Seorang wanita tua duduk di kursi roda sambil menatap ke arah jendela kamarnya. Memandangi langit cerah di pagi hari. Wajahnya tampak terlihat begitu sedih. Perempuan muda bersama lelaki setengah baya datang menghampirinya.
Netra mereka menatap dalam ke arah wanita tua tersebut. M elangkah pelan mendekati sang wanita yang tengah menatap langit itu.Perempuan muda itu berjongkok di samping wanita tua di sebelahnya. Menggenggam tangan yang sudah mulai keriput karena termakan usia tersebut."Ma, kenapa melamun di kamar? Mama juga belum sarapan, bukan?" tanya perempuan muda bernama Karin tersebut.Kayana, nama wanita tua itu. Menoleh ke arah Karin dan menatapnya datar. Kedua matanya berkaca menahan tangis. Kayana menghela napas dalam."Apa kau sudah menemukannya?" tanya wanita tua itu lirih.Karin menggeleng. "Belum, Ma. Aku, Kak Kevin, dan Mas Erlan sudah berusaha mencarinya. Namun, kami belum berhasil menemukannya. Papa juga sudah berusaha mencari. Akan tetapi, hasilnya masih nihil," jelas Karin dengan wajah sedikit kesal."Delapan tahun sudah. Kalian belum berhasil menemukannya? Apa kota ini begitu besar hingga sulit untuk menemukan dia?" ucap Kayana kecewa."Ma, mungkin dia tidak tinggal di kota ini. Bisa jadi di tempat lain. Atau mungkin, ke luar negeri," ucap Karin dengan santai."Tempat lain? Luar negeri? Apa mungkin. Dia pergi tanpa membawa banyak uang. Jangankan untuk ke tempat lain, bahkan untuk kebutuhan sehari-harinya pun tidak akan cukup."Tapi kami sudah mencarinya. Dan hasilnya, kami sama sekali tidak menemukan jejaknya. Apa mungkin dia--""Jangan berasumsi sebelum tahu kebenarannya. Kau jangan bicara yang membuat Mama semakin sedih, Karin," ucap Kevin, menyela kalimat Karin dan mendekati sang mama."Seharusnya kita tidak mengusir dan membuat dia pergi dari rumah ini. Bagaimana dia menjalani hari-harinya? Mengurus kandungannya? Apa benar kalau dia sudah--""Ma, jangan terlalu berpikir keras. Kevin akan cari dia sampai ketemu," ucap Kevin yang kali ini menyela kalimat mamanya. Pria itu tidak ingin jika sang mama bertambah sedih.Sejak kepergian anak bungsunya delapan tahun lalu, Kayana sering sakit-sakitan, bahkan kini ia harus menghabiskan waktu duduk di kursi roda. Sementara suaminya, juga sering mengalami gangguan pada lambung dan jantungnya.Kedua orang tua itu terus memikirkan sang anak. Mereka menyesal telah bertindak mengikuti emosi yang membuat si bungsu pergi meninggalkan rumah dengan terpaksa.Karin semakin membenci adiknya, sebab ia harus repot mengurus kedua orang tua yang sakit-sakitan karena terus memikirkan adik bungsunya tersebut. Kevin yang selalu menjadi penengah. Pria itu menyayangi orang tua dan adik-adiknya.Karin keluar begitu saja dari kamar Kayana dengan kesal. Wanita itu sudah muak dengan sikap mamanya yang selalu memikirkan adik bungsu yang diusirnya delapan tahun lalu.Karin membuka dan menutup kasar pintu kamar. Membuat Erlan, sang suami yang tengah bersiap untuk berangkat ke kantor terperanjat. Pria tinggi berkulit sawo matang dengan sedikit jambang di kanan kiri wajahnya itu mendekati Karin yang sudah menjatuhkan bagian bawah tubuhnya ke ranjang."Ada apa? Kenapa kau begitu kesal sekali?" tanya Erlan sambil duduk di sampingnya."Aku kesal dengan mama. Kenapa selalu saja memikirkan anak pembawa sial itu terus? Padahal anak itu saja tidak