Share

Bab 3. Mereka Dipisahkan

“Penyebabnya karena ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat kita, maka dari itu kami memutuskan untuk membatalkan pertunanganmu dan Ridwan. Bukan hanya itu saja Kintani, kalian berdua terpaksa kami pisahkan dan tidak boleh lagi berhubungan seperti yang telah kalian jalin 2 tahun belakangan ini,” tutur Paman Gindo.

“Kalian jahat! Kalian tak punya hati! Tega-teganya kalian akan memisahkan aku dengan Uda Ridwan!” luapan emosi Kintani tak terbendung, dia menangis tersedu-sedu tak terima dengan kenyataan itu.

“Paman tahu ini bukan salah kalian, tapi ini benar-benar tidak bisa dilanjutkan. Karena bukan hanya kamu saja, tapi seluruh keluarga kita akan mendapat malu, Kintani,” Paman Gindo berusaha untuk memberi pengertian pada keponakannya yang tengah histeris itu.

“Ibu...!” tak kuasa menahan rasa pilunya, Kintani berdiri dari duduk bersimpuhnya lalu berlari kepangkuan Bu Anggini yang juga berlinang air mata.

Saking tak kuat menahan semua itu, Kintani pun jatuh pingsan dan tentu saja membuat kedua orang tua dan Pamannya semakin panik. Kintani dibawa dan dibaringkan di dalam kamarnya, setelah itu Pak Wisnu dan Paman Gindo keluar kembali ke ruangan tengah sementara Bu Anggini tetap menemani putrinya yang terbaring pingsan di kamarnya itu.

“Kalau sudah begini baru kita ingat semua tentang hal penting yang musti kita jelaskan berkaitan dengan pemahaman adat-istiadat dan tradisi pada anak, cucu, dan kemenakan,” tutur Pak Wisnu yang duduk tersandar di ruangan depan bersama Paman Gindo.

“Aku sama sekali tak menyangka bakal terjadi seperti ini di keluarga kita, ini merupakan masalah yang cukup berat untuk kita hadapi. Tidak akan mudah memberi pemahaman pada Kintani dalam kondisi dia seperti ini, sebaiknya kita tunggu saat yang tepat untuk memberi pengertian, beberapa hari ke depan beri kesempatan dia untuk dapat menenangkan dirinya dulu,” ujar Paman Gindo.

Beberapa menit kemudian Bu Anggini terlihat keluar dari kamar putrinya, ia langsung bergabung duduk di ruangan depan tempat tadinya akan digelar acara pertunangan.

“Kintani sudah sadar, Anggini?” tanya Pak Wisnu.

“Belum Bang,” Bu Anggini memanggil suaminya dengan panggilan Abang.

“Nggak usah terlalu cemas Wisnu, apa yang dialami Kintani hal yang wajar karena tekanan batin yang tak mampu ia tahan, nggak akan lama pasti dia akan sadar kembali,” ujar Paman Gindo.

Sementara Ridwan dan keluarganya telah tiba di rumah mereka kembali, sepeninggal supir yang sekaligus menyewakan mobilnya untuk membawa keluarga Ridwan tadi, Pak Rustam sekeluarga duduk di ruangan tengah.

“Ridwan, sekarang waktunya untuk Ayah ceritakan kenapa kamu Ayah bawa pulang sebelum acara pertunangan itu digelar,” Pak Rustam mengawali percakapan mereka di ruang tengah itu.

“Ya, Ayah,” meskipun penasaran Ridwan berusaha untuk sabar dan tenang mendengar Ayahnya akan menceritakan semuanya.

“Begini Ridwan, pertunanganmu dengan Kintani terpaksa kami batalkan. Alasannya ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat Minangkabau,” tutur Pak Rustam dengan nada yang berat.

“Duaaaaaar...!” bagai petir menyambar di siang bolong saat Ridwan mendengarkan penjelasan dari Ayahnya itu, badannya terasa panas dingin seakan terserang demam, bibirnya gemetar dan kelu sulit untuk berucap.

“Ja..jadi, bagaimana  Ayah?” Ridwan terbata-bata tak tahu apa yang musti ia ucap dan pertanyakan.

