Kaira berjalan sambil menangis di tengah rinai hujan yang turun cukup deras. Wanita itu menyeret dengan malas koper, mengangklek tas berukuran sedang di pundak kirinya. Tangis Kaira semakin menjadi kala ia harus kembali teringat peristiwa beberapa waktu lalu.
Perempuan berambut hitam sepinggang dengan tinggi semampai tersebut di usir keluarganya dari rumah karena perbuatan yang tidak sengaja dan bukan kehendaknya terjadi."Pergi kau dari sini! Rumah ini tidak pantas di huni perempuan hina sepertimu!" usir wanita setengah baya yang berdiri di hadapan Kaira dengan lantang dan tatapan menyeringai."Jangan usir aku dari rumah. Aku mohon. Papa, Mama, Kak Karin, dan Kak Kevin," mohon Kaira dengan mengiba sambil bersimpuh di kaki sang kakak perempuannya."Jangan tunjukkan wajah sok polosmu di hadapan kami! Kau telah mencoreng nama baik keluarga ini dengan perbuatan kotor dan hinamu! Kami tidak ingin menanggung aibmu!" ucap Karin semakin menunjukkan amarahnya, dengan suara yang lantang."Sebaiknya kau keluar dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi. Kau telah mengecewakan kami semua. Papa sama Mama berharap banyak darimu. Akan tetapi, kau telah mengecewakan kami," ucap Kamran, ayahnya Kaira dengan wajah kecewa."Pa--""Pergi!"Karin menarik paksa Kaira dan menyeret dengan kasar Kaira keluar rumah. Lalu, melempar koper serta tas wanita itu. Kemudian, menutup keras pintu rumah. Kaira bangkit dengan cepat berjalan ke arah pintu. Mengetuk-ngetuk pintu cukup kencang sambil berteriak."Buka pintunya! Aku mohon, buka!" teriak Kaira menggedor kuat pintu.Namun, tidak ada satu pun yang mau membuka hingga akhirnya Kaira menyerah dan memungut koper serta tasnya. Melangkah dengan gamang tanpa arah dan tujuan.Air mata Kaira terus mengalir meski tersapu air hujan. Hawa dingin mulai terasa, ketika embusan angin menerpa, menyentuh permukaan kulit wajah, leher, dan tangan wanita itu. Namun, tak di rasakannya.Rasa sakit yang ia rasakan mengalahkan semua. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah nasib Kaira. Berjalan sendirian di tengah malam yang mencekam.Wanita itu berdiri di tepi jembatan yang di laluinya kini. Kaira merentangkan kedua tangan hendak melompat, ia membiarkan begitu saja koper dan tasnya tergeletak di tepi jembatan.Tinggal selangkah lagi untuk Kiara bisa terjun bebas ke sungai. Namun, seseorang meraih tubuh Kaira dengan cepat. Lalu, menariknya ke tepian. Mereka terjatuh terjerembab di trotoar. Kaira tak sadarkan diri dan langsung di bawa pergi orang tersebut.~~~~~~Delapan taun kemudian.Terdengar suara riuh dari dalam kamar. Bunyi benda-benda terjatuh dari meja rias, menyentuh lantai. Serpihan beling berhambur dengan bebas mengelilingi Kaira yang kini tersungkur di sudut meja kamarnya. Wanita itu meringkuk, membenamkan kepalanya pada kedua lutut yang tertekuk.Tubuhnya bergetar cukup kuat. Kedua tangan Kaira gemetar menyentuh pecahan beling tersebut. Darah segar menetes dari kedua telapak tangannya."Aww!"Wanita itu berteriak menahan sakit. Suara riuh dan teriakkan terdengar hingga ke kamar sebelah. Seorang pria muda melangkah cepat keluar kamar. Mencari tahu apa yang terjadi.Pemuda tersebut mengetuk keras pintu kamar Kaira. Namun, tidak ada jawaban. Kepanikan melandanya, ia pun mendobrak paksa pintu agar terbuka. Kedua matanya terbelalak melihat apa yang terjadi."Kaira!" teriak pria itu yang langsung berlari menghampiri Kaira