Share

7. Kenalan Baru

Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.

“Buruan!”

Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.

“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.

“Kampus.”

Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara.

"Semoga ini awal yang baik untuk hubungan mereka kelak. Jujur aku masih merasa bersalah sudah membawa Sasi dalam kehidupan Saga yang penuh luka." Prawira berkata dalam hati sambil menatap anak dan menantunya.

Sasi mengangsurkan piring kepada Prawira lalu duduk dan mengambil lauk lalu makan dalam diam. Lima belas menit berlalu, Sagara menyudahi makan dan segera berjalan menuju mobil. Sasi yang masih meneguk minum langsung pamit dan mencium takzim punggung tangan mertuanya.

“Sasi berangkat dulu, Pa. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Hati-hati, Nak.”

Wanita itu mempercepat langkah menuju mobil setelah melihat raut wajah kesal yang ditunjukkan Sagara.

“Maaf, Mas. Aku pamit dulu sama Papa tadi.”

Sagara mendengkus kesal lalu melajukan mobil meninggalkan halaman menuju kampus yang pernah menjadi tempat pria itu menimba ilmu dulu. Sasi tak dapat menutupi rasa terkejutnya begitu menapakkan kaki di kampus. Dia tak menyangka akhirnya bisa juga merasakan bangku kuliah meskipun jalannya harus dengan menikah dulu. Senyumnya terkembang melihat puluhan mahasiswa yang lalu lalang di kampus itu.

Sagara memarkir mobil lalu turun dan segera menemui bagian administasi. Orang suruhannya sudah mengurus pendaftaran Sasi kemarin sehingga hari ini wanita itu hanya perlu melakukan registrasi ulang. Tak lama kemudian, mereka keluar. Senyum kembali terbit di wajah cantik Sasi sehingga membuat Sagara meliriknya sekilas.

Pria itu kembali ke mobil dan berdiam lama sambil menelepon seseorang. Sasi hanya melihat tanpa ada niatan untuk bertanya.

“Turun!”

“Tapi, Mas ….”

“Tunggu Pak Karsa datang, aku mau ke kantor.”

“I-iya.”

Sasi mengulurkan tangan ingin mencium tangan Sagara, tetapi pria itu hanya geming sehingga Sasi gegas turun sebelum sang suami bertambah kesal. Ketika tengah menunggu Pak Karsa di bawah pohon yang terdapat di tempat parkir, seseorang datang dan menepuk bahu Sasi.

“Astaghfirullah!” pekik wanita itu sambil berbalik. Dia lantas menunduk dan mundur selangkah begitu tahu orang tersebut seorang pria. “Maaf ada apa, ya?”

“Sorry, minggir sebentar bisa? Mobil gue mau keluar soalnya.”

Sasi melirik mobil yang ada di samping pria itu lalu kembali menunduk. “Maaf.”

Pria itu tersenyum lalu mengangguk, tetapi sebelum beranjak dia kembali mendekati wanita itu. Melihat hal itu Sasi tergemap lalu mundur lagi selangkah.

“Sorry, gue cuma mau kenalan. Lo kayaknya anak baru, ya?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangan. “Kenalin gue Arbani. Lo bisa panggil gue Bani.”

Tangan Bani masih menggantung di udara karena Sasi masih menundukkan pandangan. Akhirnya dengan perlahan wanita itu menangkupkan kedua tangan di dada.

“Maaf nama saya Sasi.”

Bani spontan tergemap melihat wanita di depannya. Dia lantas menarik kembali tangannya lalu mengusap tengkuk. Baru kali ini pria itu menemukan wanita seperti Sasi yang lebih memilih untuk menjaga pandangan daripada menebar senyuman kepada setiap pria.

“Mbak Sasi, maaf saya lama, ya? Kena macet tadi,” ucap Pak Karsa dengan nada khawatir. Pria itu sengaja menyela karena sejak tadi Bani selalu menatap istri majikannya itu tanpa berkedip.

Sasi menoleh lalu mengulas senyuman. “Enggak apa-apa, Pak.”

