Share

Bab 2

Jovita POV

Pagi hari ini tidak ada yang berbeda dengan pagi sebelumnya. Aku bangun lebih dulu dari Mas Hendrick lalu segera mandi untuk menghilangkan rasa pegal-pegal di tubuhku setelah semalam bercinta dengan suamiku.

Seperti biasa aku pun menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Hendrick lalu lekas menyiapkan sarapan setelah urusanku selesai.

Hari ini aku ingin ke supermarket karena bahan-bahan di dapur sudah mau habis. Sebenarnya aku bisa ke pasar dekat sini, tapi kasihan Rama jika harus panas-panas di sana. Dia tidak bisa jauh dariku, kalau dititipkan ke keluarga ku atau keluarga Mas Hendrick, pasti Rama menangis.

"Vita"

Aku menoleh, suamiku tercinta muncul di dapur. Dia terlihat rapi dengan kemeja yang aku siapkan dan tentu saja selalu tampan.

"Vita masak nasi goreng, Mas. Ini bahan-bahan udah mau abis, hari ini Vita bawa Rama ke supermarket ya mas?"

"Iya," jawabnya singkat. Aku lagi-lagi menelan kepahitan karena Mas Hendrick sangat irit sekali bicara.

"Oh iya, mas... vita boleh beli lingerie baru gak? vita liatin ada yang modelnya seksi loh. Mungkin aja mas Hendrick mau liat kalo Jovita pakek gituan," tanyaku sedikit menggodanya. Ya ya ya aku tahu, ini terdengar menjijikkan bagi sebagian perempuan tapi aku nekad melakukan ini demi mendapatkan perhatian suamiku.

"Terserah kamu, Vita." Sial, rupanya dia tidak peduli.

Cup!

Aku mencium pipi Mas Hendrick sebagai tanda terima kasih. Tidak apa-apa, yang penting dia tidak jahat kepadaku.

"Mas Hendrick sarapan ya, mas? vita mau nyuci di belakang dulu."

"Hmm."

Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi belakang yang cukup luas. Memang Mas Hendrick menyiapkan tempat ini untuk mencuci pakaian kotor.

Untuk kemeja kerja Mas Hendrick, biasanya aku cuci dengan tangan karena takut rusak jika ku campur dengan pakaian rumah. Ini juga meminimalisir kemejanya luntur. Karena kebiasaan ku ini, terkadang telapak tanganku jadi kasar.

"Ehm, ini kemejanya ada noda tinta. Kebiasaan deh Mas Hendrick," gumam ku sambil terus memisahkan pakaian-pakaian kotor.

Grep!

Aku menahan napasku saat kurasakan sebuah pelukan dari belakang yang erat sekali. Jantungku berdetak sangat cepat, merasa aneh karena Mas Hendrick tiba-tiba mendekap ku seperti ini.

"M-mas? Kenapa?" tanyaku. Jujur saja, rasanya seperti ada kupu-kupu di perutku. Terasa geli sekali.

"Kenapa godain saya tadi? Kamu kira itu gak mempan?" tanya Mas Hendrick. Ya ampun, ternyata dia tergoda juga. Aku kira tadi gagal, rupanya suamiku ini tergoda!

"Hihi, mas Hendrick bikin gemes aja deh. Vita kan tadi cuma nanya doang, emangnya siapa yang godain mas?" balasku jenaka. Dia membalikkan tubuhku lalu dengan mudah dia mengangkat ku ke atas mesin cuci. Karena Mas Hendrick lebih tinggi dariku, jadi posisi kami jadi sepantaran.

Kakiku dilebarkannya, dia berdiri sangat dekat sampai bisa aku rasakan aroma maskulin dari tubuhnya. Begitu lekat sekali dalam ingatan ku.

Tangan Mas Hendrick merayap dari paha, masuk ke dalam daster yang ku kenakan lalu meremas payudara kanan ku yang masih ditutupi bra menyusui.

Aku menggigit bibir bawahku, mulai tergoda dengan sentuhan panasnya yang selalu tidak bisa aku cegah. Mana aku tahu jika dia tergoda atau tidak, dia saja nyaris tidak punya ekspresi. Aku tadi cuma iseng menggodanya, tapi rupanya di Buat lemah juga.

"Ngghh, mass... Nanti telat ke kampusnya loh," ingatku tapi tidak berusaha melepaskan tangannya yang asyik meremas-remas payudaraku.

"Hmm, kita main sebentar."

Perutku terasa semakin geli. Aku senang sekali karena Mas Hendrick memerhatikan ku pagi ini meskipun itu cuma ajakan bercinta. Aku sungguh mencintainya, aku ingin suamiku selalu di sisiku.