ingat pada keluarga dan datang ke sini," omel Karin sambil melipat kedua tangannya di perut."Bukan kau sendiri yang mengusir dan mengancamnya agar tidak kembali lagi ke rumah ini?" tanya Erlan mencoba mengingatkan Karin dengan kejadian delapan tahun silam."Aku pikir, setelah mengusir anak pembawa sial itu hati mama jadi membaik dan tidak sakit-sakitan. Namun kenyataannya, mama terus memikirkan anak sialan itu. Papa juga, sakit karena terus teringat anak tidak tahu diri itu," omel Karin semakin menjadi memakai adik bungsunya."Kita sudah berusaha mencarinya. Namun, belum menemukan dia sama sekali. Apa dia di telan bumi sampai tak terlihat, bahkan jejaknya pun tak ada?""Apa dia mati?""Kalau dia mati pasti ada jasadnya. Tapi, ini tidak.""Ya sudah. Jangan terlalu memikirkan hal itu. Pikirkan soal progam kehamilanmu. Kapan kau akan melakukan pemeriksaan lanjutan?" tanya Erlan, mengubah topik agar Karin tak semakin kesal."Lusa kita ke rumah sakit. Kau tidak sibuk dan bisa mengantarku, bukan?" ucap Karin sambil menghela napas."Emm, aku akan mengantarmu besok. Aku berangkat kerja dulu," ucap Erlan sambil mengecup kening Karin.***Dua hari kemudian, tampak kondisi Kaivan sudah semakin membaik. Meski belum bisa menggerakkan tangan dan kaki kirinya. Namun, setidaknya ia sudah bisa duduk serta di pindahkan ke ruang perawatan. Ferdinan menunggu dengan setia sahabat tercintanya tersebut.Kaivan tampak melirik ke arah sekitar. Ferdinan yang sejak tadi memperhatikan, menaruh curiga pada Kaivan yang terlihat gelisah."Ada apa? Apa yang kau cari?" tanya Ferdinan dengan curiga."Emm, aku tidak melihat dokter cantik itu datang," jelas Kaivan sambil terus mengedarkan pandangan."Maksudmu ....""Dokter Kaira," sela Kaivan sambil terus mencari.Aktivitasnya terhenti saat ada suara pintu di ketuk. Kaivan senang, sebab merasa itu adalah Kaira. Namun, ketika pintu terbuka dan dua orang masuk menghampirinya, ia kecewa sebab ternyata Dokter Harun dan Perawat Nuning yang datang."Pagi, Tuan Kaivan," sapa Dokter Harun sambil tersenyum."Pa--pagi, Dok," ucap Kaivan datar."Bagaimana kondisi Anda hari ini? Apa ada keluhan?" tanya dokter muda itu sambil memeriksa Kaivan."Sedikit nyeri pada tangan dan kaki. Kepala saya juga terkadang nyeri saat berdenyut," jelas Kaivan menceritakan apa yang ia rasakan pasca operasi empat hari yang lalu."Tidak apa, itu efek dari luka Anda. Obatnya di minum secara teratur, ya. Supaya Anda tidak merasakan nyeri lagi," ucap Harun sambil melingkarkan stetoskop di lehernya."Iya, Dok. Emm, omong-omong, Dokter Kiara ke mana, ya? Saya tidak melihatnya beberapa hari ini," ucap Kaivan sambil menanyakan prihal Kaira."Dokter Kaira sedang sibuk operasi. Ada beberapa pasien yang membutuhkan pertolongannya. Selain itu, ia juga sedang mengajar training di sebuah universitas," jelas Harun dengan lembut, tanpa menaruh curiga sedikit pun."Oh."Kaivan menjawab singkat sambil membulatkan mulutnya. Ada rasa khawatir dan kecewa karena tidak adanya dokter cantik tersebut."Kondisi Anda sudah mulai membaik. Tiga sampai empat hari lagi, Anda sudah bisa mengenakan kursi roda untuk melakukan aktivitas," jelas Harun dengan wajah serius."Sampai kapan saya harus duduk di kursi roda?" tanya Kaivan yang mulai mengkhawatirkan dirinya tidak bisa berjalan seperti semula kembali."Sampai luka bekas operasinya