tidak boleh menikah dengan orang yang bersuku Caniago juga, jika itu dilanggar akan ada sanksi keras secara adat-istiadat.
Sanksi yang terburuk jika melanggar akan terbuang dari adat, Mamak ( Paman ) yang memiliki kedudukan penting dalam sebuah keluarga tidak akan pernah merestui ataupun datang jika ada keponakannya nikah dengan orang yang sesuku.
Terbuang dari adat disini juga melarang pergelaran acara pernikahan, jangankan acara resepsi pernikahan, menikahpun tidak diperboleh berada di daerah itu. Jika pasangan yang sesuku tetap bersikeras ingin melangsungkan pernikahan juga, maka mereka harus pergi dari daerah itu ataupun kampung halamannya.
Sanksi lain yang mereka terima yaitu berupa lepasnya hak mereka atas harta pusaka atau warisan dalam keluarga besar, jika pada masa dahulunya seluruh keluarga juga akan mendapatkan dampak dari semua itu, berupa rasa malu dan dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat dalam waktu yang tidak dapat dipastikan lamanya.
Namun di zaman yang modern ini, dampak sanksi itu hanya berlaku pada pasangan yang menikah sesuku saja, dan sekarang tidak semua daerah di Sumatera Barat yang memberlakukan sanksi itu. Di daerah asal Ridwan dan Kintani hal itu masih diberlakukan, masyarakat di sana masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan tradisi turun-menurun dari para leluhur sejak dulunya.
“Lantas bagaimana saudara Gindo?” kali ini Pak Rustam yang bertanya, dia juga sangat terpukul akan kenyataan itu.
“Jalan satu-satunya kita harus memisahkan mereka, dan itu berarti tidak dibenarkan lagi untuk mereka menjalin hubungan cinta kasih,” jawab Paman Gindo.
“Tapi masalahnya sekarang, Ridwan dan Kintani berada dalam satu kota. Ridwan bekerja disana, sementara Kintani kuliah,” Bu Anggini ikut pusing memikirkan bagaimana cara memisahkan mereka.
“Begini saja, bukankah Ridwan memiliki Paman yang sekarang tinggal di Jakarta?”
“Benar saudara, Gindo,” jawab Pak Rustam.
“Nah, bagaimana kalau Ridwan kita suruh merantau ikut dengan Pamannya disana? Mengenai biaya ke Jakarta biar kami yang akan menanggung nantinya,” tawar Paman Gindo.
“Masalah biaya Ridwan ke Jakarta, kami rasa masih sanggup untuk memberikannya. Yang kami cemaskan sekarang tentang perasaan mereka, betapa hancurnya hati Ridwan dan Kintani setelah kita memberitahukan semua ini,” tutur Bu Suci.
“Apa boleh buat, Uni. Kita terpaksa bertindak seperti itu, agar keluarga besar kita tidak mendapat malu nantinya. Dan ini harus kita rahasiakan,” ujar Paman Gindo.
( Uda = Abang ) panggilan ini biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari di Tanah Minang untuk memanggil pria yang lebih tua atau bisa juga untuk orang yang disayang seperti halnya pada suami maupun kekasih, ( Uni = Kakak ) kerap juga digunakan untuk memanggil wanita yang lebih tua di Tanah Minang.
“Baiklah, sekarang kami akan membawa Ridwan pulang. Di rumah nantinya akan kami beritahu tentang acara pertunangan yang kita batalkan ini,” tutur Pak Rustam.
“Iya Uda Rustam, kami juga nantinya setelah kepergian kalian akan memberitahukan itu pada Kintani. Sebenarnya tidak sampai hati karena memang mereka sejak awal tidak tahu menahu akan hal ini, tapi apa boleh buat segala resiko akan kita tanggung,” Paman Gindo berucap dengan nada yang berat.
“Ridwan, sekarang kita pulang ke rumah,” ajak Bu Suci yang dulu keluar dari ruang tengah.
“Loh, bukankah acara intinya belum dimulai, Bu?” Ridwan tampak heran dengan ajakan Ibunya untuk pulang ke rumah, begitu pula dengan Kintani.
“Nanti saja Ayah dan Ibu jelaskan saat tiba di rumah.” kali ini Pak Rustam yang membujuk putranya itu untuk pulang.
Meskipun dengan wajah lesu dan rasa penasaran, Ridwan yang juga dikenal patuh pada keduanya mengikuti ajakan Pak Rustam dan Bu Suci untuk pulang.
Sepeninggalnya Ridwan yang diajak kembali ke rumah oleh kedua orang tuanya, Paman Gindo, Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri Kintani yang saat itu masih duduk bersimpuh di ruangan tempat acara pertunangan yang tadi direncanakan akan digelar.
“Kintani, Paman ingin bicara sesuatu padamu. Paman harap kamu nanti dapat memahaminya,” Paman Gindo mengawali pembicaraan.
“Ada apa Paman?” tanya Kintani penasaran karena melihat Ridwan barusan dibawa pulang oleh kedua orang tuanya.