Kami berciuman, masih dengan posisi ku di atas mesin cuci ini. Ku letakkan kedua tangan di leher Mas Hendrick, memberinya akses untuk mencium ku sesukanya.

Ini terasa seksi sekali, bercinta di atas mesin cuci dan terburu-buru. Aku merasa seperti gadis haus belaian lelaki, sangat seksi.

Dia tidak melepaskan kemejanya, hanya celana panjang yang dibuka dan diturunkan sehingga aku bisa melihat penisnya yang mengacung di depanku. Benda panjang itu selalu berhasil memuaskan ku.

Aku menyentuh penisnya lalu memberi pijatan kecil. Kurasakan Mas Hendrick sangat menegang, nafsunya sudah di ubun-ubun.

"Buka baju kamu, Vita."

"Ehmm, bukain... Kan Mas Hendrick yang mau," tolakku manja dan dia berdecak karena tidak sabar. Aku tersenyum geli, suamiku menarik daster dari tubuhku lalu melemparnya sembarang.

Kedua tanganku memegangi ujung mesin cuci agar tidak mudah jatuh begitu saja. Mata tajam itu kembali menatap liar ke arah tubuhku dan itu membuatku sangat merinding penuh damba.

Mas Hendrick melepaskan celana dalam dan juga bra yang kukenakan sehingga kini aku telanjang bulat di depannya. Mulutnya dengan sigap menancap di ujung payudaraku, menghisapnya rakus seperti bayi kelaparan tapi dalam cara yang lebih liar lagi.

Kepalaku mendongak ke atas, tidak tahan dengan kemampuan suamiku dalam memuaskan perempuan. Meski bermain cepat, dia tetap mengutamakan kepuasan ku.

Mas Hendrick mulai memasukkan kejantanannya dengan pelan. Aku menahan napas setiap kali benda itu masuk ke dalam tubuhku. Seperti biasa, perasaan geli dan nikmat selalu bercampur menjadi kesatuan yang pas. Dia menggerakkan penisnya keluar masuk, menyentuh titik terdalam ku di beberapa hentakannya.

"Ohhh, emhhh!" Aku tidak kuasa menahan desahan. Kulilitkan kaki di pinggang Mas Hendrick, memaksanya untuk semakin dalam memasuki ku. Tidak perlu waktu lama untuk membuatku mencapai puncak, dengan rangsangan yang dia berikan aku pun merasa begitu puas.

"Mas! Vitaahh... Ahhh... Keluarhh!"

"Ghhh, jovita! Ahhh!" Suara Mas Hendrick sangatlah seksi sekali. Aku suka tiap kali dia mencapai klimaks, wajahnya terlihat semakin tampan.

Kami terdiam beberapa saat untuk mengambil napas. Dia menciumi leherku, meninggalkan beberapa tanda yang pasti sulit hilang nanti. Penisnya mulai terasa lemas, itu artinya dia sudah puas memuntahkan seluruh isinya di dalam tubuhku. Aku harus ingat untuk minum pil setelah ini.

"Mas Hendrick harus ganti baju. Ini udah kotor dan kusut," ucapku sedikit lemas. Mas Hendrick mengangguk, dia kembali mencium bibirku. Mungkin tidak rela mengakhiri sesi quickie ini.

"Saya bersih-bersih dulu."

Dia mencabut penisnya lalu membuka celana dan juga baju sebelum menyerahkannya kepadaku.

"Mas gak bawa handuk ya?" tanyaku dan dia menggeleng. Karena kamar mandi ini terhubung dengan tempat mencuci baju, jadi dia santai saja menghidupkan shower dan mandi sekali lagi.

Aku menghela napas lelah, cepat-cepat berlari ke kamar dalam keadaan telanjang untuk mengambil handuk. Setelah memastikan diriku sendiri aman dengan handuk merah muda milikku, lantas aku pun kembali ke kamar mandi belakang untuk memberikan handuk milik Mas Hendrick.

Benar-benar tidak terduga sekali kalau Mas Hendrick mengajakku bercinta di atas mesin cuci.

...

Pergi ke supermarket dengan Rama sudah menjadi kebiasaan ku sejak Rama memulai MPASI. Untungnya aku bisa mengendarai mobil sendiri, jadi tidak sulit untuk pergi ke manapun bersama Rama.

Seperti biasa, Rama aku gendong dengan gendongan yang aman dan nyaman, jadi aku mudah berjalan sambil mendorong troli belanjaan.

Sebenarnya tidak banyak yang aku beli, hanya beberapa bumbu dapur dan sayuran. Karena Mas Hendrick juga tidak pilih-pilih makanan, mudah untukku memasak apapun. Jadi aku bisa beli bahan makanan yang bisa ku masak.

