Share

Bab 2. Bertemu Dewi Penolong

Pelan – pelan Maharani mulai membuka kedua kelopak matanya, dengan keadaan setengah sadar Ia merasa heran dengan apa yang dilihatnya saat ini. Mengapa Ia bisa berada dikamar sebesar ini, bahkan seolah tiga kali lebih besar dari kamar kostnya yang selama ini Ia tinggali.

Terdengar suara pintu terbuka disana yang mengacaukan lamunannya dan sontak membuat gadis itu menoleh kearah pintu.

“Sudah sadar, Nona?” tanya seorang wanita paruh baya yang sedang membawa nampan berisikan segelas air.

Maharani mengangguk pelan, “Maaf, saya sekarang ada dimana?” Maharani balik bertanya.

“Nona ada dirumah Nyonya Anggita, karena tadi saya dengar ceritanya, Nona pingsan dijalan saat berlari dan hampir ditabrak oleh supirnya Nyonya Anggita,” jawab wanita tersebut.

“Nyonya Anggita?” tanyanya lagi. Namun setelah itu Maharani kembali terdiam dan berusaha mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.

“Ini diminum dulu, Non, saya buatkan teh anget biar lebih tenang.”

Sedikit demi sedikit Maharani mulai teringat dengan apa yang dialaminya beberapa saat lalu, hingga  membuatnya kembali ketakutan dan khawatir untuk mempercayai orang yang baru Ia kenal.

“Tidak, saya tidak mau teh, terima kasih karena sudah menampung saya selama saya pingsan. Tapi saya harus pulang,” ucap Maharani sambil menggeleng dan beranjak dari tempat tidur. Namun tanpa Ia sadari, tubuhnya masih lunglai sehingga Ia kembali tersungkur kelantai saat mencoba berjalan menuju pintu untuk keluar.

“Rani?” ucap Anggita dari pintu kamar yang hendak masuk untuk mengetahui kondisinya. Dengan cepat Anggita menghampiri gadis itu saat melihat Maharani terduduk kelantai.

“Bu Anggita?” Maharani semakin dibuat heran oleh keadaan yang kini menimpanya. Mengingat ucapan wanita paruh baya tadi yang sudah memberitahunya bahwa Ia sedang berada dirumah ‘Nyonya Anggita’, namun sama sekali tak terpikir oleh Maharani bahwa Nyonya tersebut adalah dosennya sendiri.

“Kamu mau kemana dengan keadaan yang masih lemah begini?” tanya Anggita.

Gadis itu tak lantas menjawab pertanyaan dari Anggita. Hanya senyuman getir yang tergambar dari wajahnya dan tak lama beberapa titik air mata mulai keluar dari kedua kelopak matanya.

Melihat Maharani hanya menangis tanpa menjawab pertanyaan darinya sungguh membuat Anggita semakin ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada mahasiswinya itu.

Dengan hati – hati  Anggita membantu Maharani untuk berdiri dan memapahnya untuk kembali duduk diatas tempat tidur.

“Bi Inah, tehnya di taro aja diatas meja ya, Bibi sekarang bisa kembali kedapur, saya mau ngobrol sebentar sama Rani,” ucap Anggita dengan gaya bicaranya yang lembut.

“Baik, Nyonya,” jawab wanita paruh baya yang ternyata merupakan asisten rumah tangga yang bekerja dirumah Anggita.

Bi Inah meninggalkan mereka berdua sesuai perintah Anggita, Maharani masih duduk termenung dan tak satu patah katapun keluar dari bibirnya.

“Ranii, saat kamu pingsan tadi, saya memanggil dokter untuk memeriksa bagaimana keadaanmu, dan dokter bilang tensimu sangat rendah dan tubuhmu begitu lemah. Coba ceritakan pelan – pelan, apa yang sebenarnya terjadi? Nggak mungkin kan kamu tiba – tiba berlari tanpa alasan? Saya rasa kamu cukup cerdas untuk tidak berlari ketengah jalan raya tanpa melihat situasi kendaraan disekitar, masih untung kamu hanya pingsan. Ayo ceritakan ke saya, ada apa sebenarnya?”

“Saya bingung, Bu, harus mulai dari mana,” jawab Maharani yang masih tertunduk lesu.

“Intinya aja dulu, biar saya bisa bantu kamu jika memang apa yang kamu alami saat ini adalah masalah yang cukup serius.”

“Tadiii, saya dikejar – kejar oleh sekelompok orang, Bu,” Maharani mulai bercerita.

“Lalu? Kamu kenal siapa mereka?” Anggita semakin penasaran.