“Begini Kintani, sebenarnya berat untuk Paman katakan karena Paman tahu hal ini tidak akan mudah dapat kamu terima. Namun apa boleh buat Paman harus mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi,” Paman Gindo hentikan sejenak bicaranya, ia tampak menarik napas dalam-dalam.
“Pertunanganmu dengan Ridwan kami batalkan,” belum selesai Paman Gindo melanjutkan kata-katanya Kintani memotong.
“Apa? Dibatalkan? Kenapa begitu, Paman? Ayah, Ibu! Apa yang terjadi sebenarnya, kenapa jadi begini?” Kintani terkejut bukan alang-kepalang dan ia semakin tak mengerti dengan yang diutarakan Pamannya itu.
“Penyebabnya karena ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat kita, maka dari itu kami memutuskan untuk membatalkan pertunanganmu dan Ridwan. Bukan hanya itu saja Kintani, kalian berdua terpaksa kami pisahkan dan tidak boleh lagi berhubungan seperti yang telah kalian jalin 2 tahun belakangan ini,” tutur Paman Gindo.“Kalian jahat! Kalian tak punya hati! Tega-teganya kalian akan memisahkan aku dengan Uda Ridwan!” luapan emosi Kintani tak terbendung, dia menangis tersedu-sedu tak terima dengan kenyataan itu.“Paman tahu ini bukan salah kalian, tapi ini benar-benar tidak bisa dilanjutkan. Karena bukan hanya kamu saja, tapi seluruh keluarga kita akan mendapat malu, Kintani,” Paman Gindo berusaha untuk memberi pengertian pada keponakannya yang tengah histeris itu.“Ibu...!” tak kuasa menahan rasa pilunya, Kintani berdiri dari duduk bersimpuhnya lalu berlari kepangkuan Bu Anggini yang juga berlinang air mata.Saking tak kuat menahan semua itu, Kintani pun jatuh pingsan
“Ya mau bagaimana lagi, semuanya di luar dugaan kita semua. Tak ada yang dapat kita salahkan dalam hal ini, termasuk Ridwan dan Kintani yang memang tidak tahu sejak awal mereka bertemu,” tutur Pak Rustam.“Aku yang salah dalam hal ini, Uda. Karena sulitnya kehidupan dulu di kampung, hingga aku membawa keluargaku merantau. Sejak kecil Ridwan tak pernah aku ajarkan dan memberi pemahaman tentang adat-istiadat serta sukunya sendiri, yang semua itu merupakan kewajibanku sebagai Pamannya,” ujar Paman Ramli menyalahkan dirinya sendiri.“Nasi telah terlanjur menjadi bubur, Ramli. Tak ada gunanya kita menyesali diri. Perkembangan zaman jualah yang menjadi salah satu penyebabnya, hingga para pemangku adat sulit memberi pemahaman pada anak, cucu, dan kemenakan mereka. Kalaupun dijelaskan dan diberi pemahaman, anak-anak sekarang mana ada yang saat bertemu dan berkenalan menanyakan tentang suku, paling mereka hanya ingin mengetahui nama serta daerah asal masing-masing,” tutur Pak Rustam yang tak m
“Ya, Kintani. Ayah juga berharap atas kejadian ini kamu tidak benci kepada Ayah dan Ibu serta Paman Gindomu, karena kami sama sekali tidak melarang dan menentangmu berhubungan dengan Ridwan, melainkan adat-istiadat kitalah yang tidak membolehkan,” tutur Pak Wisnu.“Aku nggak akan mungkin benci pada Ayah dan Ibu, yang aku sesali Paman Gindo yang tak pernah memberi pemahaman tentang rumpun suku kita, termasuk ada larangan menjalin hubungan cinta kasih sepesukuan,” ujar Kintani.“Pamanmu itu secara tidak langsung telah menyadari kesalahannya, hanya saja perlu juga kamu ketahui di zaman yang serba modern ini kalaupun seorang Paman begitu getol memberi nasehat dan pemahaman terhadap keponakannya tentang adat-istiadat, tetap saja anak-anak sekarang sulit menerapkan dalam pergaulan sehari-hari. Apakah pernah terpikirkan olehmu saat awal berkenalan dengan Ridwan menanyakan sukunya?” Pak Wisnu menjelas sembari bertanya, Kintani hanya gelengkan kepala.“Begitu juga dengan Ridwan, Ayah rasa tak
“Kok bisa begitu, Ridwan?” sambung Pak Hendra. “Selama 2 tahun lebih kami saling kenal lalu menjalin hubungan, kami sama sekali nggak tahu jika ternyata kami sepesukuan. Hal itulah yang menyebabkan pertunangan kami dibatalkan,” tutur Ridwan. “Hah! Kalian sesuku?” kembali Bu Indri terkejut. “Iya Bu, kami sama-sama bersuku Caniago. Dan menurut kedua orang tua kami serta Paman dari Kintani, kami berdua merupakan saudara yang dilarang untuk menjalin hubungan kasih apalagi bertunangan dan menikah,” ujar Ridwan dengan nada yang terdengar berat. “Malang sekali nasibmu, Nak. Padahal Ibu melihat kalian pasangan yang serasi,” Bu Indri ikut sedih. “Berarti adat-istiadat di kampungmu masih kental dan terjaga dengan baik, meskipun sekarang zaman semakin canggih dan berteknologi modern. Masyarakat di sana masih menjunjung tinggi tradisi dari para leluhur, tak lapuk ditimpa hujan dan lekang diterpa panas begitulah kokohnya. Sayangnya pencerahan mengenai suku di Minangkabau jarang sekali didengu