yang sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai.Pemuda berkacamata dengan kumis tipis tersebut menggendong tubuh Kaira dan merebahkannya di ranjang. Kemudian, ia mengambil kotak P3K dari dalam laci, serta stetoskop. Lalu, memeriksa denyut nadi juga tubuh Kaira. Setelah itu, membersihkan luka wanita itu dengan alkohol.Lepas itu, ia membalut luka Kiara dengan perban dan memasang infus berupa cairan NaCl untuk menghindari dehidrasi. Setelah selesai, pria itu duduk di samping Kaira, menunggu wanita cantik berbulu mata lentik tersebut kembali sadarkan driri.Dua jam berlalu, Kaira pun tersadar. Perlahan menggerakkan jari-jemarinya dan membuka kedua mata. Pria di sampingnya langsung bangkit, kemudian menyentuh kening Kaira yang sudah tidak demam lagi."Syukurlah kau sudah sadarkan diri," ucap pria itu sambil kembali memeriksa denyut nadi Kaira."Kak Harun. Kenapa ada di sini? Apa yang terjadi denganku?" tanya Kaira dengn bingung sambil menatap Ke arah sekeliling."Kau pingsan. Apa yang terjadi padamu sampai seperti itu?" tanya Harun dengan wajah serius."Maaf, sudah buat Kakak khawatir," ucap Kaira lirih tanpa memberitahukan yang sebenarnya terjadi pada sang kakak.Harun mendekat. Pria itu mngusap lembut kepala Kaira dan menatapnya dalam."Istirahatlah. Jangan terlalu banyak pikiran. Jangn lupa minum obatnya dan ingat! Jangan pernah melakukan hal bodoh lagi," ucapnya sambil menyelimuti tubuh Kaira."Aku akan kembali dua jam lagi untuk memeriksa infusmu," lanjut Harun sambil melangkah keluar kamar. Kaira mengangguk dan memejamkan matanya kembali.Keesokan harinya, wajah Kaira sudah kembali segar setelah di infus semalaman. Harun mengtuk pintu kamar Kaira perlahan kemudian masuk. Pria itu tersenyum sambil menatap Kaira, ia mengerutkan kedua alisnya melihat sang adik sudah berdandan rapi dan bersiap pergi."Mau ke mana? Rapi sekali," ucap Harun mendekati Kaira."Bekerja," jawab Kaira singkat."Istirahatlah dua tiga hari sampai kondisimu pulih," ucap Harun memberi saran sambil duduk di atas meja rias menghadap Kaira."Aku baik-baik saja. Tak perlu khawatirkan aku," ucap Kaira sambil menopangkan dagunya pada tangan yang bersandar di meja sambil menatap Harun."Tanganmu masih di perban. Bagaimana kau akan bekerja dengan tangan seperti ini?" ucap Harun kembali sambil memegang kedua tangan Kaira yang terbalut perban."Tapi masih bisa digerakkan, bukan?" bela Kaira yang tidak mau di anggap lemah dengan kondisinya tersebut."Tidak ada tapi. Istirahat di rumah sampai pulih. Jangan masuk kerja sampai aku mengizinkanmu.""Kak, aku--""No debat! Atau aku akan beritahu ayah untuk memberimu cuti panjang!"Harun mencegah Kaira bekerja karena khawatir dengan kondisi kesehatan wanita itu. Kaira mendengkus kesal, tetapi tidak berani melawan perkataan Harun. Lelaki berkumis tipis tersebut mengacak pelan rambut Kaira."Jadilah adik yang baik," ucap Harun sambil melangkah keluar kamar.