mengering dan tertutup sempurna. Anda juga harus menjalankan terapi untuk pemulihan.""Apa saya bisa berjalan dan beraktivitas normal kembali nantinya?""Tentu saja.""Berapa lama?""Tergantung dari seberapa cepat tubuh Anda pulih."Dokter Harun menjelaskan semua kondisi Kaivan. Pemuda tampan bermata elang itu tampak pesimis dengan kesembuhannya. Namun, Harun selalu memberikan semangat untuk dirinya agar bisa pulih kembali.Dokter Harun meninggalkan ruangan usai melakukan pemeriksaan medis kepada Kaivan. Pria berhidung mancung dengan lesung di kedua pipinya itu yang tampak saat ia tersenyum tampak melamun memikirkan nasibnya.Kaira memberondong Kaivan dengan pertanyaan-pertanyaan. Rasa Khawatir menjalar ke diri wanita itu. Kaira memegang kening suaminya dan menatap wajah tampannya yang sedikit pucat."Mas, kau ....""Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit lelah karena tadi banyak sekali pekerjaan," jelas Kaivan sambil menggenggam kedua tangan Kaira dan menatapnya dalam."Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Wajahmu sedikit pucat. Bersihkan dirimu aku buatkan obat dan makanan ya."Kaira bernapas lega mendengar suaminya baik-baik saja, meski sedikit khawatir. Kemudian, meminta lembut pada sang suami. Kaira menuntun Kaivan ke kamar, lalu wanita menyiapkan keperluan Kaivan. Lepas itu, Kaira membuatkan obat dan makanan.Usai mandi, Kaivan menghampiri Kaira yang masih sibuk menyiapkan makan dan obat di meja makan. Pemuda itu duduk di kursi sambil memainkan ponselnya, menunggu sang istri selesai.'Maafkan aku, Kaira. Belum bisa menceritakan semua padamu. Aku tidak ingin kau menjadi khawatir memikirkannya. Setel
"Sudah lah Ma, Pa, jangan berlebihan. Aku baik-baik saja. Sudah biasa menghadapi semuanya sendiri. Tidak perlu menkhawatirkan aku," ucap kaira dengan kesal."Kaira, kami ....""Ma, Pa. Sebaiknya kita makan siang dulu. Pasti kalian sduah lapar karena perjalanan jauh, bukan?' potong Kaira yng tidak ingin melanjutkan perdebatannya dengan kedua orang tua Kaira.”Mas, ada apa? Sepertinya kau lelah sekali? Apa ada masalah di kantor?" "Kami tidak lapar," ucap Kamran pelan."Kaira, kami hanya ...."Ayolah, jangan sungkan. Bukankah kalian bilang aku ini anak kalian? Kenapa harus sungakn?" bujuk Kaira lembut.Mereka pun berhenti berdebat dan menerima ajakan Kaira untuk makan siaang bersama, meski Kaira masih merasa sakit hati dengan Kamran dan Kanaya. Namun, bagaimana pun juga mereka tetaplah orang tua kandung Kaira."Bagaimana kondisi Papa pasca operasi beberapa waktu lalu?" tanya Kaira di tengah obrolan makan siangnya.Kamran menghela napas sedikit kasar. Papa baik-baik saja. Bahkan semakin
Kamran dan Kayana berniat untuk mengunjungi Kaira di rumahnya. Kebetulan, Kaira juga sedang libur. Mereka membawa banyak sekali hadiah untuk cucu-cucu keduanya dan makanan, serta minuman. Kaira tengah asik bermain dengan kedua anaknya. Kiandra sudah semakin besar dan pintar. Kini, anak kecil itu sudah bisa berdiri serta melangkah perlahan. Kiara pun sudah semakin tumbuh. Kedua anak Kaira tumbuh dan berkembang dengan baik, meski ia sibuk bekerja. Namun, tetap selalu ada waktu untuk kedua putra serta putrinya. Kaira dan Kaivan jadi lebih waspada dan hati-hati menjaga kedua buah hatinya. Mengingat, kejadian yang pernah dialami Kiara beberapa waktu lalu yang hampir menghilangkan nyawanya membuat trauma dan mereka ekstra hati-hati menjaga kedua buah hati terkasihnya."Assalamualaikum," ucap Kamran dan Kayana sambil mengetuk pintu.Seorang paruh baya berjalan dengan tergopoh menuju gagang pintu dan membukanya perlahan."Waalaikumsalam. Nyonya dan Tuan Besar," ucap Bi Asih dengan sedikit t
