Tak p akal. Kinanti segera mengejar kedua penjambret tadi. Dia berjongkok mengambil batu sekepalan tangan, cukup berat untuk diangkat. Kinanti mengambil ancang-ancang, melempar batu tadi pada lelaki yang membawa tasnya. Terdengar suara mengaduh disertai suara benda jatuh ke tanah. "Good Job! Gak sia-sia aku selalu ada di urutan teratas lempar lembing waktu sekolah." Kinanti tersenyum penuh kemenangan. Kinanti segera berlari menuju lelaki yang tersungkur di tanah, kesakitan. Memegangi kepala sambil memiringkan tubuh. Langsung ditarik tas kerjanya. Kedua tangan lelaki itu memegangi bagian belakang kepalanya. Cairan berwarna merah kental melumuri jemarinya. "Awas kamu, ya!" Lelaki yang menodongkan pisau pada Kinanti memelotot, mencoba mengancam Kinanti. Lampu penerangan di jalan mulai dinyalakan. Dalam remang-remang cahaya bayangan tubuh Kinanti terlihat utuh. Dia mulai berubah menjadi wanita kuat dari masalah yang datang."Ada apa ini?""Dia mau menjambret saya, Pak!"Pengemudi ken
Suara baritone yang sangat dikenal Kinanti. Sekian lama Kinanti merindukan suara itu. Dia terkejut dan segera berbalik, "Ayah?"Abimanyu Permana refleks melepas tangannya dari pundak Kinanti. Menjauh dari anak sulung Haidar Baskoro. Di belakang mereka lelaki dengan setelan celana kain hitam dan kemeja putih itu membelalakkan mata. "Kinanti, sekarang apa lagi yang kamu perbuat? Belum selesai kasusmu yang kemarin, sekarang kamu sudah bersama lelaki lain?""Tidak Ayah, biar Kinanti jelaskan dulu. Kami tidak ada hubungan apa-apa."Kinanti mencoba meriah tangan Ayahnya. Haidar Baskoro terlanjur kecewa padanya. Setiap kata atau penjelasan yang keluar dari mulut Kinanti hanya dianggapnya kemunafikan. "Apa kamu tidak bosan buat malu keluarga, hah?""Dengarkan Kinanti dulu Yah," teriak Kinanti. Dia tahu lelaki tua itu selalu menang dalam perdebatan, jalan satu-satunya adalah meninggikan intonasi, mencoba mendominasi."Keributan yang Ayah lihat tadi, karena ada dua orang penjambret mencoba me
Kinanti yang sekarang sudah berbeda. Mahkota juga hatinya telah dia serahkan pada Gio. Nama lelaki itu telah diukir dalam hatinya. Namun, semua yang terjadi tidak seindah bayangannya. "Kinanti mencintainya Yah, tidak bisa meninggalkannya.Dia … dia pembohong Yah, dia berjanji akan menikahiku, tetapi dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya. Gio, dia …."Mulut Kinanti tertutup. Tak sanggup mengatakan kelanjutan cerita. Dia berhenti sebentar, menarik napas dalam lalu mengembuskannya pelan."Gio seorang pemakai narkoba, dia bahkan sakau kemarin. Tabungan Kinanti digunakan hanya untuk membeli barang itu.""Apaaa? Sakau? Jadi selain bertato dia juga pemakai narkoba? Bukankah dia mencintaimu? Saat terakhir bertemu dia bilang akan bertanggung jawab dan segera menikahimu. Wajah dan cara berbicaranya terlihat sangat meyakinkan." Haidar Baskoro duduk di sofa. Keningnya berkerut mendengar penjelasan Kinanti. "Itu awalnya Yah, aku juga tertipu." Kinanti mulai menangis terisak. Hidupnya ki
Haidar Baskoro dan istrinya kaget. Menatap Kinanti dengan wajah heran. Itu adalah kali pertama mereka melihat anak sulung mereka begitu emosional, hingga menampar Gio. Gio mematung. Ada gambar telapak tangan memerah di pipinya. Panas dan nyeri berdenyut seketika, "Beraninya kamu!""Apa? Kurang keras? Mau lagi?" Kinanti melangkah maju. Napasnya masih tersengal, dia begitu emosi, "Kamu bilang aku wanita murahan? Gampangan?""Kamu memang seperti itu." Satu sudut bibir Gio terangkat naik. Kentara sangat menghina dan merendahkan. Bugh! Satu kepalan tangan melayang mengenai wajah Gio. Kali ini dia jatuh ke lantai terkapar, meringis kesakitan. Dua pukulan sekaligus didapatnya. "Jangan pernah lagi kamu menjelekkan Kinanti. Cobalah berkaca terlebih dahulu sebelum mulut kotormu menuduhnya seperti itu." Haidar Baskoro membalikkan badan, "Kinanti, ayo kita pulang. Percuma saja berbicara dengan lelaki macam dia!"Ibu Kinanti menarik lengan Kinanti, "Ayo, Nak!"Kinanti mengikuti langkah kedua o
