Share

Bab 3. Tak Siap Kehilangan

Raga kembali kerumah setelah seharian bekerja. Raut lelah begitu tampak diwajahnya, Anggita yang tengah bersantai menonton televisi bersama dengan dua anaknya langsung menyambut hangat kedatangan suaminya.

“Assalamualaikum, anak – anak Papi,” sapanya pada Adi dan Tristan.

“Papiiiii,” sahut sibungsu Tristan yang masih sangat manja pada kedua orang tuanya, yang kemudian langsung beranjak dan menubruk tubuh sang ayah dan meminta untuk menggendongnya. Sementara sisulung Adi hanya tersenyum melihat tingkah sang adik.

“W*’alaikumsalam, jawab dulu dong salamnya, Nak, jangan maen terobos gitu aja,” balas Anggita.

“Peace, Mami,” jawab Tristan dengan gaya manjanya.

“Adek udah makan belum? Nih, Papi bawain martabak kesukaan Mas Adi dan Adek Tristan.”

“Asiiiik, Papi emang paling baik.”

Cup!

Sebuah kecupan manis dari sibungsu mendarat dipipi Raga, seketika lelah yang dirasa beberapa saat lalu perlahan mulai sirna.

“Adi, bawa kedapur, Nak, martabaknya taruh dipiring terus nanti sebagian kasih buat Bi Inah ya,” pinta Anggita.

“Baik, Mi,” jawab Adi dan lekas berjalan menuju dapur.

Begitulah cara Anggita mendidik kedua putranya, meski mereka dalam keadaan yang sangat berkecukupan namun Ia tetap mengajarkan bahwa betapa pentingnya berbagi pada sesama dan pentingnya memiliki sifat yang mandiri untuk tidak selalu mengandalkan asisten rumah tangga untuk melakukan hal – hal kecil pada kedua putranya. Adi yang sudah memasuki usia 10 tahun sudah mulai mengerti setiap arahan dari sang ibu.

Sambil menggendong sibungsu, Raga mendekati Anggita dan duduk disofa tepat disebelah sang istri.

“Kondisimu gimana hari ini, sayang?” tanya Raga.

“Aku baik – baik aja kok, Mas, kamu tenang aja ya,” jawab Anggita sambal tersenyum pada suaminya.

“Kamu ini, setiap aku tanya jawabannya selalu begitu. Inget ya, kalo ada yang dirasa kamu harus cepet kabari aku!” tegas Raga.

“Iya, sayaaang,” sahut Anggita sambal mengusap lembut kedua pipi suaminya.

“Lho, emang Mami lagi sakit ya, Mi?” tanya Tristan yang heran saat mendengar percakapan kedua orang tuanya.

“Nggak, sayang, Mami sehat kok, sehaaat banget. Papimu aja yang terlalu cemasin Mami,” jawab Anggita yang langsung memeluk Tristan.

Sungguh pemandangan yang sangat menyiksa batin Raga. Seandainya saja Anggita tidak mengidap penyakit kanker, mungkin saat ini kebahagiaan keluarganya akan terasa sangat sempurna. Menyaksikan Anggita mendekap hangat sang putra, membuat dirinya tak kuasa menahan air matanya, namun dengan cepat Ia menghapus air mata itu agar tak terlihat oleh Anggita dan juga Tristan.

Hal serupa yang dirasakan juga oleh Anggita, entah bagaimana Ia membayangkan betapa pilunya jika Ia harus berpisah dengan suaminya yang amat dicintainya dan juga anak – anaknya yang masih sangat membutuhkan perhatiannya sebagai seorang ibu.

Semakin erat Ia memeluk sibungsu, semakin besar pula rasa sesak didadanya jika hari itu benar – benar tiba. Saat Ia benar – benar harus pergi dari dunia ini untuk selama – lamanya. Sungguh sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Anggita.

***

Hari mendekati malam, kedua anak mereka sudah terlelap tidur dikamar mereka. Tinggallah Anggita dan juga Raga yang masih terjaga, menghabiskan waktu hanya berdua saja bak sepasang sejoli yang saling mencinta, bersenda gurau sembari bercerita dan saling mendekap dengan hangat diatas peraduan.

“Sayang, aku boleh cerita sesuatu?” tanya Anggita seraya mengelus lembut punggung tangan suaminya yang sedang berada tepat diatas bahunya.

“Boleh dong, masa cerita aja harus pake intro dulu? Ada apa?” jawab Raga yang sesekali menatap layar ponselnya untuk sekedar membuka – buka akun media sosial miliknya.

“Tadi pagi pas perjalanan kekampus Mang Ujang hampir nabrak orang,” Anggita sedikit terbata – bata.

“Hah? Kok baru cerita sekarang? Tapi kamu nggak apa – apa kan, Sayang?” Raga mulai terlihat panik.

“Ssst, tenang dulu, aku bilang hampir Mas, hampiiir, jadi nggak sampe kejadian,” Anggita mencoba menangkan sang suami.

