Share

6. Kisah Masa Lalu

Raut Sagara berubah drastis ketika mendengar pertanyaan sang istri. Dia yang tadinya didera rasa bersalah mendadak dipenuhi amarah. Sagara menatap tajam wanita di depannya sambil menggeram kesal, tetapi mengingat kejadian semalam membuat pria itu langsung pergi ke kamar maninggalkan Sasi.

Sasi yang diperam tanya langsung menyusul dan kembali mengulang pertanyaan. “Siapa laras, Mas? Aku berhak tahu karena … semalam kamu menyebut namanya penuh cinta.”

Perlahan wanita itu menunduk dalam setelah menurunkan nada bicaranya di akhir kelimat. Bulir bening menetes membasahi kedua tanganmya yang saling bertaut. Sagara makin diperam rasa bersalah melihat wanita itu terseduh. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan Sasi, tetapi wanita segera berbalik dan berlalu meninggalkan kamar.

Sebuah nama yang mampu meruntuhkan harga diri seorang istri. Satu nama yang tertanam kuat di hati dan pikiran Sagara. Dan satu nama yang secara sadar atau tidak dia ucapkan dengan penuh cinta. Sasi tak sanggup lagi menahan gelebah yang selama ini dia pendam. Dua kali nama Laras disebut sudah cukup baginya untuk tahu bahwa di hati Sagara hanya ada satu cinta atas namanya.

“Kalau kamu mencintai Laras kenapa kamu mau menerima permintaan Papa, Mas. Kenapa?”

Sasi benar-benar rapuh saat ini. Dia butuh sandaran untuk terus berdiri tegak menantang kerasnya ombak yang menerjang kehidupan rumah tangganya. Baru hitungan hari dia menjadi istri Sagara, tetapi cobaan itu langsung menerpa kencang. Wanita itu menoleh ketika mendengar langkah mendekat dan segera berdiri begitu melihat sang suami berjalan keluar rumah.

“Mau ke mana, Mas? Ini sudah larut malam.”

Sagara tak menggubris pertanyaan Sasi dan langung berjalan cepat meninggalkan rumah. Kali ini Sasi tak ingin diam begitu saja, dia menyusul sambil memanggil sang suami. Namun, usahanya sia-sia ketika Sagara memilih masuk mobil dan melajukannya kencang meninggalkan halaman.

Prawira yang melihat hal itu hanya menatap sendu dari balik jendela. Dia pun mendekati Sasi dan menepuk bahunya pelan.

“Maafkan Saga, ya Sasi.”

Sasi mengangguk lemah lalu menatap lekat sang mertua. Melihat ada sesuatu yang ingin disampaikan sang menantu membuat Prawira mengajaknya duduk di ruang tamu.

“Ada yang ingin kamu sampaikan, Sasi?”

Wanita itu mengangguk lemah lalu menunduk sambil meremas jemarinya kuat. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum memberanikan diri untuk menatap Prawira.

“Dari kemarin Sasi bingung harus bertanya ke siapa, Pa. Ini tentang Laras, wanita yang selalu disebut Mas Saga.”

Prawira menggeram kesal lalu memukul sandaran kursi untuk meluapkan kekesalannya. Helaan napas panjang keluar dari mulut pria paruh baya itu. Bahkan dia meraup wajah kasar saking frustasinya.

“Ternyata Saga belum bisa melupakan dia. Dasar anak tak tahu diri!”

Sasi tegemap melihat sikap Prawira yang begitu kesal ketika dia menanyakan masalah Laras. Namun, wanita itu ragu untuk menanyakan alasannya. Dia takut Prawira akan makin kesal dan marah.

“Sasi pulang aja, Pa. Papa istirahat sekarang, ya?”

Wanita itu bangkit dan hendak berlalu, tetapi Prawira mencegahnya. “Duduk dulu, Sasi. Ada sesuatu yang mau Papa sampaikan.”

Sasi kembali duduk lalu menatap Prawira. Pria itu berdeham sebelum kembali berkata. “Laras adalah pacar pertama Saga sewaktu kuliah dulu. Mereka sudah berpacaran selama lima tahun. Tiba-tiba gadis itu pergi tanpa pamit kepada Saga. Segala upaya sudah dilakukan Saga untuk mencarinya, tapi semua sia-sia. Papa hanya enggak mau Saga terlalu larut oleh perasaan kecewa sampai lupa bagaimana bahagia. Dia berubah sikap seperti sekarang ini.”

Prawira menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan sebelum kembali bercerita. “Dulu Saga adalah anak yang periang dan suka tertawa, tapi sejak kepergian Laras dia jadi dingin kepada wanita. Papa takut, Sasi. Papa takut dia terlalu terjebak oleh masa lalu.”

