Kaira bersama gadis itu menoleh ke arah pintu dan langsung mendekatinya. Empat orang pria tampak mendorong sebuah brankar dan menerobos masuk ruangan IGD.
"Suster, dokter! Tolong bantu kami! Ada korban kecelakaan," seru salah seorang dari mereka.""Apa yang terjadi?" tanya Kaira sambil mengambil stetoskop dari saku jasnya."Pasien mengalami luka memar pada kening. Patah pada tangan dan kaki kiri. Pendarahan pada tangan Kiri. Paha kanan sobek cukup dalam," jelas salah seorang dari petugas paramedis yang membawa orang itu ke rumah sakit.Sekujur tubuh orang itu berlumur darah hingga sulit di kenali. Kondisinya sangat memprihatinkan sekali.Berapa suhu dan tekanan darahnya? Sudah menghubungi keluarganya?" tanya Kaira kembali sambil memeriksa denyut nadinya."Mereka masih di jalan. Suhu tubuhnya tiga puluh tujuh derajat. Tekanan darahnya tujuh puluh per seratus."Pindahkan ke ruang pemeriksaan itensif. siapkan larutan Nacl 0,9 persen infus 500 mili liter. Kasa, obat merah, dan alkohol," pinta Kaira pada Nuning, seorang perawat yang bersamanya.NaCl 0.9% Infus 500 mili liter merupakan cairan kristaloid yang sering digunakan secara intravena untuk resusitasi cairan. Misalnya : pada kasus dehidrasi berat, syok hipovolemia, alkalosis metabolik yang disertai kehilangan cairan dan deplesi natrium ringan."Baik, Dok."Perawat itu menyiapkan semua yang diperlukan. Kemudian, membantu Kaira membersihkan pasien. Saat wajahnya sudah terlihat, Kaira menghentikan aktivitasnya. Membulatkan dengan sempurna kedua matanya.'Dia ... tidak mungkin,' batin Kaira sambil sedikit menggeleng dan memejamkan matanya yang sempat terbelalak."Dok, pasien kritis. Detak jantung melemah," ucap Nuning setelah memasang ventilator serta monitor holter yang merupakan alat perekam ritme jantung secara terus-menerus dan alat bantu pernapasaan.Kaira bergeming. Wanita itu masih larut dalam lamunan. Mengabaikan perkataan perawat di sebrangnya."Dok," panggil Nuning sambil menatap bingung ke arah Kaira."Ahh, iya."Kaira tersentak dengan perkataan Nuning. Seketika, lamunannya pun membuyar. Membuat wanita itu kembali tersadar."Dokter baik-baik saja?" tanya Nuning khawatir."I--iya. Saya hanya tiba-tiba merasa sedikit pusing saja," bohong Kaira yang tidak ingin Nuning mengetahui kondisi dirinya.Dokter Harun yang sedang memeriksa pasien tak jauh dari tempat Kaira berada menoleh ke arah mereka. Memperhatikan yang sedang terjadi."Dina, kau urus pasien ini dulu," ucap Harun sambil melangkah ke arah Kaira."Baik, Dok," ucap perawat yang bernama Dina sambil mengangguk.Harun mendekati Kaira dan Perawat Nuning. Kemudian, menatap Kaira dengan bingung."Apa yang terjadi?' tanya Harun saat tiba di tempat Kaira."Tidak ada. Kepalaku sedikit sakit.""Istirahatlah, biar aku yang mengurus pasien ini," ucap Harun sambil melihat wajah Kaira yang tampak pucat. Kaira mengangguk dan berlalu."Dok, jantung pasien terhenti," ucap Nuning panik."Pasang intubasi. Saya akan melakukan CPR," ucap Dokter Harun sambil naik ke atas ranjang dan menekan dada kiri pasien. Lalu, memompanya.Kemudian, melakukan tindakan medis ablasi jantung. Yaitu, prosedur memperbaiki aritma yang dilakukan dengan cara membuat jaringan parut di jantung, untuk memblokir sinyal listrik yang tidak beraturan dan menggembalikan detak jantung menjadi normal.Dokter Harun turun dari ranjang dan mengambil defibrillator. Yaitu, alat kejut listrik ke jantung. Berfungsi untuk mengatasi irama jantung abnormal yang berpotensi fatal atau