Share

Bab 4. Harus Berpisah

Bab 4 Harus Berpisah

Keesokan harinya Maharani kembali menjalani aktivitasnya, sedikit lebih santai karena pagi ini Bu Ida sedang libur berjualan kue dipasar. Singkat cerita, Bu Ida adalah seorang pemilik kost yang selama ini Ia tinggali, biasanya sebelum berangkat kekampus untuk mengikuti kelas pagi, Ia membantu Bu Ida untuk berjualan kue – kue basah dipasar. Upah yang Ia terima sekiranya cukup untuk keperluan makannya sehari – sehari. Sedangkan untuk bisa mencukupi biaya kost dan juga menabung untuk keluarganya dikampung, Maharani rela bekerja paruh waktu dicafe dari sepulang kuliah hingga malam hari. 

Semula Ia pikir, hidupnya sudah berjalan dengan baik. Namun tak pernah Ia duga bahwa sang pemilik café yang bernama Abimanyu jatuh hati padanya sehingga menginginkannya menjadi istri ketiga. Permintaan tersebut tentu saja ditolak oleh Maharani karena tujuannya datang kekota ini adalah untuk melanjutkan pendidikannya dan belum memikirkan untuk menikah. Semenjak itu hidupnya menjadi tak tenang, karena selalu dibuntuti oleh orang – orang suruhan sang mantan majikan yaitu Abimanyu.

Pagi itu Ia turun dari bus tepat dihalte disebrang kampus. Benar saja, begitu Ia turun sudah ada 4 orang bertubuh kekar sedang duduk di atas motor mereka didekat pintu gerbang kampus. Untung saja suasana saat itu dipenuhi oleh banyaknya mahasiswa yang hilir mudik tiada henti. Dengan cerdiknya Maharani memasuki kampus dengan mempercepat langkahnya dan memilih untuk berjalan mengikuti kerumunan beberapa mahasiswa lainnya meski Ia tak mengenalnya, Ia lakukan itu agar tak terlihat oleh gerombolan preman tersebut.

Betapa melalahkannya hidupnya saat ini, berkali – kali lipat lebih lelah dari sebelumnya. Hidup dalam ketakutan dan tak tahu bagaimana cara melawan kelicikan Abimanyu. Sembari berjalan, kedoa bola matanya tetap awas memperhatikan keadaan disekitarnya.

Ditengan Ia melangkah dengan nafas yang tengah terengah – engah, tiba – tiba saja terdengar suara seseorang sedang memanggilnya.

“Raniiiii,” panggil seseorang tersebut.

Namun Maharani tak menghiraukan suara itu dan memilih untuk terus berjalan menuju kelasnya. Sadar bahwa Maharani mengacuhkan panggilan tersebut, namun tak membuat seseorang itu menyerah begitu saja, berkali – kali Ia mencoba memanggil gadis pesisir itu agar menoleh kearahnya tetapi hasilnya nihil. Sehingga mau tidak mau Ia harus sedikit berlari kecil agar dapat menyusul Langkah sang gadis.

“Raniii,” sapanya lagi dengan memelankan suaranya sembari mengatur kembali ritme nafasnya yang sedang terengah – engah.

“Fff-fa-faaa? Huuuft,” sahut Maharani dengan wajah tegang, namun sedikit lega bahwa seseorang yang memanggilnya sejak tadi itu adalah Faza Adyatma, mahasiswa pria jurusan seni rupa yang Ia kenal selama berada dikota.

“Iya, ini aku, Faza,” jawabnya pelan, seakan berusaha menenangkan ketakutan yang kini sedang dialami oleh Maharani.

“Ya Allah, aku kira siapa? Maaf ya Za, aku nggak langsung nengok.”

“Iya nggak apa – apa, aku paham karena kamu pasti lagi ngehindarin preman – preman itu kan?”

Maharani mengangguk dan menghela nafas panjang berkali – kali guna menetralkan kembali perasaannya. “Ada apa, Za?”

“Kamu selesai kuliah jam berapa hari ini, Ran? Kita makan yuk, sambil ngobrol.”

“Oh, boleh. Mmm, aku hari ini selsai jam 2, Za. Mau ketemu dimana?”

“Aku aja yang nunggu kamu dikampus sampe kamu selesai, kamu nggak boleh pergi – pergi sendirian. Biar kita cari tempat makannya sama – sama.”

“Oh, baiklah kalo giu, aku masuk dulu ya, Za.”

“Oke, Rani, sampe ketemu nanti siang ya,” Faza melambaikan tangan pada Maharani dengan terus menatap gadis itu hingga berlalu memasuki kelasnya.

‘Huuuft, apakah aku bisa mengatakan padanya?’ batin Faza.

***

Sementara menunggu jam kuliah Maharani selesai, Faza pergi menuju Fakulas Seni Rupa tepatnya ke studio lukis untuk membereskan beberapa alat praktiknya yang Ia simpan diloker mahasiswa miliknya. Saat membuka lokernya, terdapat beberapa buah lukisan yang Ia buat dengan tangannya sendiri. Namun dari beberapa lukisan tersebut, ada satu lukisan yang sangat mencuri perhatiannya. Lukisan seorang wanita yang tak asing bagi dirinya, yang sedang berdiri dengan menggenggam sebuah buku.