Hampir jam 3 sore hujan di kota itu benar-benar reda, Ridwan kembali berpamitan pada orang tua angkatnya untuk menuju pasar raya tempat selama ini ia bekerja mengais rezeki sehari-hari. Seperti biasanya Ridwan berangkat kesana dengan naik angkot yang berlalu-lalang di jalan raya yang ada di depan gang jalan masuk menuju kediamannya itu. Kurang lebih 15 menit Ridwan pun tiba dipasar raya Padang, tampa menunggu waktu lama lagi Ridwan mendatangi satu-persatu pemilik toko dan pedagang di sana yang selama ini pernah ia bantu dan memberi upah kepadanya untuk berpamitan. Ridwan memang tidak menceritakan alasan pergi merantau ke Jakarta disebabkan pertunangannya gagal di kampung, karena di samping pihak keluarga Kintani dan keluarganya minta dirahasiakan, Ridwan juga tentunya secara pribadi tak ingin membuka hal itu pada teman-temannya di pasar raya. Akan tetapi meskipun keseluruhan para pemilik toko dan pedagang yang pernah ia bantu itu tak mengetahui alasan Ridwan merantau, mereka semuany
Kini Paman Ramli terbilang sukses sebagai perantau karena telah memiliki toko dan rumah sendiri serta kendaraan pribadi, ia juga telah berkeluarga dengan wanita yang bukan dari keturunan Minang bernama Ayu. Paman Ramli juga telah dikarunia seorang putra yang saat ini masih duduk di kelas 2 SMA, karena jarang pulang ke kampung istri dan putranya tidak terlalu mengenal akan saudara-saudaranya di Tanah Minang.Lebih 1 jam mobil yang kemudikan Paman Ramli tiba di depan rumah bertingkat 2 di kawasan salah satu komplek, tampa mau dibantu wanita yang di duga sebagai pembantu rumah itu Ridwan membawa sendiri barang-barangnya ke dalam rumah.“Nah inilah rumah Paman, Ridwan.”“Besar sekali Paman, bertingkat lagi,” puji Ridwan.“Rumah Paman ini belum apa-apanya dibandingkan rumah-rumah mewah di komplek ini,” Paman Ramli merendah.“Tante Ayu dan Gilang kemana, Paman? Kok dari tadi nggak kelihatan?”“Tantemu jam segini masih di toko, sementara Gilang belum pulang dari sekolah,” jawab Paman Ramli.
Sementara di kenegarian P tepatnya di sebuah bangunan rumah yang besar serta tergolong mewah di desa itu, Pak Wisnu dan Bu Anggini yang merupakan kedua orang tua Kintani hidup dalam kemewahan.Orang tua Kintani memiliki banyak bidang kelapa sawit pribadi di kawasan desa itu, belum lagi tanah yang mereka beli di desa lain dan sekarang juga telah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tak heran jika setiap bulannya atau setiap kali panen, Pak Wisnu dan Bu Anggini mendapatkan uang ratusan juta rupiah, karena harga kelapa sawit pada saat itu telah mencapai Rp. 2.500,- per kilogramnya.Setiap panen Pak Wisnu selalu mentransfer uang ke rekening Kintani, meskipun terkadang Kintani sendiri tidak tahu apalagi meminta. Pak Wisnu sengaja melakukan itu karena tak ingin putrinya yang kini tengah kuliah di Fakultas Kedokteran, merasa panik jika sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, baik menyangkut keperluan di kampus maupun untuk keperluan sehari-harinya.Sore itu pula di depan rumah mewah milik kedua
Kedatangan Kintani di kos-kosan disambut ceria oleh kedua teman dekatnya bernama Dila dan Eva, masing-masing mereka menempati ruangan kos di sisi kanan dan kiri dari ruangan kos yang ditempati Kintani. Setelah sholat magrib kedua sahabatnya itu tak sabar lagi ingin bercakap-cakap karena kurang lebih 4 minggu yang lalu mereka libur semester, mereka berdua langsung masuk ke ruangan kos Kintani. “Waduh! Kalian ngagetin aja. Nggak ngetuk pintu dulu main terobos aja,” seru Kintani terkejut yang saat itu tengah melipat mukena yang dipakainya barusan untuk sholat magrib. “He..he..he, maaf kami kangen,” ujar Dila diiring tawanya. “Aku juga kangen sama kalian, Yuk kita makan malam bareng. Kebetulan nih Ibuku buat rendang yang pastinya super lezat,” ajak Kintani kemeja makan sembari menunjukan rendang yang ia bawa dari kampung pada Dila dan Eva. “Hemmm, padahal aku udah makan tadi sore. Tapi aroma rendang buatan Ibumu ini buat aku laper lagi,” ujar Eva. “Ya udah kalau gitu yuk kita makan,