aritma. Sehingga, membuat detak jantung kembali berdetak saat pasien mengalami jantung berhenti."Deflibrillator 200 joule!""Siap!""Shock!"Kembali Harun melakukan ablasi untuk aritma jantung, setelah melakukan deflibrillator sebanyak dua kali."Tekanan darah 120-100/90-60 mmHg, denyut jantung 60-100bpm/beat per minute, SpO2 di atas 95%, dan frekuensi napas antara 12-20 kali per menit," ucap perawaat Nuning, menjelaskan kondisi pasien setelah mengecek melalui monitor.Dokter Harun bernapas lega karena jantung pasien kembali berdetak normal. Mengatur napas yang sedikit tersengal dan membasuh kening yang dipenuhi peluh dengan kerah jasnya.~~~~~~Usai melakukan penyelamatan yang cukup menegangakan, Dokter Harun meninggalkan ruangan IGD dan melangkah ke ruangannya sambil membawa berkas berisi hasil ct scean pasien kecelakaan tersebut.Dokter Harun melihat Kaira menangis terisak di ruangannya. Pria berparas manis itu mendekati. Lalu, duduk di sebelah Kaira."Ada apa? Kenapa menangis?" tanya Harun lembut sambil menepuk pelan sebelah pundak Kaira."Ka--Kak Harun," ucap Kaira dengan gugup, mendapati sang kakak tengah berada di sampingnya."Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kau tampak aneh akhir-akhir ini. apa ada yng mengusik pikiranmu?" tanya dokter muda itu kembali, menatap Kaira penasaran."Aku--""Apa kau mengenal pasien di ruangan IGD itu?" sela Harun dengan tidak sabar."Tidak," bohong Kaira yang tidak ingin Harun mengetahuinya."Baiklah. Ini hasil ct scean pasien itu," ucap harun sambil menyerahkan berkas di tangannya. Kaira menerima dan melihatnya."Separah ini kah kondisinya?" tanya Kaira yang terkejut dengan keadaan pasien tersebut."Begitulah. Harus dilakukan opersai secepatnya. Kepala bagian depan dan lengan kirinya cukup parah. Patah kaki dan tangan kirinya pun harus segera di tangani. Jika tidak, pasien bisa mengalami lumpuh permanen.""Apa pihak keluarganya sudah mengetahui hal ini?""Aku sudah menjelaskannya tadi.""Lalu?""Kita akan melakukan operasi itu segera.""Apa? Kita?""Ya, kita. Kau dan aku.""Tapi--""Sepuluh menit lagi. Aku tunggu di ruang operasi. Jangan terlalu memaksakan diri, jika tidak sanggup tidak perlu melakukannya."Kaira terdiam mendengar ucapan Harun yang begitu tegas terhadapnya. Kaira bergeming. Seluruh syarafnya terasa mati, terlihat lemas dan kembali pucat.'Ya Tuhan, haruskah aku mengoperasi dirinya?' batin Kaira sambil memejamkan mata. Mencoba untuk menetralisir tubuhnya yang sempat kaku dan sesak napas.~~~~~~Kaira kembali terdiam di ruang operasi. Menatap nanar ke arah pasien di hadapannya. Dadanya terasa sesak, jantung Kaira berdetak dua kali lebih cepat dari normal. Napas kaira pun tak beraturan.'Kenapa harus kau yang berada di sini?' batin Kaira yang semakin bergemuruh.Harun memicingkan matanya. Menatap Kaira penuh kebingungan dari sebrang. Pria berparas manis itu semakin merasa aneh dengan sikap tak biasa Kaira."Ada apa? Apa kau baik-baik saja?" tanya Harun dengan curiga.Kaira tersentak. Lamunannya membuyar. Kalimat Harun cukup mengejutkannya meski pelan. Wanita itu mengangguk."Bisa kita mulai mengoperasi pasien ini sekarang?" tanya Harun yang sudah siap sejak dokter anastesis selesai melakukan tugasnya. Lagi-lagi hanya anggukkan kecil terlihat dari Kaira.Kaira pun akhirnya memimpin jalannya operasi meski ia harus berhadapan dengan pasien tersebut. Tugas seorang dokter pun harus ia jalani tanpa memilih siapa pasiennya.