Share

Cinta Suami yang Dingin
Cinta Suami yang Dingin
Author: FDL22

Bab 1 Pernikahan

Menikah.

Satu kata yang bagiku penuh makna dan nilai. Sebuah pernikahan adalah ikatan yang sakral antara seorang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai. Sebuah jalinan benang kuat yang akan menuntun pada sebuah kebahagiaan. Menurut ku itulah makna dari sebuah pernikahan.

Aku adalah seorang perempuan yang telah menikah. Dia melamar ku dengan penuh keseriusan tanpa banyak basa-basi lagi. Kami menikah tepat di hari ulang tahun ku yang ke 18. Jangan tanya apakah aku syok, tentu saja aku syok sekali. Aku menikahi pria yang usianya dua kali lipat dariku. Dia seorang laki-laki dewasa yang masih lajang dan terlihat bijaksana.

Aku dan dia dipertemukan Tuhan dengan cara yang mengejutkan. Dia adalah seorang narasumber di seminar yang pernah aku hadiri bersama orang tuaku dan akhirnya terpikat denganku. Itu terjadi begitu cepat hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah saat aku berulangtahun. Sebuah kenangan yang tidak terduga.

Namun, ada satu hal yang masih mengganjal. Suamiku jarang berucap mesra bahkan tidak pernah sekali pun dia mengatakan dia mencintaiku. Meski begitu, suamiku sangat bertanggung jawab. Dia memenuhi semua kebutuhan ku dan jarang sekali mengingkari janji yang dia buat padaku. Sikapnya terkesan dingin dan jarang sekali tersenyum. Hanya pada momen-momen tertentu saja aku bisa melihat senyum di wajahnya.

"Jovita?"

Aku tersentak begitu mendengar suara serak di belakang ku. Segera aku menoleh, menatap suamiku yang berdiri bingung sambil memegangi cangkir kopi nya.

"Kenapa, mas?"

"Nggak, kamu melamun. Rama tadi bangun, tapi saya tinggal di boks bayi. Kamu liatin dulu dia ya?" jelasnya. Aku lekas mengangguk kemudian meninggalkannya di ruang makan untuk menjenguk bayi kecil ku di kamar.

Ramaa dalah anak pertama kami, dia baru berusia sepuluh bulan. Kata orang, usia segini masih lucu-lucunya. Putraku memang menggemaskan, ibu angkat ku sering berkata kalau Rama sangat mirip denganku daripada suamiku, Mas Endrick.

"Anak mama pasti laper kan ya? Kita mamam yuk?" ajak ku seraya menggendong tubuh gemuk Rama yang wangi khas bayi.

Wajah Rama tampak berseri-seri, suaranya yang lucu memenuhi seisi kamar. Aku sampai tidak tahan untuk tidak mencium pipi montoknya.

Kubawa Rama ke ruang makan, di situ Mas Endrick duduk sendirian di kursi makan sembari memakan sarapan yang sudah aku siapkan di atas meja. Begitu melihat ku, tatapan Mas Endrick langsung tertuju kepada Rama. Bibirnya sedikit melengkung dan aku sungguh terpana oleh senyumannya. Sudah kubilang, hanya di momen-momen tertentu aku bisa melihat senyum tampan suamiku ini. Dia terlalu pelit untuk mengumbar senyum bahkan kepada istrinya sendiri. Sampai hari ini pun aku masih meraba-raba perasaannya terhadapku. Entah apa dia ini sebenarnya mencintaiku atau tidak?

"Rasanya berat ninggalin Rama dua hari ini, tapi saya harus kerja," keluhnya. Ya Tuhan, aku pikir dia merasa berat hati meninggalkan aku. Rupanya hanya untuk anaknya saja.

