Share

Bab 5. Tunggu Aku

Bab 5 Tunggu Aku

Maharani lalu memakai jaket yang diberikan oleh Faza, dan ukurannya sangat cocok saat dikenakan olehnya. Selepas itu Ia meraih bingkai yang sedari tadi dibawa oleh Faza sejak Ia bertemu didepan kelasnya, namun Maharani tak banyak bertanya apa isi dari bingkai tersebut. Pikirnya, mungkin itu hanya bagian dari tugas kuliah milik Faza.

Faza melaju dengan motornya dan melewati gerbang kampus mereka dengan leluasa. Keempat preman tersebut yang sejak pagi menunggu kehadiran Maharani yang hendak mereka buntuti, sama sekali tak menyadari keberadaan dua sejoli tersebut.

‘Huuuuft, Alhamdulillah, mereka tidak menyadarinya,’ batin Maharani.

Sepanjang perjalanan mereka tak banyak saling bicara. Maharani malah begitu asyik menikmati suasana jalanan perkotaan yang sangat jauh berbeda rasanya saat dilalui dengan sepeda motor, meski jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sering dilewati, namun untuk sejenak Maharani merasa sedikit terbebas dari kejaran orang – orang suruhan Abimanyu yang selama ini menghantui dirinya.

Sesampainya mereka ditempat tujuan, Faza membantu Maharani melepas helmnya dan mengajaknya memasuki sebuah restoran cepat saji.

“Kita makan disini aja, nggak apa – apa kan?” Faza menawari.

Lagi – lagi Maharani hanya mengangguk.

“Kamu duduk duluan, biar aku yang ngantri untuk pesan makanannya, ok?”

“Oke, aku tunggu disana ya, Za,” jawab gadis itu sambil mengarahkan pandangannya kesalah satu meja yang berada disana.

Selang beberapa menit, Faza kembali menghampiri Maharani dengan membawa 2 porsi nasi lengkap dengan 2 potong dada ayam dan 2 gelas soda.

“Waah, makasih ya, Za. Besok giliran aku yang traktir ya,” wajah Maharani berbinar – binar.

‘Besok?’ batin Faza.

Alih – alih menjawab tawaran dari Maharani, Faza hanya tersenyum dan mempersilahkan Maharani untuk menikmati makanan yang sudah Ia pesan.

“Oh ya, ada apa, Za? Tadi bilangnya ada yang mau di obrolin?” tanya Maharani seraya menusukkan pipet kelubang tutup gelas yang berisi soda.

“Mmmmm, entar, kita abisin dulu makannya baru aku cerita ya, udah laper banget soalnya.”

Maharani terkekeh, “Hmmm, Oke baiklah.”

Dengan lahap Faza menyantap nasi yang ada didepannya, seolah bukan seperti dirinya yang sebenarnya. Namun meski begitu, Maharani seolah tak mempermasalahkan hal itu. Dalam benak gadis itu berpikir, mungkin saat ini temannya itu memang sedang kelaparan karena sudah lama menunggu dirinya keluar dari kelas.

Hingga tak tunggu waktu lama, Faza telah menghabiskan makanannya dan bergegas membersihkan tangannya ditempat yang sudah disediakan.

“Za, kamu nggak lagi buru – buru kan?” tanya Maharani sambil menengok kesekitarnya.

“Ah, nggak kok, Ran, aku memang lagi lapar saja,” Faza terkekeh dan dibalas anggukan oleh sang gadis. “Mmmm, oh ya, Ran,” sambungnya.

“Ya, ada apa, Za?”

“Mmmm, ada yang pengen aku sampein kekamu.”

“Iya, dari tadi pagi bilangnya gitu terus, ada apa?” jawab Maharani yang masih menikmati makanannya.

“Mmmm….”

“Dari tadi am em – am em terus? Kamu ada masalah, Za?”

“No, bukan gitu, mmm, oh ya, kamu nggak penasaran sama bingkai yang dari tadi aku minta pegangin ke kamu?”

