Pasien tak kunjung sadarkan diri pasca melakukan operasi kemarin karena kecelakaan. Ferdinan, pria yang menunggu orang itu sejak kemarin, masih setia melihat perkembangannya dari balik jendela ruang ICU.
Pria tinggi berkulit hitam manis itu menatap iba ke arah pasien yang di tubuhnya terdapat kabel listrik yang mengarah ke monitor perekam detak jantung. Kedua lubang hidungnya terdapat selang oksigen untuk membantu pernapasan. Kaki dan tangan kiri orang itu terbalut perban. tangan kanan terbalut selang infus dan paha kanan yang dijahit. Tidak terbayangkan, begitu parah luka yang di derita pasien tersebut. Rasanya, ingin sekali Ferdinan menangis tersedu-sedu melihat kondisi orang itu."Kenapa separah ini? Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa orang yang begitu teliti dan selalu berhati-hati saat berkendara sepertimu bisa luka seperti ini?" tanya Ferdinan dengan raut wajah sedih."Ferdinan memalingkan wajah. Tak mampu melihatnya. Namun, kedua bola matanya membulat sempurna saat melihat seorang wanita cantik berjalan ke arahnya."Wanita itu ...."Wanita itu membuka pintu ruangan ICU dan masuk ke dalam. Menaruh kedua ujung stetoskop pada telinganya dan mulai melakukan pemeriksaaan pada pasien tersebut. Kemudian, ia memperhatikan monitor, melihat perkembangan pasiennya."Kondisinya sudah stabil, tapi kenapa pasien belum sadar? Apa ada yang salah?" monolognya sambil mencari tahu."ka--kau ...."Tiba-tiba pasien itu bersuara, rupanya ia sudah sadarkan diri saat wanita tersebut tengah mengecek detak jantung pada monitor.'Dia sudah sadar. Apa dia akan mengenaliku?' batin wanita itu dengan panik."Ka--Kaira. Kau ada di sini. Apa aku sedang bermimpi?" ucap pasien yang baru saja sadarkan diri itu."Anda sudah sadar, Tuan," ucap Kaira mengalihkan pembicaraan. Tak ingin orang itu mengenali dirinya."Kenapa aku ada di sini? Apa yang terjadi padaku?" tanya orang itu dengan bingung."Anda kecelakaan dan baru menjalankan operasi. Jangan banyak bergerak dulu," ucap Kaira dingin."Kecelakaan? Operasi? Argh!"Orang itu kembali bingung, ia masih dalam kondisi setengah sadar. Pasien tersebut meringis kesakitan, saat dirinya hendak bangkit dari ranjang. Kaira mendekat dan menenangkannya."Sudah saya bilang, Anda baru saja operasi dan banyak luka pada tubuh Anda. Jadi, jangan banyak bergerak," ucap Kaira pelan. Namun, terasa dingin."Kaira, aku ....""Kondisi Anda baik-baik saja. Rasa nyeri itu akan hilang karena saya sudah memberikan pereda rasa nyeri. Saya permisi.""Tunggu! Apa kau tidak mengenalku? Aku Kaivan,' ucap pria itu yang sudah mulai normal. Kaivan memegang sebelah tangan Kaira."Mungkin Anda salah orang," sangkal Kaira yang tidak ingin berada lebih lama di ruangan itu."Tidak mungkin. Meski aku kecelakaan dan melakukan operasi. Namun, aku masih bisa mengingat. Sebab, aku tidak amnesia," jelas Kaivan dengan yakin tanpa melepaskan pegangan tangannya."Anda--""Akhirnya aku menemukanmu, setelah bertahun-tahun lamanya mencari. Tidak aku sangka, kita bertemu di sini," ucap Kaivan menyela kalimat Kaira. Mereka terdiam sesaat. Hanyut dalam perasaan masing-masing.Kaira teringat akan kenangan menyakitkan yang pernah menimpanya beberapa tahun lalu. Rasa sakit itu datang kembali saat bertemu dengan Kaivan. Kedua mata Kaira berkaca, menahan air mata yang hendak menetes.Wanita itu menggerak-gerakkan sebelah