~~~~~~Empat jam berlalau, operasi pun selesai. Lampu ruangan bedah itu mati. Seorang pria yang menunggu sejak operasi berlangsung tersebut bernapas sedikit lega setelah penantian cukup lama. Harun keluar ruangan dan langsung di hadang oleh pemuda itu."Dokter, bagaimana keadaannya?" tanya pemuda itun penasaran."Syukurlah, operasi berjalan lancar. Namun, pasien masih dalam kondisi koma. jadi, harus di rawat secara intensif di ruang ICU," jelas Harun sambil membuka kacamatanya."Lalu, kapan pasien akan sadar?" tanya pemuda itu semakin penasaran."Tergantung bagaimana pasien merespons. Semoga saja tidak berlangsung lama," jelas Harun kembali."Aamiin.""Sebaiknya Anda menunggu di depan ruangan ICU saja.""Baik, Dok."Harun dan pemuda itu pun meninggalkan ruangan operasi dan berjalan menuju ruang ICU. Sementara Kaira, wanita tersebut kembali ke ruangannya, ia ingin memulihkan kondisi yang sempat tegang dan kemelut yang berkecamuk di dalam hati dan pikirannya. Begitu syoknya Kaira saat melihat pasien itu dan harus mengoperasinya.Kaira menghela napas kasar. "Iya, Kak. Makanya aku kesal sekali. Aku merasa tidak nyaman dan bebas. Sudah seperti tawanan saja," kesalnya sambil bersedakep dan memonyongkan sedikit bibirnya."Aku rasa itu bagus. Kaivan ingin melindungimu dan Kiara. Dia terlalu khawatir dengan kalian. Oleh karena itu lah, Kaivan melakukan ini semua," jelas Harun dengan wajah serius."Iya, sih, tapi kan aku jadi merasa tidak bebas.""Itu karena kau belum terbiasa. Nanti kau akan terbiasa.""Kau mendukungnya?""Jika itu demi kebaikan dan keselamatanmu dan Kiara, kenapa tidak.""Menyebalkan.""Hei! Kau mau ke mana?"Kaira melenggang pergi dengan kesal. Pasalnya, Harun mendukung Kaivan, hal itu membuat Kaira sia-sia berbicara dengan pemuda itu. Harun mengikuti langkah Kaira keluar ruangan.~~~Kaira keluar dari lobi rumah sakit, ia sudah disambut dengan anak buah Kaivan yang sudah berdiri menunggunya."Selamat sore, Nyonya," ucap salah seorang anak buah Kaivan."Sore. Kalian ....""Kami diperintahkan Tuan
Kaivan duduk melamun di kursi kebesarannya, Ferdinan masuk setelah ketukan pintu tak dihirukan pemuda itu."Apa yang tengah kau pikirkan? Kenapa murung?" tanya Ferdinan, membuat Kaivan sedikit melonjak."Kau ini, kenapa mengejutkanku? Kenapa tidak ketuk pintu dahulu" tanya Kaivan kesal."Aku sudah mengetuk pintu tapi kau tidak mendengarnya. Jadi, aku masuk saja takut kau kenapa-napa," jelas Ferdinan.Kaivan menghela napas sedikit kasar dan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut."Papi mengurung mami di kamar hukuman karena ketahuan selama ini, mami yang membantu Tasya dan Karin memberi suntikan dan untuk mereka bisa bertahan hidup," jelas Kaivan kesal."Apa? Pantas saja Karin dan Tasya dengan mudah bisa berpindah-pindah tempat tinggal, ternyata tante Kanza yang membantunya," ucap Ferdinan terkejut."Itulah, Aku benar-benar bodoh, ternyata ada musuh lain di dalam rumahku, dia adalah mami," ucap kaivan datar."Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ferdinan penasaran."Aku akan menca
"Ka--kau ini bicara apa, sih, Kai," ucap Kanza dengan gugup."Kalau Mami tidak menjualnya, biarkan aku memilihkannya untuk Mami," ucap Kaivan sambil melangkah menuju kamar Kanza."Kaivan!""Ini ada apa, sih? Kenapa ribut sekali, sampai tidak mendengar suaraku," ucap Karan saat tiba di rumah."Papi.""Ini loh, Pi Kaivan. Dia ....""Kaivan hanya ingin membantu Mami mencari gaun, tas, sepatu, dan perhiasan yang cocok untuk acara besok. Beberapa hari lalu aku sudah belikan semua untuk Mami, tapi Mami malah larang," jelas Kaivan menyindir Kanza."Bu--bukan begitu, Pi. Mami mau cari sendiri, tapi anak kesayanganmu ini malah maksa mau cari," alasan Kanza, berharap dapat pembelaan dari suaminya."Aku hanya ingin membantunya saja. Apa salah jika aku ingin melakukannya sendiri? Siapa tahu ada yang tidak cocok," alasan Kaivan dengan sengaja."Bukan begitu, Pi. Mami ....""Sudahlah, Mi. Biarkan Kaivan melakukannya. Memang kenapa, sih kalau anaknya mau bantu?" ucap Karan mencoba menengahi."Kaivan