Ibu Sumiati dan bapak Suparjo menatap ke arah kaira dengan penasaran. Kaira membalas tatapan mereka dengan lembut. "Apa yang ingin Dokter katakan?" tanya Ibu Sumiati semakin penasaran."Pihak rumah sakit memutuskan untuk mengratiskan semua biaya pengobatan Pak Suparjo dan mengganti seluruh biaya rumah sakit yang sudah Bapak dan Ibu bayarkan, sebagai konpensasi dari pihak rumah sakit. Jadi, uangnya bisa Ibu dan Bapak kembalikan kepada orang itu sehingga kalian tidak terbebani lagi," jelas Kaira panjang lebar."Benarkah?" tanya Pak Suparjo dan Ibu Sumiati masih tidak yakin dan percaya."Iya, ini benar.""Terima ksah, Dok.""Jangan berterima kasih pada saya. Akan tetapi, kepada Allah yang sudah memberikan rezeki Bapak dan Ibu dan pihak rumah sakit menjadi perantaranya."Baik, Dok. Sampaikan terima kasih kami untuk pihak rumah sakit yang sudah memberikan ini kepada kami," ucap Bapak Suparjo dengan haru." Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan. Bapak jangan lupa minum obat dan makan yang te
Kaira dan Kaivan pergi mengunjungi Hanung dan Hani. Mereka sudah lama sekali tidak berkunjung ke ruamh kedua orang tua itu semenjak kaira melahirkan dan mengurus anak juga pekerjaannya. Bahkan, meski satu rumah sakit dengan Hanung pun mereka jarang sekali bertemu karena kesibukan satu sama lainnya.Akhir pekan mereka luangkan untuk menemuinya, selain melepas rindu, Kaira juga ingin mempertemukan putra kecilnya dengan Hanung dan Hani."Bagaimana pekerjaanmu, kaira? Apa masalah pasienmu itu sudah selesai?' tanya Hanung di tengah obrolannya."Pekerjaan-ku baik, Yah. Alhamdulillah pasien sudah sadarkan diri dan di pindahkan ke bangsal. Keluarganya juga sudah bisa menjenguknya. Namun, ada satu pasienku yang kondisi keuangannya sangat kekurangan. Mereka tidak mampu membayar biaya rumah sakit daan operasi. Meski, sudah dibantu dan dibuatkan asuransi. Akan tetapi, sebelum mendapatkan itu, mereka harus meminjam dari tetangga dan kerabat. Aku iba mendengar ceritanya. Beliau juga mempunyai du
Kaivan tampak sedang berbincang dengan Ferdinan di kantornya. Kedua pemuda itu terlihat begitu serius sekali sambil Kaivan mengamati berkas di tangannya."Bagaimana perkembangan Karin dan Tasya? Apa mereka masih terkurung di hutan?" tanya Kaivan sambil terus mentap ke arah berkasnya."Iya, mereka masih di hutan. Kenapa kita tidak langsung menangkapnya saja?" ucap dan tanya Ferdinan penasaran."Biarkan saja dulu seperti itu. Hukuman bagi mereka karena telah menyakiti keluargaku dan berani macam-macam denganku," ucap Kaivan dengan tatapan tajam."Sampai kapan?" tanya Ferdinan kembali semakin penasaran."Kita lihat saja dan ikiti alurnya. Sampai kapan mereka akan bertahan," ucap Kaivan sambil tersenyum licik."Kau memang pandai menyiksa orang, Kai," ucap Ferdinan sambil menggelengkan kepala.~~~Kaira sedang sibuk memeriksa data pasien di ruang IGD. Harun memperhatikan dari ambang pintu sambil melipat kedua tangannya di perut dan menatap ke arah Kaira."Masih sibuk? Apa kau tidak berniat