tangan yang di genggam Kaivan, berusaha untuk melepaskannya. Namun, pegangan itu cukup kuat, meski Kaivan dalam kondisi sakit dan masih lemah."Kaira, aku ....""Tolong lepaskan tangan saya, Tuan," pinta kaira tanpa menatap ke arah pemuda itu."Apa kau akan meninggalkanku setelah kita bertemu kembali?" tanya Kaivan yang masih enggan melepaskan genggamannya."Tuan, tolong jaga sikap Anda. Ini rumah sakit," ucap Kaira masih dengan lembut. Namun, penuh penegasan."Lalu, di mana sebaiknya kita bertemu agar kau merasa nyaman?""Lepaskan saya!"Kaira meninggikan sedikit nada bicaranya, ia mulai merasa tidak nyaman dengan ucapan Kaivan yang seolah mengintimidasinya.Wanita itu berhasil melepaskan diri dari Kaivan dan gegas keluar. Kaira menatap dingin ke arah Ferdinan yang berpapasan di depan pintu ICU. Namun, tak menyapa dan langsung berlalu.~~~~~~Kaira masuk ke ruangannya dan menyibak semua isi di atas meja hingga berhamburan ke lantai. Suaranya cukup gaduh, menimbulkan kecurigaan pada Dokter Harun yang kebetulan melintas di depan ruangan Kaira."Kaira!"Harun terkejut saat membuka pintu dan melihat ruangan yang berantakan dengan seorang wanita meringkuk di sudut meja. Pria berkumis tipis dengan paras manis itu mendekat dan berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan tubuh Kaira. Kemudian, memegang kedua pundaknya.Kaira mendongak. Wajahnya tampak basah karena air mata yang terbendung telah tumpah. Kedua matanya sembab. Menatap kosong ke arah Harun. Pria itu mengerutkan alisnya dan menangkupkan wajah Kaira."Apa yang terjadi padamu?" tanya Harun lirih tanpa melepaskan kedua tangan dan tatapannya dari Kaira.Kaira bergeming. Tatapannya masih kosong. Hanya Isak yang sesekali terdengar. Harun menghela napas dan meraih tubuh Kaira. Kemudian, memeluk erat sambil mengusap-usap lembut rambut hitam Kaira yang terurai."Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Biar aku yang melanjutkan pekerjaanmu. Aku antar, ya," ucap Harun kembali berbisik di telinga Kaira."A--aku baik-baik saja," ucap Kaira datar, masih dalam pelukan Harun.Pria berkacamata dengan kumis tipis itu melepaskan pelukannya. Memegang kedua pundak Kaira dan menatap perempuan tersebut dalam."Apa kau yakin? Wajahmu pucat dan tampak berantakan. Apa kau akan bekerja dengan keadaan seperti ini?" tanya Harun khawatir."Iya," jawab Kaira singkat."Bagaimana aku percaya kau baik-baik saja? Lihatlah, ruangan ini begitu berantakan. Aku khawatir sesuatu hal buruk terjadi padamu, Kaira."Kaira meraih kedua tangan Harun dan menggenggamnya. Wanita itu berusaha tersenyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. Meski pun sebenarnya bertentangan dengan hati Kaira yang kacau."Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan hal itu. Maaf, kalau aku sudah membuatmu khawatir. Akan aku bereskan kekacauan ini," ucap Kaira meyakinkan sang kakak.Harun menghela napas. Menatap lamat-lamat wajah Kaira. Memastikan ucapan wanita itu benar."Biar aku yang membereskan. Kau duduk saja. Tenangkan dirimu," ucap Harun sambil membantu Kaira bangkit dan menuntunnya ke sofa.Kemudian, Harun mulai merapikan ruangan Kaira. Memungut pecahan beling dengan hati-hati. Menaruh barang-barang kembali ke tempatnya. Kaira duduk sambil termenung, ia masih berusaha mengendalikan diri yang di dirundung dilema menjadi tenang.Usai merapikan semua, Harun