~~~~~~Dua hari berlalu, kondisi Kaira sudah mulai membaik. Harun pun sudah mengizinkannya kembali bekerja, meski kedua tangan Kaira masih terbalut perban. Jika bukan karena rengekan wanita itu yang memaksa Harun mengizinkannya bekerja, pasti kaira masih berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa pun yang membuat jenuh."Apa obatmu sudah di minum?" tanya Harun di ruangannya. Kaira mengangguk tanpa kata."Apa tanganmu merasa membaik?" tanya pria itu kembali. Masih anggukkan yang Kaira berikan sebagai jawaban.Harun menghela napas dalam. "JIka tidak bersemangat, pulanglah. Istirahatkan tubuhmu," ucap Harun yang mulai kesal dengan jawaban Kaira."Aku mau kembali bekerja dulu," ucap Kaira berjalan malas keluar ruangan. Harun menautkan alisnya dan menggelengkan kepala melihat kelakuan sang adik.'Aku harus kuat. Sebisa mungkin aku harus bisa menggerakkan kedua tanganku dengan baik. Semangat Kaira,' batin wanita itu saat hendak memasuki tempat kerjanya."Bagaimana situasi di sini?" tanya Kiara menghampiri seorang gadis yang tengah membawa kertas di tangannya."Semua baik. Tidak ada yang mengkhawatirkan. Aman terkendali," ucap gadis itu sambil senyum."Syukurlah," ucap Kaira merasa lega."Tolong! Bantu kami!" teriak seseorang dari depan ruangan tiba-tiba. Menghentikan pembicara Kaira dengan gadis itu.Karin dan Tasya tampak mondar-mandir di sebuah apartemen sederhana di kota J. Mereka terlihat kesal dan gelisah. Kedua tangannya mengepal menahan amarah."Aduh, bagaimana ini? Tante Kanza sudah hampir tiga bulan tidak mengirimkan uang. Kabar pun tidak ada. Aku coba menghubungi pun tidak bisa," ocah Karin kesal."Aku juga tidak tahu. Persediaan makanan menipis. Uang juga tinggal sedikit, tidak akan cukup sampai akhir bulan ini," lanjut Tasya yang juga kesal."Kita harus cari cara supaya bisa keluar dari sini, tidak bisa terus menerus di tempat ini. Jika tidak, kita bisa mati kelaparan," ucp Karin."Tapi bagaimana? Kita tidak punya cukup uang untuk pergi dari sini. Tante Kanza sudah dua bulan tidak ada kabar," jelas Tasya."Kau kenapa tidak meminta bantuan orang tuamu? Mereka kaya raya, pasti bisa mengirimkan uang untuk kita," saran Karin."Kau pikir semudah itu? Kalau mereka mendukungku sejak awal, kita tidak akan kesusahan seperti ini," kesal Tasya."Ini semua gara-gara Kaira. Jika an
Kaira menghela napas kasar. "Iya, Kak. Makanya aku kesal sekali. Aku merasa tidak nyaman dan bebas. Sudah seperti tawanan saja," kesalnya sambil bersedakep dan memonyongkan sedikit bibirnya."Aku rasa itu bagus. Kaivan ingin melindungimu dan Kiara. Dia terlalu khawatir dengan kalian. Oleh karena itu lah, Kaivan melakukan ini semua," jelas Harun dengan wajah serius."Iya, sih, tapi kan aku jadi merasa tidak bebas.""Itu karena kau belum terbiasa. Nanti kau akan terbiasa.""Kau mendukungnya?""Jika itu demi kebaikan dan keselamatanmu dan Kiara, kenapa tidak.""Menyebalkan.""Hei! Kau mau ke mana?"Kaira melenggang pergi dengan kesal. Pasalnya, Harun mendukung Kaivan, hal itu membuat Kaira sia-sia berbicara dengan pemuda itu. Harun mengikuti langkah Kaira keluar ruangan.~~~Kaira keluar dari lobi rumah sakit, ia sudah disambut dengan anak buah Kaivan yang sudah berdiri menunggunya."Selamat sore, Nyonya," ucap salah seorang anak buah Kaivan."Sore. Kalian ....""Kami diperintahkan Tuan
Kaivan duduk melamun di kursi kebesarannya, Ferdinan masuk setelah ketukan pintu tak dihirukan pemuda itu."Apa yang tengah kau pikirkan? Kenapa murung?" tanya Ferdinan, membuat Kaivan sedikit melonjak."Kau ini, kenapa mengejutkanku? Kenapa tidak ketuk pintu dahulu" tanya Kaivan kesal."Aku sudah mengetuk pintu tapi kau tidak mendengarnya. Jadi, aku masuk saja takut kau kenapa-napa," jelas Ferdinan.Kaivan menghela napas sedikit kasar dan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut."Papi mengurung mami di kamar hukuman karena ketahuan selama ini, mami yang membantu Tasya dan Karin memberi suntikan dan untuk mereka bisa bertahan hidup," jelas Kaivan kesal."Apa? Pantas saja Karin dan Tasya dengan mudah bisa berpindah-pindah tempat tinggal, ternyata tante Kanza yang membantunya," ucap Ferdinan terkejut."Itulah, Aku benar-benar bodoh, ternyata ada musuh lain di dalam rumahku, dia adalah mami," ucap kaivan datar."Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ferdinan penasaran."Aku akan menca