“Rani, aku tidak tau kapan tepatnya aku mulai menyayangimu. Hingga tak hanya namamu, bahkan wajahmu juga sudah terukir jelas dihatiku,” lirih lelaki itu seraya menatap lukisan tersebut.

Tak henti – hentinya Faza menatap lukisan itu, Ia sengaja melukis Maharani tanpa sepengetahuan sang gadis. Seketika ingatannya melayang jauh pada kejadian dua tahun lalu saat Ia dan Maharani pertama kali bertemu. Awalnya mereka berdua selalu saja bertemu dalam satu bus saat hendak pergi kekampus, wajah cantik alami tanpa poles riasan yang dimiliki oleh Maharani sangat mencuri perhatian Faza. Tak seperti gadis – gadis pada umumnya yang sering menggunakan riasan tebal untuk mempercantik diri, namun Maharani tetap pada kebiasaannya yang hanya menampilkan sisi alaminya namun tetap terlihat cantik.

Dengan seringnya mereka bertemu dibus tanpa sengaja, membuat Faza memberanikan diri untuk mendekatinya dan menawarkan pertemanan pada Maharani, hingga lambat laun rasa suka itu kian bersemi dihatinya dan membuatnya semakin jatuh hati pada Maharani.

“Za!” sebuah tepukan mendarat dibahu Faza yang sontak membangunkannya dari lamunan.

“Eh, elu Ram, apa kabar?” Faza bertanya pada sahabatnya bernama Rama.

“Baik, gimana? Lu jadi pindah?” pertanyaan Rama membuat Faza kembali teringat pada Maharani, yang akhirnya membuatnya kembali terdiam.

“Za! Za! Hei, kok ngelamun sih? Kenapa? Lu berat ninggalin Rani?” Rama bertanya langsung pada inti permasalahannya seolah memahami apa yang tengah dirasakan oleh sahabatnya.

“Hmmmmmm, entahlah, Ram, gua juga nggak tau.”

“Jangan gitu, lu pergi bukan karena keinginan lu kan, Za? Gue yakin kok, Rani bakal ngertiin kalo lu jelasin alasannya ke dia. Inget sob, kalo Rani emang jodoh lu, mau sejauh apapun lu berlari, Rani tetap akan kembali ke elu. Semangat dong.”

“Iya nih, gue juga nggak ngerti kenapa jadi bisa melow begini, cemen banget nggak sih gue, Ram?” Faza tersenyum getir seraya menggeleng pelan.

“Wajar sih, namanya juga orang lagi bucin. Ditambah lagi dengan masalah yang dihadapi sama Rani sekarang, sebagai orang yang sayang sama dia otomatis kan lu pasti pengen selalu ada buat dia.”

“Nah, itu maksud gue, Ram. Emang ya, lu itu emang sahabat gue,” faza menepuk bahu Rama.

“Udah, nggak usah lebai. Gue begini juga karena turut prihatin sih sama apa yang terjadi sama dia, gue berharap hubungan kalian berdua akan berhasil dan bahagia meski jalan yang kalian lalui mungkin nggak selalu mudah. Sukses ya, Za.”

“Makasih ya, Ram, gue nggak akan lupa kalo lu adalah salah satu teman terbaik gue yang gue kenal selama berada dikota ini.”

***

Selesai berkemas dan berbincang dengan Rama, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13:30. Faza bergegas membungkus rapi lukisan Maharani dan hendak diberikan pada gadis itu saat mereka bertemu sore ini.

Setibanya Ia di fakultas MIPA, tak lama kemudian Ia melihat Maharani kelua dari ruang kelasnya. Bergegas Faza menghampiri Maharani.

“Udah siap?” tanyanya lembut.

Maharani mengangguk. “Oh ya, Nad, aku duluan nggak apa – apa kan? Ada perlu sama Faza,” gadis itu berpamitan pada Nadira sahabatnya.

“Ya nggak apa – apa dong, have fun ya kalian. Oh ya, Za, titip jagain Rani ya,” ucap Nadira.

“Siap! Pasti aku jagain, Nad,” balas Faza sambil mengajak Maharani berjalan beriringan bersamanya.

Faza mengiring langkah Maharani untuk mengikutinya menuju parkiran motor. Maharani merasa aneh karena biasanya Faza selalu menaiki bus setiap hendak pergi kemanapun.

“Lho, kenapa kesini? Kenapa nggak langsung kehalte aja nunggu bus?” Maharani terheran.

“Terlalu bahaya, Ran, karena orang – orang itu udah tau kalo kita sering naik turun bus. Kayak yang udah – udah kan, mereka gampang banget ngikutin kita. Biar aman, kita pake motor aja. Aku udah siapin jaket dan helm, nanti dipake ya?” Faza menyodorkan helm beserta jaket pada Maharani.

“Tapi, ini motor siapa?” Gadis lugu itu masih saja bertanya – tanya.

“Tenang, ini bukan dapet nyuri kok, motor ini belum lama aku beli,” Faza terkekeh.

“Tapi...”

“Udah, ayo pake jaketnya, ada yang harus aku sampein ke kamu. Oh ya, tolong pegangin ini ya,” Faza memberikan sebuah bingkai yang terbungkus dengan rapi.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status