Maharani mengalihkan pandangannya pada bingkai yang Ia letakkan tepat disampingnya.

“Oh, ini? Lho bukannya ini tugas kuliah kamu?” Maharani mencoba menerka.

“Bukan, itu sengaja aku bikin untuk kamu.”

“Oh ya? Waaah, emang apa isinya?” berkali – kali Ia memandangi bingkai tersebut berusaha menebak apa yang ada didalam sana.

“Kamu aja yang buka sendiri,” balas pemuda itu.

Gadis itu beranjak dari kursinya untuk mencuci kedua tangannya, dan kembali kekursinya untuk membuka bungkusan bingkai yang sudah membuatnya penasaran. Tak dapat dipungkiri, disore itu rona bahagia begitu terpancari dari wajahnya. Dengan hati – hati Ia membuka bungkusan tersebut namun gerakannya terhenti saat Ia mulai melihat isi dari bingkai itu.

“Gimana? Suka?” tanya Faza yang sedang menunggu reaksi dari Maharani.

“Waaaah, ini indah banget, Za, ini pertama kalinya aku dapat hadiah seindah ini,” Maharani seolah terpesona oleh keindahan lukisan tersebut yang memang terdapat gambar dirinya sebagai obyek utamanya. “Tapiii?” sambungnya.

“Kenapa, Ran? Kamu nggak marah kan gara – gara aku ngelukis ini tanpa sepengetahuan kamu?”

“Kalo hasilnya seindah ini, mana mungkin aku bisa marah, Za? Justru aku sampe nggak bisa berkata – kata lagi. Makasih ya untuk hadiahnya, kamu salah satu teman yang baik yang aku punya semenjak aku tinggal disini dan makasih juga untuk selalu ada buat aku,” kedua bola mata gadis itu mulai berkaca – kaca. “Dan maaf juga, gara – gara aku, kamu juga sempat jadi sasaran teror dari Abimanyu. Kadang kalo inget kesitu, aku suka sulit maafin diriku sendiri, Za,” sambungnya.

“Aku nggak pernah menyalahkanmu, Ran. Selama ini Aku tulus pengen bantu kamu. Andai aku bisa, aku ingin terus ada disamping kamu dan ngelindungi kamu. Tapiii, untuk sekarang kayaknya---,” seketika Faza tak mampu melanjutkan perkataannya.

“Ada apa, Za?” Maharani mendelik heran.

“Huuuuft, ini alasan aku ngajak kamu ketemu hari ini. Aku pengen bilang, maaf jika mulai besok mungkin kita akan sulit untuk ketemu,” Ia tertunduk lesu dengan meletakkan dahinya bertumpu pada kedua lengannya yang tertanam kuat diatas meja.

“Maksudnya? Kamu ada tugas luar begitu?”

Faza menggeleng pelan. “Ibuku sakit, Ran. Ayahku sudah lama meninggal dan aku adalah anak tunggal, sebagai seorang anak, aku ingin menemani ibuku dalam kondisinya yang memang sudah tak lagi muda. Tapi dilain sisi, aku juga sangat mengkhawatirkanmu. Aku ingin sekali menjagamu dan juga membebaskanmu dari bayang – bayang Abimanyu, tapiiii.”

“Cukup, Za, aku sangat paham situasimu,” Maharani berusaha mencoba memahami situasi yang dialami oleh Faza. “Kamu tidak punya tanggung jawab apapun terhadapku, Za. Kenapa kamu harus bingung? Sudah, tenang saja, aku tidak apa – apa kok. Malah akan sangat berdosa jika kamu mengabaikan ibumu. Sikapmu sungguh sangat luar biasa, Faza. Mendapatkan anak yang baik dan juga berbakti sepertimu adalah kebahagiaan terbesar bagi setiap ibu didunia ini. Lagi pula, apa yang sudah kamu lakukan untukku selama ini sudah sangat lebih dari cukup,” sambung Maharani.