"Ka--kau ini bicara apa, sih, Kai," ucap Kanza dengan gugup."Kalau Mami tidak menjualnya, biarkan aku memilihkannya untuk Mami," ucap Kaivan sambil melangkah menuju kamar Kanza."Kaivan!""Ini ada apa, sih? Kenapa ribut sekali, sampai tidak mendengar suaraku," ucap Karan saat tiba di rumah."Papi.""Ini loh, Pi Kaivan. Dia ....""Kaivan hanya ingin membantu Mami mencari gaun, tas, sepatu, dan perhiasan yang cocok untuk acara besok. Beberapa hari lalu aku sudah belikan semua untuk Mami, tapi Mami malah larang," jelas Kaivan menyindir Kanza."Bu--bukan begitu, Pi. Mami mau cari sendiri, tapi anak kesayanganmu ini malah maksa mau cari," alasan Kanza, berharap dapat pembelaan dari suaminya."Aku hanya ingin membantunya saja. Apa salah jika aku ingin melakukannya sendiri? Siapa tahu ada yang tidak cocok," alasan Kaivan dengan sengaja."Bukan begitu, Pi. Mami ....""Sudahlah, Mi. Biarkan Kaivan melakukannya. Memang kenapa, sih kalau anaknya mau bantu?" ucap Karan mencoba menengahi."Kaivan
"Ini banyak sekali. Kenapa kau hamburkan uang begitu banyak untuk membeli semua ini? Nanti uangmu habis bagaimana?" protes Kaira yang terkejut dengan hadiah mahal dari suami tersayangnya itu."Ini tidak seberapa, aku akan belikan seluruh isi mal untukmu. Dunia pun akan aku berikan untukmu," jelas Kaivan sambil menatap Kaira lembut."Tidak usah menggombal. Apa mamimu datang menemuimu dan menguras uangmu? Kau merasa bersalah denganku dan menebusnya dengan membeli hadiah sebanyak ini?" curiga Kaira."Kau ....""Kenapa? Ingin memarahiku di depan Kiara?" tanya Kaira sambil mendelik."Aku baru pulang kau malah marah dan mencurigaiku. Kau keterlaluan," ucap Kaivan sedikit merajuk.Kaira tersenyum, tidak tahan melihat ekspersi menggemaskan Kaivan."Ekspresi apa itu? Jangan merajuk, aku hanya menggodamu," ucap Kaira sambil tersenyum."Kau! Beraninya menggodaku! Tidak tajut aku hukum?" protes Kaivan."Sudahlah, jangan merajuk. Aku sudah buatkan kukis kesukaanmu. Kau pergilah mandi, aku akan sia
"Mi, sebaiknya Mami pulang saja. Aku masih banyak pekerjaan. Tolong jangan memaksaku," ucap Kaivan setenang mungkin meski hatinya kesal dengan sikap maminya yang selalu membantu Karin dan Tasya.Meski Kanza tidak mengetahui jika Kaivan sudah mengetahui semua perlakuan maminya. Namun, Kaivan harus tetap berhati-hati agar Kanza tidak curiga padanya."Mami tidak mau pulang! Kai, kau harus kasih Mami uang. Bantu Mami, Kai," tolak Kanza yang mendesak Kaivan meminta uang."Mi, aku sudah bilang, bukan? Aku tidak ada uang. Keuangan perusahaan sedang goyah. Lagi pun, aku sudah memberikan uang banyak kepada Mami dua minggu lalu," jelas Kaivan yang masih tenang menghadapi maminya."Tiga ratus juta mana cukup, Kai? Kebutuhan Mami banyak. Beli make up, skin care, perawatan, belum lagi buat arisan dengan teman-teman Mami dan beli kebutuhan Mami yang lain," protes Kanza dengan sedikit kesal."Mi, itu banyak. Baru dua minggu loh. Bahkan Mami masih bisa menabung. Belum lagi dari Papi. Jika di total sa