melirik ke arah Kaira. Wanita itu tampak memejamkan mata dengan menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. Harun mendekat sambil membawa bantal dan selimut dari kursi Kaira dan memperbaiki posisi tidurnya dengan perlahan hingga nyaman.Merebahkan tubuh Kaira di sofa. Melepas sepatunya. Menyangga kepala Kaira dengan bantal dan menyelimuti tubuh perempuan tersebut hingga seluruh tubuh Kaira terbalut.'Kau selalu berusaha kuat menutupi masalah yang kau alami. Tanpa ingin orang lain mengetahuinya. Kau tampak kuat meski hatimu sesungguhnya rapuh,' batin Harun sambil memandang Kaira sekejap. Lalu, pergi meninggalkannya agar bisa beristirahat dengan baik.Kaira menghela napas kasar. "Iya, Kak. Makanya aku kesal sekali. Aku merasa tidak nyaman dan bebas. Sudah seperti tawanan saja," kesalnya sambil bersedakep dan memonyongkan sedikit bibirnya."Aku rasa itu bagus. Kaivan ingin melindungimu dan Kiara. Dia terlalu khawatir dengan kalian. Oleh karena itu lah, Kaivan melakukan ini semua," jelas Harun dengan wajah serius."Iya, sih, tapi kan aku jadi merasa tidak bebas.""Itu karena kau belum terbiasa. Nanti kau akan terbiasa.""Kau mendukungnya?""Jika itu demi kebaikan dan keselamatanmu dan Kiara, kenapa tidak.""Menyebalkan.""Hei! Kau mau ke mana?"Kaira melenggang pergi dengan kesal. Pasalnya, Harun mendukung Kaivan, hal itu membuat Kaira sia-sia berbicara dengan pemuda itu. Harun mengikuti langkah Kaira keluar ruangan.~~~Kaira keluar dari lobi rumah sakit, ia sudah disambut dengan anak buah Kaivan yang sudah berdiri menunggunya."Selamat sore, Nyonya," ucap salah seorang anak buah Kaivan."Sore. Kalian ....""Kami diperintahkan Tuan
Kaivan duduk melamun di kursi kebesarannya, Ferdinan masuk setelah ketukan pintu tak dihirukan pemuda itu."Apa yang tengah kau pikirkan? Kenapa murung?" tanya Ferdinan, membuat Kaivan sedikit melonjak."Kau ini, kenapa mengejutkanku? Kenapa tidak ketuk pintu dahulu" tanya Kaivan kesal."Aku sudah mengetuk pintu tapi kau tidak mendengarnya. Jadi, aku masuk saja takut kau kenapa-napa," jelas Ferdinan.Kaivan menghela napas sedikit kasar dan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut."Papi mengurung mami di kamar hukuman karena ketahuan selama ini, mami yang membantu Tasya dan Karin memberi suntikan dan untuk mereka bisa bertahan hidup," jelas Kaivan kesal."Apa? Pantas saja Karin dan Tasya dengan mudah bisa berpindah-pindah tempat tinggal, ternyata tante Kanza yang membantunya," ucap Ferdinan terkejut."Itulah, Aku benar-benar bodoh, ternyata ada musuh lain di dalam rumahku, dia adalah mami," ucap kaivan datar."Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ferdinan penasaran."Aku akan menca
"Ka--kau ini bicara apa, sih, Kai," ucap Kanza dengan gugup."Kalau Mami tidak menjualnya, biarkan aku memilihkannya untuk Mami," ucap Kaivan sambil melangkah menuju kamar Kanza."Kaivan!""Ini ada apa, sih? Kenapa ribut sekali, sampai tidak mendengar suaraku," ucap Karan saat tiba di rumah."Papi.""Ini loh, Pi Kaivan. Dia ....""Kaivan hanya ingin membantu Mami mencari gaun, tas, sepatu, dan perhiasan yang cocok untuk acara besok. Beberapa hari lalu aku sudah belikan semua untuk Mami, tapi Mami malah larang," jelas Kaivan menyindir Kanza."Bu--bukan begitu, Pi. Mami mau cari sendiri, tapi anak kesayanganmu ini malah maksa mau cari," alasan Kanza, berharap dapat pembelaan dari suaminya."Aku hanya ingin membantunya saja. Apa salah jika aku ingin melakukannya sendiri? Siapa tahu ada yang tidak cocok," alasan Kaivan dengan sengaja."Bukan begitu, Pi. Mami ....""Sudahlah, Mi. Biarkan Kaivan melakukannya. Memang kenapa, sih kalau anaknya mau bantu?" ucap Karan mencoba menengahi."Kaivan