“Tak seorangpun dari pihak kita maupun pihak Kintani menyangka akan terjadi seperti ini, perlu kamu ketahui Ridwan sepesukuan ataupun sesuku merupakan saudara dan tidak dibolehkan menjalin cinta kasih apalagi menikah. Itu berlaku sejak dulunya hingga sekarang ini,” tutur Pak Rustam.

“Kamu yang sabar ya, Nak? Semua itu tidak bisa ditentang, karena sebagai orang Minang dituntut harus selalu menjunjung tinggi adat-istiadat dan menjalin cinta kasih sepesukuan merupakan hal yang paling ditentang sejak dulunya,” tambah Bu Suci berusaha menenangkan hati Ridwan yang kini terasa hancur berkeping-keping.

“Aku benar-benar mencintai Kintani, Ibu.”

“Iya Ibu tahu itu, tapi kita tidak bisa bersikeras menentang hal yang memang telah dilarang keras di dalam adat dan suku kita. Kamu dan Kintani sama-sama bersuku Caniago, meskipun tak ada pertalian darah, di dalam adat-istiadat yang masih berlaku hingga saat ini kalian merupakan saudara.”

Remuk-redam rasanya dada Ridwan menahan gejolak yang dapat mengundang air mata, ia tertunduk lesu dengan sekujur tubuh gemetar. Untuk pertama kalinya ia jatuh hati dan benar-benar mencintai seorang gadis, dan untuk pertama kali pula ia merasakan pahitnya sebuah kenyataan.

“Kalian berdua harus berusaha untuk saling melupakan, untuk itu Ayah mohon juga kamu mau melepaskan kartu ponselmu dan menggantinya dengan yang baru. Begitupula dengan nomor kontak Kintani yang ada ponselmu musti kamu hapus saat ini juga, aplikasi tempat biasa kalian berkomunikasi juga dihapus semuanya,” pinta Pak Rustam.

“Iya Ayah,” Ridwan memberi ponselnya pada Fitria dengan maksud meminta Adik kandung itu untuk melepaskan simcard di ponselnya kemudian menghapus semua aplikasi chat.

Jatuh kedalam air mata Ridwan karena berusaha menahan sekuat mungkin agar tak tertumpah di pipinya, sementara Fitria tak mampu membendung air matanya, sambil mengeluarkan simcard dan menghapus seluruh aplikasi serta nomor kontak Kintani dari ponsel Kakaknya, ia menangis tersedu-sedu.

“Satu hal lagi yang harus kamu lakukan, Ridwan. Besok kamu tidak boleh lagi tinggal dan bekerja di Kota Padang, kamu harus merantau ke Jakarta temui Pamanmu yang ada di sana,” kembali Pak Rustam meminta pada putranya.

“Baik Ayah, namun sebelum ke Jakarta aku minta waktu agak sehari untuk singgah di Kota Padang. Di samping sebagian besar pakaianku berada di rumah Pak Hendra dan Bu Indri, aku juga mau pamitan pada mereka serta teman-temanku pemilik toko dan pedagang di pasar raya,” mohon Ridwan kepada Ayahnya.

“Iya, Ayah izinkan. Setelah itu kamu harus meninggalkan Kota Padang, Ayah akan memberitahu Pamanmu sekarang juga, Suci telpon Ramli,” ujar Pak Rustam lalu meminta istrinya menghubungi Ramli Pamannya Ridwan.

“Assalamualikum, Uni,” sapa Paman Ramli mengangkat panggilan di ponselnya.

“Waalaikum salam, Ramli,” sahut Bu Suci.

“Ada apa, Uni?”

“Uda Rustammu aja yang menjelaskan,” Bu Suci memberikan ponselnya pada Pak Rustam.

“Ramli, untung tak dapat dikejar malang tak dapat diraih. Rencana pertunangan keponakanmu Ridwan dengan Kintani terpaksa dibatalkan.” tutur Pak Rustam diselingi petatah petitih.

“Dibatalkan? Kenapa bisa begitu?” Paman Ramli terkejut.

“Penyebabnya karena Ridwan dan Kintani sepesukuan.”

“Astaqfirullah, lantas bagaimana tanggapan keluarga Kintani saat mengetahui semua itu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status