“Huuuft, syukurlah kalo nggak sampe kejadian. Tapi seenggaknya kamu harusnya langsung cerita dong, Sayang, jangan udah beberapa jam kemudian baru ngomong,” Raga mulai kesal.

“Ya udah iya, aku yang salah. Aku yang bilang ke Mang Ujang untuk nggak lapor ke Mas, maafin aku ya,” Anggita semakin mendekatkan wajah cantiknya pada Raga dan mengecup manis pipi sang suami.

“Lain kali jangan begitu lagi ya, kamu nggak tau aja akhir – akhir ini Mas sering nggak fokus kalo ditoko, belum lagi ada beberapa cabang yang sampe sekarang belum sempet kepegang kerjaannya. Kalo ada apa – apa, mau hal sekecil apapun, Mas minta tolong selalu kabari Mas,” balas Raga sambil membelai lembut rambut Anggita yang mulai menipis dan kian rontok imbas dari pengobatan kemo terapi yang Ia jalani selama ini.

“Lagian kamu udah Mas minta untuk istirahat aja dirumah, stop semua kegiatan dan mengundurkan diri dari kampus, kamu masih aja nggak mau. Bukannya apa – apa, Mas akan ngerasa jauh lebih tenang kalo kamu lebih banyak dirumah disaat kondisimu saat ini,” sambungnya.

Anggita membalas dengan pelukan pada Raga, betapa besar kasih sayang yang Ia dapatkan dari sang suami. Seakan ini merupakan hadiah terindah yang Allah berikan di sisa – sisa akhir hidupnya. Pelukan tersebut disambut hangat oleh Raga yang seolah tak siap kehilangan separuh dari jiwanya, seorang wanita yang selama ini menjadi pelengkap hidupnya yang telah menemani perjalanan hidupnya selama 20 tahun terakhir.

Namun  Anggita tak serta merta terbuai dengan perlakuan istimewa yang Ia dapatkan dari sang suami, dalam benaknya Ia masih memikirkan bagaimana cara agar Raga dan juga Maharani bisa saling mengenal agar kelak mereka dapat menikah dan menggantikan posisi dirinya sebagai istri dari Raga.

Pelan – pelan Anggita melepaskan pelukannya dan beralih berbaring dipaha sang suami. “Oh ya, sayang, tadi orang yang hampir ditabrak sama Mang Ujang itu ternyata mahasiswiku lho.”

“Oh ya? Kok bisa hampir ketabrak gitu? Besok Mas akan ngobrol sama Mang Ujang supaya bisa lebih hati – hati lagi nyetirnya.”

“Mang Ujang udah bener nyetirnya, Mas, cuma tadi situasinya lagi rawan banget.”

“Rawan gimana maksudanya?”

“Jadi dia tu tadi lagi dikejar – kejar sama beberapa orang, tampangnya kayak preman gitu, Mas. Terus dia berusaha ngehindarin gerombolan itu dan lari ketengah jalan tanpa merhatiin situasi jalan disekitarnya.”

“Kalo sampe dia dikejar – kejar gitu berarti dia pernah punya masalah sama salah 1 dari mereka, bisa aja kan?” Raga menanggapinya dengan santai.

“Tapi dia itu anak yang baik lho, sayang, dikelasku juga dia tergolong anak yang cerdas dan aktif. Dia jauh – jauh datang kekota untuk kuliah sambil kerja, selain itu dia juga masuk kuliah dengan jalur prestasi. Makanya aku nggak tega ngeliat dia dalam masalah.”

“Terus gimana? Kamu mau bantu dia ngelawan preman – preman itu? Mas nggak setuju kalo kayak gitu.”

“Nggak gitu juga sih, Mas. Mmmmmm, gimana kalo kita bawa dia tinggal dirumah ini sama kita?” tanya Anggita.

“Kamu yakin sama idemu itu? Nggak mudah lho tinggal satu rumah dengan orang yang latar belakangnya bukan dari keluarga kita? Lagian kamu tumben banget punya ide semacam itu?”

“Ya, yang aku bilang tadi, Mas. Aku nggak tega liat dia tinggal sendirian, jauh dari orang tua, ditambah ada masalah sama orang – orang yang bisa aja membahayakan dirinya.”

“Hmmmmm,” Raga menghela nafas Panjang, alih – alih berpikir untuk menuruti keinginan sang istri.

”Gimana, sayang? Boleh kan? Kalo untuk masalah dia itu bukan keluarga kita, lalu apa bedanya dengan Mang Ujang dan Bi Inah, mereka juga kan sebelumnya orang yang kita nggak kenal.”

“Hmmm, ya udah terserah kamu deh, Mas emang nggak akan pernah bisa menang setiap debat sama kamu,” Raga menggelang – geleng pelan.

“Makasiiih, sayang, kamu emang suami terbaik.”

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status