“Saya hanya mengenal orang yang menyuruh mereka saja, Bu. Dia adalah Abimanyu, mantan bos saya saat saya bekerja paruh waktu di café yang nggak jauh dari kampus.”

“Lalu apa salah kamu sampe mereka harus mengejarmu seperti tadi?”

“Dia meminta saya untuk jadi istri ketiganya, dan saya menolak. Saya datang jauh – jauh dari kampung untuk melanjutkan sekolah saya, tapi untuk  urusan pernikahan sama sekali belum terpikir oleh saya sampai saya benar – benar bisa meraih cita – cita saya dan membuat keadaan ekonomi keluarga saya bisa lebih baik dari sebelumnya. Ditambah lagi jika harus menjadi istri ketiga, huuuft, itu benar – benar tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, Bu,” jawab Maharani.

“Jadi karena itu kamu dikejar – kejar oleh mereka?”

Maharani mengangguk pelan. Rasanya masih banyak yang ingin Ia sampaikan. Namun hati dan juga fisiknya terasa begitu lelah sejak Ia berurusan dengan lelaki bernama Abimanyu, hari – harinya tak lagi setenang dulu. Ia selalu dihantui rasa khawatir dan ketakutan. Bagaimana tidak, segerombolan orang suruhan Abimanyu selalu berkeliaran disekitanya, baik didepan rumah kostnya maupun dikampus. Hal itu yang membuat Maharani menjadi lebih hati – hati saat Ia tengah berjalan seorang diri. Namun apa yang Ia hadapi saat ini tak dapat Ia ceritakan pada kedua orang tuanya, karena jika mereka sampai tahu itu semua hanya akan membuat mereka turut khawatir.

“Ya sudah begini saja, demi keamananmu bagaimana kalau kamu tinggal disini? Kamu mau kan, Ran?” tanpa berpikir panjang dan tanpa berunding terlebih dahulu dengan sang suami, Anggita langsung menawarkan Maharani untuk tinggal bersama dengan keluarganya. Semula Ia hanya kagum pada kecerdasan dan kegigihan yang dimiliki oleh gadis itu, namun kali ini timbul rasa kasihan dan tak tega jika harus membiarkan gadis itu tinggal seorang diri dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.

Maharani menoleh kearah Anggita, “Tinggal disini?” tanyanya.

“Iya, masalahmu ini sudah termasuk masalah besar, Rani. Terlalu bahaya jika kamu harus tinggal di kost dengan bayang – bayang mereka. Saya membayangkannya saja sudah takut, lama kelamaan saya khawatir akan mengganggu konsentrasi kamu untuk belajar.”

Maharani merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Anggita ada benarnya. Semenjak itu, Ia tak lagi fokus untuk belajar. Untung saja Ia masih dapat mengikuti setiap mata kuliah dan tidak mempengaruhi nilai dan juga beasiswanya. Namun meski begitu tetap saja, keadaan yang menimpanya saat ini adalah suatu ketidakwajaran.

“Tapi, Bu, saya tidak mau merepotkan Bu Anggita dan keluarga,” ucap Maharani.

“Sama sekali tidak, Rani. Jika kamu disini, setidaknya kamu tidak akan menghadapi mereka sendirian. Didepan ada penjaga yang siang malam berjaga didepan rumah, saat kekampus kamu bisa ditemani Mang Ujang, dan saat dirumah kamu juga tidak sendiri ada Bi Inah, ada saya, suami dan juga anak – anak saya. Saya tidak sedang menakut – nakutimu, hanya saja situasimu saat ini memang sedang tidak baik – baik saja, Rani. Kamu boleh tinggal disini selama yang kamu mau, nanti disaat semua keadaannya sudah membaik, kamu bebas menentukan pilihan hidupmu,” papar Anggita.

Bak bertemu dewi penolong, kehadiran Anggita dalam hidup Maharani seakan memberi sedikit ruang baginya untuk bisa kembali bernafas lega. Setelah beberapa minggu kebelakang hidupnya terus menerus dilanda kegelisahan akan hadirnya Abimanyu dan para antek – anteknya.

Keadaan ini tidak hanya menguntungkan bagi Maharani, tapi juga Anggita yang sejak awal menginginkan gadis itu menjadi istri pengganti dirinya untuk suaminya. Awalnya Ia tak henti berpikir bagaimana cara agar mereka bisa dapat saling mengenal dan terkesan tanpa disengaja.

‘Mungkin memang ini cara Allah untuk mendekatkanmu dengan suamiku, Rani,’ lirih Anggita didalam hati.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status