"Sebentar kok itu, mas. Kan bisa teleponan juga," balasku tapi dia tidak menanggapi apapun. Jika sedang seperti ini, aku merasa jauh darinya. Walau dia tepat di depanku, rasanya Mas Endrick seperti berada di kutub-- sangat jauh dan dingin sekali. Hanya jika sedang bercinta, aku bisa melihat sisi lain dari suamiku. Dia bisa berubah menjadi lelaki yang panas, buas, dan cerewet sekali. Mulutnya tidak bisa berhenti berkata-kata entah memuji atau menggeram.

Aku menyuapi Rama makan dan sesekali melayani suamiku yang ingin diambilkan air putih atau lainnya. Beginilah keseharian ku, mengurus suami dan anak. Mas Endrick memang tidak membatasi aktivitas ku di luar rumah, tapi tetap saja aku merasa bosan sekali. Entah apa yang harus aku lakukan dengan uang di rekening yang tersimpan banyak.

Mas Hendrick adalah seorang dosen di salah satu Universitas besar di Jakarta. Tidak jarang aku mendapati mahasiswa yang berada di bawah bimbingan suamiku, bertamu ke rumah untuk meminta hal-hal yang berhubungan dengan akademik. Aku lihat dia sangat serius dengan pekerjaannya sehingga cukup disegani. Wajar saja, tampangnya saja sangat bijaksana dan tidak pernah bermain-main. Mungkin banyak mahasiswa nya yang menganggap kalau Mas Endrick adalah salah satu dosen killer.

"Barang-barang saya sudah siap, vita?"

"Udah kok, mas. vita masukin baju tidur sama kemeja yang mas minta. Kan cuma dua harian, jadi bajunya gak banyak," jelasku. Dia mengangguk-angguk mengerti, aku sudah paham dengan cara dia berkomunikasi. Jika sudah sesuai dengan keinginannya, maka obrolan selesai.

Selepas sarapan, aku pun mengantar Mas Endrick ke teras sambil tetap menggendong Rama. Lihat wajah sedih yang dibuat Mas Endrick untuk putra kami, aku jarang sekali diberikan ekspresi seperti itu. Yang aku tahu hanya wajah bergairahnya tadi malam. Astaga, apa yang ku pikirkan?

"Papa berangkat kerja dulu ya, nak? Kamu baik-baik di rumah, nanti papa telepon terus," pamitnya kepada Rama. Mas Endrick menciumi kedua pipi Rama sebelum mata setajam silet itu memandang ku.

"Saya berangkat dulu. Kalo ada apa-apa sama Rama , segera telepon saya."

"Iya, mas." Aku segera meraih pergelangan tangannya lalu mengecup punggung tangannya. Walaupun Mas Endrick tidak pernah bersikap romantis, aku tetap akan berusaha dekat dengannya. Aku mencintai suamiku, aku ingin dia juga memiliki rasa yang sama.

Ku pandangi mobilnya yang hilang di tikungan lalu segera aku mengunci pagar dan menutup pintu rumah. Sekarang aku harus mengurus Rama dan membereskan rumah. Jika ada waktu, biasanya aku mengunjungi rumah orang tua angkat ku. Biasa, hanya mereka yang aku punya sedangkan hubungan ku dengan mertua sedikit tidak akrab. Maksudku, sikap ibu mertuaku sama persis seperti suamiku. Sangat dingin dan jarang berekspresi. Aku jadi takut jika membuat kesalahan dan berujung dia memelototi ku.

"Kamu nenen di sebelah kiri aja ya, nak? Soalnya yang satunya ngilu," sesalku. Jujur, ini semua gara-gara Mas Endrick yang kadang suka lepas kendali.

Hanya Rama temanku di rumah. Bersama dia, aku menjadi merasa sangat dekat dengan Mas Endrick karena Rama adalah anak kami berdua. Terkadang aku iri sekali, Rama mendapatkan semua perhatian Mas Hendrick sedangkan aku sebagai istrinya sendiri jarang dia tanyai. Aku masih tidak mengerti, dulu dia mengajakku menikah dengan alasan dia tertarik kepadaku dan ingin serius. Memang, dia sangat bertanggung jawab tapi aku butuh penjelasan darinya. Hah, membicarakan suamiku sungguh tidak ada ujungnya. Ada saja sikap darinya yang membuat aku penasaran sekali.