"Ini banyak sekali. Kenapa kau hamburkan uang begitu banyak untuk membeli semua ini? Nanti uangmu habis bagaimana?" protes Kaira yang terkejut dengan hadiah mahal dari suami tersayangnya itu."Ini tidak seberapa, aku akan belikan seluruh isi mal untukmu. Dunia pun akan aku berikan untukmu," jelas Kaivan sambil menatap Kaira lembut."Tidak usah menggombal. Apa mamimu datang menemuimu dan menguras uangmu? Kau merasa bersalah denganku dan menebusnya dengan membeli hadiah sebanyak ini?" curiga Kaira."Kau ....""Kenapa? Ingin memarahiku di depan Kiara?" tanya Kaira sambil mendelik."Aku baru pulang kau malah marah dan mencurigaiku. Kau keterlaluan," ucap Kaivan sedikit merajuk.Kaira tersenyum, tidak tahan melihat ekspersi menggemaskan Kaivan."Ekspresi apa itu? Jangan merajuk, aku hanya menggodamu," ucap Kaira sambil tersenyum."Kau! Beraninya menggodaku! Tidak tajut aku hukum?" protes Kaivan."Sudahlah, jangan merajuk. Aku sudah buatkan kukis kesukaanmu. Kau pergilah mandi, aku akan sia
"Mi, sebaiknya Mami pulang saja. Aku masih banyak pekerjaan. Tolong jangan memaksaku," ucap Kaivan setenang mungkin meski hatinya kesal dengan sikap maminya yang selalu membantu Karin dan Tasya.Meski Kanza tidak mengetahui jika Kaivan sudah mengetahui semua perlakuan maminya. Namun, Kaivan harus tetap berhati-hati agar Kanza tidak curiga padanya."Mami tidak mau pulang! Kai, kau harus kasih Mami uang. Bantu Mami, Kai," tolak Kanza yang mendesak Kaivan meminta uang."Mi, aku sudah bilang, bukan? Aku tidak ada uang. Keuangan perusahaan sedang goyah. Lagi pun, aku sudah memberikan uang banyak kepada Mami dua minggu lalu," jelas Kaivan yang masih tenang menghadapi maminya."Tiga ratus juta mana cukup, Kai? Kebutuhan Mami banyak. Beli make up, skin care, perawatan, belum lagi buat arisan dengan teman-teman Mami dan beli kebutuhan Mami yang lain," protes Kanza dengan sedikit kesal."Mi, itu banyak. Baru dua minggu loh. Bahkan Mami masih bisa menabung. Belum lagi dari Papi. Jika di total sa
'Kai, bantu Mami. Mami butuh uang.'Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Kaivan. Pemuda itu mengambil benda pipih yang tergeletak di meja kerjanya. Mengerutkan kedua alisnya menatap layar ponsel."Pasti Mami mau bantu Tasya dan Karin. Kenapa Mami masih bekerja sama dengannya, padahal sudah jelas-jelas mereka bukan orang baik-baik?" monolog Kaivan geram."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menangkap Mami dan menyekapnya, lalu membuat Mami mengaku. Pasti tidak akan berhasil. Mami sangat licik dan pandai mengelak. Pasti akan ada drama besar dibuatnya," monolog Kaivan kembali.'Kai, kenapa tidak menjawab dan mengabaikan Mami?'Ting!Ponsel Kaivan kembali berbunyi. Sebuah notifikasi kembali masuk. Kaivan kembali melihatnya. Namun, tidak membuka watsapp-nya.Ponsel Kaivan kembali berbunyi, kali ini wanita tua itu menelepon Kaivan karena kesal pesannya diabaikan oleh sang putra. Kaivan menghela napas kasar. Menantap ke arah ponsel yang terus berdering.Berkali-kali ponsel Kaivan berderin