Share

Cinta Sepesukuan
Cinta Sepesukuan
Author: Andy Lorenza

Bab 1. Petir Di Acara Pertunangan

Pagi itu cuaca di Kota Padang sangat cerah, Ridwan dan Kintani yang hari itu berencana pulang bareng ke kampung untuk melaksanakan acara pertunangan mereka, telah berada di beranda rumah Pak Hendra dan Bu Indri orang tua angkat dari Ridwan.

“Moga acara pertunangan kalian berjalan dengan lancar,” harapan dan do’a dari Bu Indri.

“Amin,” ucap Ridwan dan Kintani berbarengan.

“Kami pamit untuk pulang ke kampung,” sambung Ridwan dan Kintani sembari bergantian menyalami Pak Hendra dan Bu Indri.

“Iya Nak, hati-hati di jalan ya? Sampaikan salam kami pada kedua orang tua kalian,” pinta Pak Hendra, Kintani dan Ridwan anggukan kepala seraya tersenyum.

Perjalanan dari Kota Padang menuju kenagarian tempat mereka dilahirkan, kurang-lebih selama 5 jam. Sekitar jam 1 siang lewat belasan menit mobil yang dikemudikan Kintani berhenti di depan rumah orang tua Ridwan, Kintani hanya turun dan singgah sebentar kemudian ia masuk kembali ke dalam mobil dan berlalu menuju rumah orang tuanya.

Berkaitan dengan kesepakatan yang telah direncanakan jauh-jauh hari oleh kedua orang tua Ridwan dan Kintani untuk segera mengikat putra-putri mereka dalam ikatan pertunangan, maka Ridwan dan Kintani memutuskan untuk pulang ke kampung hari itu.

Keputusan mereka pulang ke kampung bukan tampa alasan, di samping ingin mensegerakan acara pertunangan mereka, saat itu pula bertepatan dengan libur semester kuliah Kintani. Acara pertunangan itu sendiri rencananya akan dilaksanakan besok pagi, pihak keluarga Ridwan telah menyewa kendaraan untuk pergi bersama-sama mengunjungi rumah keluarga Kintani.

Cuaca pagi itu kurang bersahabat, awan hitam berpadu kompak menutup kebiruan langit. Tak lama hujanpun turun semakin lama semakin lebat, namun hal itu bukanlah penghalang bagi keluarga Ridwan untuk melaksanakan rencana mereka berkunjung ke rumah keluarga Kintani.

Dengan mobil avanza yang disewa Ridwan beserta supirnya, berangkatlah Ridwan dan kedua orang beserta Fitria Adik kandungnya menuju rumah kediaman keluarga Kintani yang terletak di kenagarian P.

Sekitar 15 menit mobil avanza yang di dalamnya Ridwan dan keluarganya tiba di halaman rumah megah milik Pak Wisnu sekeluarga, dengan menggunakan payung mereka turun dari mobil lalu melangkah ke teras rumah.

“Asalamualaikum,” ucap Pak Rustam sekelurga.

“Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga dari dalam rumah.

“Mari silahkan masuk!” ajak Pak Wisnu diiringi anggota keluarganya menghampiri Pak Rustam sekeluarga di depan pintu.

“Terima kasih, Pak Wisnu,” ucap Pak Rustam.

Di ruangan yang telah dipersiapkan untuk acara pertunangan antara Ridwan dan Kintani itu, kedua kelompok keluarga duduk secara adat-istiadat yang hingga kini masih berlaku di kenagarian di Provinsi Sumatera Barat itu.

Bagi yang pria duduk bersila, sementara bagi kaum wanitanya duduk bersimpuh. Setelah saling memperkenalkan diri, tibalah saatnya di mana Mamak ( Paman ) dari Kintani yang memiliki kedudukan tinggi secara adat dalam keluarga Minang berpepatah petitih memulai acara.

“Bapak Rustam yang kami hormati, sebelum berlanjut ke acara inti. Ada baiknya kami bertanya dulu, apa maksud dan tujuan Bapak datang berkunjung ke sini?” tanya Gindo Pamannya Kintani.

“Yang kami hormati saudara Gindo Paman dari Kintani, adapun maksud kedatangan kami ke sini, untuk meminang kemenakan saudara menjadi menantu kami,” jawab Pak Rustam.

“Sebelumnya saya juga ingin bertanya, ke manakah Paman dari Ridwan? Kenapa dia tidak hadir di sini? Apakah Ridwan tidak memiliki Paman lagi?”