...

Dua hari berlalu, di malam itu aku bersiap-siap untuk menyambut suamiku pulang. Beberapa jam sebelumnya dia menelepon dan mengatakan kalau dia sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Aku paham sekali kalau urusan kerja yang padat mungkin membuat dia penat, jadi aku berinisiatif untuk memberinya hiburan.

Oleh karena itu, aku sedikit berdandan malam ini. Aku mencari lingerie hitam yang baru aku beli lalu memakainya setelah selesai mandi. Aku menyisir rambut panjang ku dan menyampirkannya ke pundak kiri sehingga sebagian leherku terekspos. Tidak lupa juga aku memakai wewangian yang disukai Mas Endrick. Dia pernah bilang kalau dia suka parfum yang aku pakai. Walaupun cuma sekali mengatakannya, aku selalu ingat akan hal itu.

Setelah siap, aku pun menunggu di ranjang sambil memainkan ponsel ku. Rama sudah tidur, jadi kesibukan ku sedikit berkurang.

Ku pandangi terus jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Setiap detik membuatku begitu gugup meski kami sudah menikah selama dua tahun ini.

Suara klakson mobil terdengar di telingaku. Aku terperanjat, buru-buru memakai jubah tidurku agar sedikit tertutup lalu segera keluar untuk membukakan pagar dan pintu rumah.

Aku mengumbar senyum kepadanya begitu dia selesai memarkirkan mobil. Kulihat wajahnya sedikit lelah karena menempuh perjalanan menaiki mobil ke luar kota. Mungkin urusan kerjanya berat dan dia langsung pulang tanpa beristirahat. Pastilah dia lelah sekali.

"Gimana sama kerjaannya, mas?" tanyaku berbasa-basi sambil membawa tas berisi pakaian kotornya.

"Baik, Rama gimana dua hari ini?" balasnya dan tepat sasaran sekali. Padahal aku berdiri di sini menyambutnya, tapi yang dia tanya malah putra kami. Huh, sudah biasa sebenarnya.

"Gak rewel kok, mas. Makannya lahap, tidurnya cepet juga," jelasku dan dia hanya mengangguk. Astaga, sulit sekali menarik perhatian suamiku ini.

Aku menaruh tas berisi pakaian kotor tadi di dekat kamar mandi belakang agar bisa aku cuci besok pagi. Segera aku menghampiri suamiku yang duduk di ruang keluarga sambil melepas jam tangannya. Inilah kesempatan ku untuk tetap dekat dengan Mas Endrick.

Aku berdiri di belakangnya lalu kedua tanganku menyentuh bahunya yang terasa kaku. Mungkin sedikit pijatan akan menghilangkan rasa lelahnya.

"Jovita pijetin ya, mas? Pasti capek banget kan?" tawar ku dan dia hanya mengangguk sambil merilekskan badannya di sandaran sofa. Aku tersenyum simpul, ku beranikan untuk mendekatkan wajahku ke sisinya lalu mencuri satu ciuman di sudut bibir Mas Hendrick.

Iris hitamnya kembali terbuka, menatapku lapar seolah aku adalah makan malamnya atau memang iya?

"Jangan pakai jubah tidur. Itu mengganggu mata," titahnya. Aku hanya terkekeh, dia memang cerewet kalau sedang bergairah.

Aku berjalan mengitari sofa dan berhenti tepat di depannya lalu ku lepaskan jubah tidurku sehingga tubuhku yang terbalut lingerie hitam menjadi santapan empuk untuknya.

"Sini kamu."

Aku langsung bersikap manja dengan duduk menghadapnya di atas pangkuannya. Mas Endrick meraih pinggangku, meremasnya pelan sebelum menyatukan bibir kami. Aku tahu dia tidak bisa menolak rayuan ku. Walaupun tidak ada kata cinta yang terucap di bibirnya, tetap aku akan selalu percaya bahwa dia pasti cinta padaku.

.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status