Di tengah-tengah kesibukan belanja, aku menerima telepon dari saudara ipar ku. Untungnya adik Mas Hendrick tidak kaku seperti dia dan ibunya.

"Halo, mbak Rara? Kenapa mbak?" sapa ku di telepon.

"Hai, kamu di mana sih Vit? Aku lagi di Jakarta nih, mau jalan gak?"

"Duh, tapi vita lagi di supermarket sama Rama , mbak. Mungkin besok aja, lagian belum izin sama Mas Hendrick juga," jawabku sedikit tidak enak karena momennya tidak pas. Mbak Rara itu bekerja di Surabaya, dia seorang pengusaha makanan yang cukup terkenal. Jarang dia ke Jakarta, hanya jika ingin saja. Umurnya memang lebih tua sepuluh tahun dariku, tapi aku nyaman ngobrol dengannya.

"Gak apa-apa, Vita. Kita nyalon aja mau gak? Dah lama ih gak ketemu kamu sama Adam. Gak usah izin segala sama Bang Hendrick."

Lain dengan Mas Hendrick, Mbak Rara sangatlah bersahaja. Dia tidak suka diperintah dan mau melakukan apapun semaunya. Melihat sikapnya yang seperti itu, aku memaklumi saja.

"Ya udah deh, mbak. Tempat biasa ya? Mbak duluan aja ke situ, Vita mau selesaikan belanja dulu," putus ku. Dia menurut lalu sambungan pun berakhir.

Segera aku selesaikan urusan belanja. Mungkin bersantai di salon juga bukan pilihan yang buruk. Hitung-hitumg sebagai bentuk relaksasi diri dari kegiatan ibu rumah tangga yang tidak pernah habis.

Setelah menempuh perjalanan ke salon yang biasa aku dan Mbak Rara sambangi, akhirnya aku sampai. Aku hafal plat mobil Mbak Rara, dia sudah lebih dulu berada di sini sesuai janji.

Untungnya aku membawa kereta bayi milik Rama, jadi bisa lebih mudah memantaunya di kereta bayi.

"Ah, Jovita!" Mbak Rara berseri-seri melihatku. Kami berpelukan dan saling menanyakan kabar. Katanya aku sedikit gendutan, apa iya?

"Aduh aduh, ponakan tante udah gede banget ih! Makin montok aja nih pipinya Rama !" Aku tertawa kecil melihat interaksi Mbak Rara. Dia sudah menikah tapi belum punya anak, makanya selalu antusias jika bertemu Rama .

"Tuh ketawa dia liat tantenya yang cantik ini. Ih, dikasih makan apa sih Vit sampe montok nih bayi?" tanya Mbak Rara.

"Biasa mbak, makanan bayi sama susu. Syukurlah si Rama jarang nolak makan, jadi makin montok badannya."

Kami pun memulai treatment spesial di salon langganan kami. Seperti biasa, Mbak Rara selalu punya cerita yang dia bagi. Aku senang mendengar semua ceritanya yang menarik.

"Eh kamu sama Bang Hendrick gimana, Van? Masih gitu-gitu aja tuh bang Hendrick?"

"Gitu-gitu gimana, mbak?"

"Biasalah, dingin kayak beruang kutub gitu. Paling males banget deh kalo ketemu dia udah kayak ngobrol sama patung," celotehnya.

"Ah mbak Rara kok gitu. Mas Hendrick biasa aja kok. Jovita sama Mas Hendrick juga baik hubungannya. Gak ada yang buruk," jelasku dan itu benar sekali. Aku dan Mas Hendrick tidak pernah terlibat dalam permasalahan yang pelik.

"Bagus deh, takut aja gitu nanti bang Hendrick berulah. Dari dulu rasanya cemas sama kamu, takut dia ngapa-ngapain kamu gitu."

Aku menggeleng lucu. Ya dia memang sudah berbuat macam-macam kepadaku, saat di ranjang tentunya.

Tanpa sadar sepertinya pipiku merona, kulihat di pantulan kaca aku seperti perempuan mesum. Hah, apapun yang berhubungan dengan Mas Hendrick pasti membuatku merona.

"Kenapa muka kamu merah, Vit? Hemm, mikirin yang nggak-nggak ya kamu?" tanya Mbak Rara dan dia tersenyum lucu. Astaga! Ini sangat memalukan sekali. Ketahuan berpikiran mesum oleh saudari ipar sendiri.

"Bu-bukan gitu, mbak! Ehm..."

"Hehe, canda doang ah! Santai aja sama aku, Vita. Ya biasalah orang suami-istri pasti ngapa-ngapain kan hahaha."

Ah sungguh sial, mbak Rara berhasil membuat aku malu.

.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status