“Tapi bagaimana denganmu, Ran? Karena Abimanyu akan terus mengganggumu hingga Ia berhasil mendapatkan yang Ia inginkan.”

“Kamu nggak perlu khawatir sedalam itu, Za. Salah satu dosenku, Namanya Bu Anggita menawarkan aku untuk tinggal bersamanya dan keluar dari kost.”

“Oh ya? Lalu?”

“Hmmmm, entahlah, aku sendiri masih sedikit ragu. Biar bagaimanapun beliau adalah orang lain. Apa iya aku bisa nyaman tinggal begitu saja dirumahnya yang notabenenya aku bukanlah siapa – siapa mereka.  Kalo dipikir – pikir semenjak aku meninggalkan kampungku, aku selalu saja merepotkan orang banyak. Seakan masalah tak henti – hentinya menimpaku,” gadis itu menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

“Jangan bilang begitu, kita nggak bisa hidup sendiri, Rani. Sewaktu – waktu kita memang pasti membutuhkan bantuan orang lain, dan dalam hal saling tolong menolong antar sesama adalah salah satu kewajiban kita sebagai manusia.”

“Hmmmmmm,” lagi – lagi gadis itu hanya menghela nafas Panjang dan mengangguk pelan.

Faza mencoba bergeser untuk duduk sedikit lebih dekat dengan Maharani. Dengan pelan Ia mencoba menepuk – nepuk bahu gadis itu.

“Eeeee, Ran, sebenernya masih ada satu hal lagi yang mau aku sampaikan kekamu, dan semoga setelah pengakuanku nanti tidak akan membuat sikapmu berubah padaku,”

“Ada apa, Za? Dan kenapa aku harus berubah?” Maharani terheran.

“Eeee, aku sayang sama kamu, Ran. Aku sendiri nggak tau kapan rasa ini mulai ada, tapi semenjak kita ketemu pertama kali di bus 2 tahun yang lalu, rasa suka itu datang begitu saja. Hingga lama kelamaan saat kita makin sering ketemu dan menghabiskan waktu bersama sebagai teman, aku semakin nyaman sama kamu. Lalu akhirnya aku tau kamu sedang dalam bahaya karena kejaran Abimanyu, membuat perasaanku semakin gusar. Aku nggak pernah tidur nyenyak karena selalu cemasin kamu. Tadinya sebelum aku tau kalo ibuku sakit, aku berencana untuk pulang dan meminta restu ibuku untuk menikahimu, Rani. Tapi mungkin saat ini aku belum bisa menyampaikan keinginanku sampai kondisi ibuku sudah benar – benar membaik,” Faza terdiam sejenak.

Dilain sisi, Maharani begitu tercengang mendengar pengakuan dari Faza, raut kebahagiaan begitu terpancar dari wajahnya. Karena didalam hatinya selama ini juga Ia menyimpan rasa yang sama pada pemuda itu. Namun karena keadaan dan tujuannya saat ini adalah untuk fokus pada pendidikannya, maka Maharani begitu pandai menyembunyikan isi hatinya selama ini.

“Bagaimana, Rani? Apa kamu mau menungguku?” tanya Faza seraya menatap gadis itu dengan begitu dalam.

Maharani masih terdiam dan hanya mengangguk pelan. Ia tak dapat menyembunyikan guratan senyum dari bibirnya, seolah Ia sudah memberikan jawaban “Ya” meski bibirnya masih terkunci rapat.

Kebahagiaan seolah sedang menghinggapi kedua sejoli yang selama ini begitu rapat menyimpan perasaannya masing – masing.

Namun mungkin takdir masih belum memberikan mereka kesempatan untuk menikmati kebersamaan dalam waktu yang lama.

“Oh, manis sekali kalian ini? Aku turut jijik melihatnya!”

Terdengar suara seorang lelaki paruh baya yang tiba – tiba saja menghampiri mereka dan seolah menghancurkan suasana yang manis itu.

“Tu-tuu-tuan A-abimanyu!”

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cristin Dwi pratiwi
buat penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status