Suara kicauan burung yang bertengger di pohon trembesi sekitar apartemen terdengar meriah. Matahari baru mulai bersinar. Semburat kuning terang menyinari langit kelabu.Cinta yang mendalam di ujung keputus-asaan. Kinanti. Dia benar-benar berharap pada Gio. Hidupnya telah diserahkan seluruhnya. Lihatlah dua orang manusia yang tidur saling berpelukan usai berbaikan. Persetubuhan adalah cara paling cepat menyelesaikan masalah. Kebutuhan batin adalah sesuatu yang saling tidak bisa ditolak keduanya. Kinanti meringkuk dalam pelukan Gio, keduanya berbagi selimut. Kemarahan sudah hilang. Binar cinta berpendar dari mata keduanya. "Jangan pernah meninggalkanku." Kinanti mendongak mencari jawaban dari Gio. "Asal kamu sabar menunggu. Pernikahan bukan hal yang mudah dan murah untuk dilakukan."Kinanti mencubit perut Gio, "Kalau sudah tahu seperti itu, kenapa kamu memakai uang tabunganku hanya untuk membeli sabu, hah?""Itu … itu, aku pinjam. Nanti akan kukembalikan ….""Berhenti memakai barang
Kinanti tersenyum seperti bulan sabit di langit malam, sangat indah. Dia menatap seorang lelaki yang duduk di samping kursinya. Gio mengantarnya, mereka naik bus bersama. Jemari lentik Kinanti digenggam erat oleh Gio. Situasi seperti itu adalah hal yang lama dimimpikan Kinanti. Hari itu Kinanti tidak memakai kacamatanya. Dia mencoba menggunakan lensa mata. Sedikit perubahan yang membuatnya tampil beda, cantik. "Kamu pulang jam berapa nanti? Mau kujemput?"Kinanti tersenyum, "Aku pulang seperti biasa, mungkin di jam enam sudah sampai apartemen." Kinanti berhenti berbicara. Dia memandang wajah Gio sebentar lalu melanjutkan, "Carilah pekerjaan!" Gio menatapnya sebentar, lalu ke arah depan, "Setelah mengantarmu aku akan coba menemui temanku. Mencari pekerjaan adalah sesuatu yang sulit dengan titelku, mantan narapidana."Terlihat keputusasaan di mata Gio. Kinanti membaca keraguan dan keengganan di balik kata-kata Gio. "Apa-apa lihat-lihat?" Suara dingin penuh ketidaksukaan Gio terdeng
Di tempat lain. Sebuah angkutan umum berwarna biru berhenti di depan gedung berlantai tiga. Dindingnya terbuat dari kaca tebal, memperlihatkan pemandangan di dalam. Gio turun dari bus. Sejenak mendongak, menatap lantai atas. Matanya mengisyaratkan kerinduan sekaligus keengganan saat menatap. Dia telah lama tidak datang ke sana. Gio mengembuskan asap nikotin terakhir dari mulutnya. Setelah itu membuang puntung rokok di sela jari. Berjalan cepat melewati papan nama. 'Jakarta Lawyer.' Memasuki lobby ada banyak pasang mata meminda penampilan Gio. Lelaki berkemeja putih selengan itu tidak ambil pusing, segera menuju lift naik ke lantai ke dua. Berjalan menyusuri lorong. Gio mendorong sebuah pintu dengan keras. Masuk dengan percaya diri. "Siapa yang ….""Gio?"Seorang lelaki dengan balutan jas abu dan dasi hitam menoleh ke arah pintu. Matanya tidak berkedip, tampak kaget. "Hai Paman, lama tidak bertemu."Lelaki di belakang meja menutup lembaran berkas yang sedang dibacanya, "Apa yang
Kilatan amarah juga dendam di mata klien Gio masih diingatnya sampai saat ini. Memiliki harta dan tahta membuat manusia lupa diri. Kesombongan adalah topeng setan yang dipinjamkan pada manusia. Kliennya segera pergi usai mendapat pukulan Gio. Tidak berapa lama sebuah surat panggilan dari kepolisian datang. Klien Gio tadi menuntut Gio dengan hukuman lima tahun penjara, "Gila! Dia menggugat dengan bukti visum kekerasan juga tangkapan rekaman vidio amatir pemukulan di ruang sidang.""Kamu gegabah! Bisa-bisanya melakukan tindak kekerasan pada klien sendiri di depan banyak orang," marah ayah Gio saat itu. "Tiga tahun. Aku mendekam di penjara selama tiga tahun karena klienku itu! Pekerjaanku hilang, dasar sial!"Gio menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, mukanya suram penuh penyesalan. Seharusnya yang terjadi di kantor pengacara bukan seperti tadi. "Jadi ayah meminjam uang sebagai ganti memotong masa tahananku?""Paman, tidak seharusnya mengambil alih kantor itu?"Gio terus berbic