Bani masih geming ketika Sasi berlalu diikuti Pak Karsa. Pria itu diperam tanya siapa sebenarnya Sasi. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu. Sambil mengulas senyum, Bani masuk ke mobil dan melajukannya menuju kafe. Di sana dia sudah ditunggu oleh Susan.

“Udah lama?” tanya Bani begitu duduk di samping Susan sambil merangkulnya.

Wanita itu mengulas senyum lalu melayangkan sebuah ciuman di pipi kiri Bani. “Kalau nungguin lo juga selama apapun gue rela, Bani.”

Mereka tertawa bersama lalu Bani memesan minuman. Sambil menunggu pesanan datang, Susan tak henti bercerita tentang kegiatannya. Namun, Bani sama sekali tak tertarik. Dia justru lebih memilih memikirkan Sasi yang baru ditemuinya. Wajah putih yang meneduhkan itu berhasil menarik perhatian Bani. Tutur kata Sasi juga makin membuat pria itu mendamba. Namun, yang paling memberikan kesan berbeda adalah sikap wanita itu.

"Akh, kenapa gue jadi kepikiran Sasi, ya? Cewek seanggun dan secantik dia udah jarang ada. Tapi beneran malah bikin penasaran." Bani bermonolog dalam hati sambil menyunggingkan senyum penuh arti.

Merasa diabaikan, Susan langsung mencebik dan memukul lengan pria itu. “Lo dengerin gue ngomong enggak sih?”

“Iya, dengerin kenapa?”

“Kok, lo kayak lagi mikirin sesuatu.”

Bani tersenyum canggung lalu mengusap tengkuknya. Setelah dua bulan mengenal Susan dan beberapa wanita lainnya membuat Bani bosan dengan sikap mereka yang selalu menggelayut manja padanya. Mereka berbeda dengan Sasi yang malah menjauhinya.

“Susan, ada yang mau gue omongin sama lo.”

“Apa, Bani?”

Belum sempat mengungkapkan isi hati, pesanan mereka datang. “Makan dulu, deh. Nanti aja ngomongnya.”

Susan tersenyum lalu melahap makanan di depannya sambil terus bercerita. Bani hanya menimpali sekadarnya tanpa ada niatan untuk mendengarkan. Usai makan, Bani berdeham lalu meneguk minuman untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Susan mengulum senyum melihat sikap pria di sampingnya itu.

“Susan, gue mau kita … putus.”

Senyum di wajah wanita itu perlahan lesap berganti dengan mendung yang menggelayut di pelupuk mata. “Tapi kenapa, Bani?”

“Gue … gue pengen fokus aja ke kuliah. Materi semester ini lebih susah, terus mau ada magang juga. Jadi gue mau kita putus.”

“Lo tega, ya! Enggak ada hujan, enggak ada angin lo main putusin gue gitu aja. Lo kira gue apaan!” seru Susan sambil bangkit dan berlalu meninggalkan Bani.

Melihat hal itu, Bani malah tersenyum puas dan kembali meneguk minumannya sampai tandas. Dia merasa lega karena drama putus kali ini tanpa ada tamparan mendarat di pipinya. Namun, ternyata perkiraannya salah karena Susan kembali sambil memendam amarah lalu melayangkan tamparan di pipi kanan pria itu.

Plak!

“Sekarang gue rela putus sama lo.”

Bani mengusap pipi kiri yang terasa panas sambil menyeringai. Namun, dia lega karena mulai sekarang bisa mengejar Sasi sepuasnya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju kasir sambil memainkan kunci mobilnya tanpa menyadari ada seseorang yang berjalan menuju ke arahnya. Sekelip mata mereka bertabrakan dan membuat keduanya terhuyung bersamaan. Bani gegas mendekat.

“Maaf, Pak,” ucap pria itu, tetapi orang itu malah malah mendengkus kesal dengan tangan terkepal siap untuk menyerang.

Beruntungnya ada seseorang yang mendekati orang itu dan berhasil membuatnya mengalihkan amarahnya.

“Pak Aji sudah menunggu di dalam, silakan ikut saya, Pak Saga.”

Orang itu menjauh diikuti tatapan tajam Bani yang terus memaku pandangan sampai orang itu menghilang di balik pintu VVIP.

“Pak Saga? Kayak pernah dengar, tapi di mana, ya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status