“Maafkan kami saudara Gindo, bukannya kami memandang enteng adat dengan tidak menghadirkan Paman dari putra kami di sini. Melainkan beliau jauh berada di Pulau Jawa, sebelum kami ke sini terlebih dahulu telah merembukan maksud dan tujuan kami ini, beliau memberi mandat kepada saya untuk mewakilinya menyampai maksud dan tujuan yang kami sampaikan tadi,” tutur Pak Rustam.

“Baiklah Bapak Rustam, ikan di lubuk telah jelas jantan-betinanya, sama halnya kami telah jelas juga maksud dan tujuan Bapak sekeluarga ke sini. Kami juga sebelumnya telah berembuk sebelum menyediakan ruangan ini tempat kita akan mengadakan acara ikatan pertunangan antara Ridwan putra Bapak Rustam dengan Kintani putri Bapak Wisnu kemenakan Sutan Bagindo, ada satu pertanyaan lagi yang ingin kami ajukan,” ujar Paman Gindo berpepatah petitih.

“Silahkan saudara Gindo, apa yang hendak saudara tanyakan lagi?”

“Kita di Tanah Minangkabau ini terdiri dari berbagai macam suku, tidak memiliki suku berarti tidak memiliki adat. Yang ingin kami tanyakan, apakah Ridwan putra Bapak memiliki suku yang di dasarkan dari garis keturunan Ibunya?” tanya Paman Gindo.

“Tentu saja ada saudara Gindo, karena kami merupakan orang Minang yang hingga saat ini masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan tradisi. Berdasarkan garis keturunan Ibu maka putra kami Ridwan bersuku Caniago,” tutur Pak Rustam.

Bukan kepalang terkejutnya seluruh keluarga Kintani, itu disebabkan bukan karena adanya petir yang menggelegar di sela lebatnya hujan di luar rumah, akan tetapi karena penuturan Pak Rustam yang mengatakan jika Ridwan bersuku caniago. Terutama Sutan Bagindo Pamannya Kintani, ia sempat terlonjak saat duduk bersila di ruangan itu, namun ia berusaha untuk meredam emosinya ketika ia melirik ke arah kedua orang tua Kintani.

Paman Gindo beringsut dari duduknya menghampiri Pak Rustam duduk di arah berlawan di ruangan itu, Pak Rustam sendiri sama sekali belum tahu penyebab seluruh keluarga Kintani terkejut akan pernyataan yang ia berikan tadi.

“Uda Rustam, sebaiknya kita bicarakan ini di ruangan tengah. Di mana hanya boleh ikut serta kedua orang tua Kintani, Uda Rustam dan Uni Suci. Ridwan dan Kintani untuk sementara biar menunggu di sini,” pinta Paman Gindo berbisik dengan Pak Rustam.

“Baiklah, mari!” Pak Rustam berdiri dari duduknya setelah mengajak Bu Suci mereka ikut masuk ke ruangan tengah di mana di sana telah menunggu kedua orang tua Kintani dan Paman Gindo.

Ridwan dan Kintani yang tidak diajak ikut ke ruangan tengah tampak duduk berhadap-hadapan dengan jarak selebar ruangan depan rumah mewah milik Pak Wisnu sekeluarga itu, tak ada sepatah katapun yang terucap di bibir keduanya, mereka kelihatan bingung kenapa Paman Gindo mengajak kedua orang tua mereka ke ruangan tengah untuk membicarakan sesuatu yang tentunya dirahasiakan dari mereka berdua.

“Maaf sebelumnya, ada gerangan apa saudara Gindo meminta kami berdua ke ruangan ini?” tanya Pak Rustam.

“Celaka Uda Rustam! Ini benar-benar buruk dan berbahaya, kami sama sekali tak menyangka,” ujar Paman Gindo.

“Celaka bagaimana? Kami tidak mengerti,” kembali Pak Rustam bertanya.

“Uda Rustam pasti tahu jika di Tanah Minang ini banyak sekali terdapat suku-suku, yang mana dalam ketentuan adat-istiadat kita, dilarang untuk menjalin cinta kasih apalagi sampai menikah sepesukuan,” tutur Paman Gindo.

“Maksud saudara Gindo...,” belum selesai Pak Rustam berucap, Paman Gindo memotong.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
makanya mak saya dulu sering berpesan kalo kenal sama orang coba tanya dulu suku nya..jika "sapasukuan" berteman saja...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status