Wanita itu tergemap mendengar ucapan Prawira. Ternyata sebegitu besar cinta sang suami untuk Laras sampai tak bisa melupakannya. Sasi tahu Laras adalah wanita yang spesial bagi Sagara, tetapi apakah tindakan pria itu kepadanya juga harus dibetulkan.

“Papa tahu kamu pasti kecewa dan marah sama Papa, tapi percayalah Papa lakukan ini karena tahu kamu adalah orang yang akan mengubah kembali Saga seperti dulu.”

“Sasi takut enggak akan kuat, Pa. Sudah dua kali Mas Saga sebut nama Laras di depan Sasi.”

“Maafkan Saga, Sasi. Tolong beri dia waktu agar dapat membuka hatinya untukmu. Bantu dia untuk melupakan Laras. Bantu dia untuk bahagia dan tersenyum lagi. Papa mohon, Sasi. Papa mohon,” ucap Prawira sambil menitikkan air mata.

Hati wanita itu sakit melihat pria yang sangat baik itu menangis karena kelakuan anaknya. Melihat hal itu membuat Sasi akhirnya mengangguk lemah.

“Bismillah, Sasi akan bantu Papa untuk mengubah Mas Saga.”

“Makasih, Sasi. Makasih banyak atas semua kebaikanmu.”

Prawira menyusut air matanya lalu tersenyum. Dia tahu Sasi akan kuat menghadapi ujian ini karena sedikit banyak pria itu sudah mendengar kepribadian sang menantu dari Darma sendiri.

“Pulang dan istirahatlah. Saga pasti nanti pulang.”

“Iya, Pa.”

Sasi mencium takzim punggung tangan Prawira lalu beranjak pulang. Di rumah, dia melarikan kelesah hatinya lewat sujud panjang dan rapalan doa tak berkesudahan. Hatinya menjerit mengadukan semua permasalahan hidupnya kepada Sang Pencipta. Dia basahi mukena dan sajadahnya dengan air mata sambil menyebut sama Sagara. Sasi ingin Allah membalikkan hati sang suami agar menerimanya. Usai lelah merayu Sang Khalik membuat Sasi akhirnya tertidur sambil meringkuk di sajadah dengan masih menggunakan mukena.

Azan Subuh berkumandang berhasil membuat Sasi tergagap bangun. Dia langsung mengintip ranjang lalu berjalan ke ruang tamu dan melihat sofa. Namun, sang suami tampaknya tidak pulang malam ini. Dia pun melaksanakan salat dua rakaat sebelum pergi ke rumah utama dan membantu Bi Minah memasak seperti biasa. Tepat saat itulah Saga datang dengan wajah kusut dan sedikit pucat.

“Mas dari mana? Mas sakit, ya? Kok, pucat?” tanya Sasi sambil mengulurkan tangan ingin menyentuh dahi pria itu, tetapi ditepis kasar.

Sagara berlalu ke kamar dan segera merebahkan diri. Tak ingin mengganggu pria itu, Sasi pergi dengan perlahan. Usai memasak dia kembali untuk membangunkan sang suami. Sambil menahan rasa takut, Sasi mulai mengguncang pelan lengan pria itu.

“Mas, bangun. Udah siang, mau kerja apa enggak?”

Tak ada respon membuat Sasi kembali mengguncang lengan sang suami dan menaikkan nada bicaranya.

“Bangun, Mas, udah siang. Nanti telat ke kantornya.”

Sagara langsung membuka mata dan beringsut duduk. Matanya merah menahan kantuk sambil menatap Sasi yang ketakutan dan mundur ke sudut kamar. Pria itu akhirnya beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Sasi kembali menyiapkan baju untuk dipakai Sagara kerja. Usai mandi dan berpakaian, pria itu keluar kamar mencari keberadaan Sasi yang ternyata sedang memasukkan baju kotor ke mesin cuci. Pria itu menatap lekat Sasi yang masih sibuk mengutak-atik tombol di mesin cuci.

“Astaghfirullah!” seru Sasi ketika mendapati Sagara masih menatapnya lekat. “A-ada apa, Mas? Mau dibuatkan kopi?”

Pria itu menggeleng sambil terus menatap Sasi. Merasa ditatap begitu membuat wanita itu jengah lalu menunduk. “Ada yang salah denganku, ya?”

Sagara hanya menyeringai lalu beranjak ke ruang tamu sambil berkata tanpa menoleh ke arah Sasi.

“Ganti baju, aku tunggu di depan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status