"Ini banyak sekali. Kenapa kau hamburkan uang begitu banyak untuk membeli semua ini? Nanti uangmu habis bagaimana?" protes Kaira yang terkejut dengan hadiah mahal dari suami tersayangnya itu."Ini tidak seberapa, aku akan belikan seluruh isi mal untukmu. Dunia pun akan aku berikan untukmu," jelas Kaivan sambil menatap Kaira lembut."Tidak usah menggombal. Apa mamimu datang menemuimu dan menguras uangmu? Kau merasa bersalah denganku dan menebusnya dengan membeli hadiah sebanyak ini?" curiga Kaira."Kau ....""Kenapa? Ingin memarahiku di depan Kiara?" tanya Kaira sambil mendelik."Aku baru pulang kau malah marah dan mencurigaiku. Kau keterlaluan," ucap Kaivan sedikit merajuk.Kaira tersenyum, tidak tahan melihat ekspersi menggemaskan Kaivan."Ekspresi apa itu? Jangan merajuk, aku hanya menggodamu," ucap Kaira sambil tersenyum."Kau! Beraninya menggodaku! Tidak tajut aku hukum?" protes Kaivan."Sudahlah, jangan merajuk. Aku sudah buatkan kukis kesukaanmu. Kau pergilah mandi, aku akan sia
"Mi, sebaiknya Mami pulang saja. Aku masih banyak pekerjaan. Tolong jangan memaksaku," ucap Kaivan setenang mungkin meski hatinya kesal dengan sikap maminya yang selalu membantu Karin dan Tasya.Meski Kanza tidak mengetahui jika Kaivan sudah mengetahui semua perlakuan maminya. Namun, Kaivan harus tetap berhati-hati agar Kanza tidak curiga padanya."Mami tidak mau pulang! Kai, kau harus kasih Mami uang. Bantu Mami, Kai," tolak Kanza yang mendesak Kaivan meminta uang."Mi, aku sudah bilang, bukan? Aku tidak ada uang. Keuangan perusahaan sedang goyah. Lagi pun, aku sudah memberikan uang banyak kepada Mami dua minggu lalu," jelas Kaivan yang masih tenang menghadapi maminya."Tiga ratus juta mana cukup, Kai? Kebutuhan Mami banyak. Beli make up, skin care, perawatan, belum lagi buat arisan dengan teman-teman Mami dan beli kebutuhan Mami yang lain," protes Kanza dengan sedikit kesal."Mi, itu banyak. Baru dua minggu loh. Bahkan Mami masih bisa menabung. Belum lagi dari Papi. Jika di total sa
'Kai, bantu Mami. Mami butuh uang.'Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Kaivan. Pemuda itu mengambil benda pipih yang tergeletak di meja kerjanya. Mengerutkan kedua alisnya menatap layar ponsel."Pasti Mami mau bantu Tasya dan Karin. Kenapa Mami masih bekerja sama dengannya, padahal sudah jelas-jelas mereka bukan orang baik-baik?" monolog Kaivan geram."Aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menangkap Mami dan menyekapnya, lalu membuat Mami mengaku. Pasti tidak akan berhasil. Mami sangat licik dan pandai mengelak. Pasti akan ada drama besar dibuatnya," monolog Kaivan kembali.'Kai, kenapa tidak menjawab dan mengabaikan Mami?'Ting!Ponsel Kaivan kembali berbunyi. Sebuah notifikasi kembali masuk. Kaivan kembali melihatnya. Namun, tidak membuka watsapp-nya.Ponsel Kaivan kembali berbunyi, kali ini wanita tua itu menelepon Kaivan karena kesal pesannya diabaikan oleh sang putra. Kaivan menghela napas kasar. Menantap ke arah ponsel yang terus berdering.Berkali-kali ponsel Kaivan berderin