Share

Upaya Sera

Niat Sera bangun lebih pagi tak lain dan tak bukan adalah untuk menghindari bertemu sang Ayah. Namun Sera seperti tak tahu, bahwa niatnya itu sudah pasti akan sia-sia. Langkahnya yang pelan pun harus terhenti ketika suara Rahadian seolah ingin menjegal kedua kaki Sera.

"Mau kemana?" Tanyanya.

Tangan kurus Sera refleks meremat tali tas yang menyampir di pundak kanannya.

"Apa kamu tidak mengerti pada ucapan Ayah kemarin malam?"

Sera gemetar, tapi ia mencoba tak gentar.

Sekarang, atau tidak sama sekali.

"Beri Sera waktu 2 hari untuk pamit pada teman Sera ayah. Sera juga harus memberikan surat pengunduran diri Sera sebelum Sera pergi."

"Ayah rasa kamu tidak perlu melakukan itu."

"Ayah ku mohon. Sera tidak mau mengakhiri semua ini dengan kesan yang buruk. Sera ingin dunia Sera di 2 tahun kebelakang ini jadi memori yang bakal Sera ingat sebagai momen Indah Sera." Manik Sera menatap yakin, mencoba menembus pertahanan manik hitam Rahadian yang kelam.

"Sera tidak ingin meninggalkan dunia Sera dengan penuh penyesalan. Sera gak mau ninggalin semua orang begitu saja tanpa penjelasan." Sambungnya lagi namun sang Ayah tak juga merespon permintaannya.

Diam-diam Sera cemas. Dia merasa sedang berada di ambang hidup dan mati. Sera sudah memikirkan ini semalaman sampai dia tak cukup tidur dan dia harus memastikan semuanya berjalan seperti yang dia mau.

"Baiklah." Rahadian bangkit dari duduknya.

"Dua hari dan setelah itu semua dunia buatanmu harus berakhir."

Rasanya seperti Sera yang diberi kesempatan hidup dengan nafas tersenggal. Masih ada kesempatan untuk mengatur nafas menjadi lebih baik, tapi di waktu yang sama hidupnya akan di pertaruhkan ketika Sera lengah dan kehilangan nafas.

Sera berjalan cepat ke luar ketika tak mendapati sang Ayah di dekatnya lagi.

Pikirannya berkecamuk, hatinya gusar merasakan ketakutan luar biasa.

Baru kali ini Sera begitu takut akan kata GAGAL.

Karena jika kata itu terjadi padanya, Sera tidak tahu apakah dia bisa bertahan atau tidak.

•••

"Pagi Sera, cari Harsa ya?"

Sera mengangguk dengan senyum tipis di wajah cantiknya. Sengaja dia datang menghampiri Harsa di ruangan khusus mekanik di jam pagi seperti ini. Secepat mungkin Sera harus bicara karena sekarang ini waktu yang dia lewati setiap detiknya sangatlah berharga.

"Boleh panggilin mas Harsa nya, mas?"

"Boleh, sebentar ya. Barusan banget dia baru sampai."

Tak sampai 5 menit Sera menunggu, kini Harsa nampak berjalan menghampirinya. Bukan hal biasa melihat Sera sepagi ini di ruangannya.

"Kenapa yang?"

"Mas, bisa ngobrol sebentar?"

Entah kenapa, Harsa merasa ada sesuatu yang tidak baik-baik saja dalam diri Sera.

"Yang, kamu bercanda kan?" Sebisa mungkin Harsa bicara dengan sedikit nada candaan namun sepertinya Sera sedang tidak ingin di ajak bercanda.

Harsa menarik nafasnya dalam, oke...sepertinya kali ini benar-benar serius.

"Begini, yang..kamu tau sendiri kan di perusahaan ini kita gak bisa ngambil cuti secara mendadak?"

Sera menggeleng gusar, "mas..."

"Kamu kenapa? Kamu ada masalah?" Harsa menyela saat dia tahu Sera berusaha mencari seribu alasan.

"Aku....aku cuma lagi penat mas. Aku butuh suasana baru jadi aku pikir akan bagus kalau aku bisa ketemu ibu sama bapak kamu di kampung."

Tiba-tiba begini?

Maksud Harsa..dia tahu bahwa ini bukanlah kali pertama Sera mengatakan dia ingin bertemu dengan keluarga Harsa tapi, kenapa harus mendadak?

Dan memaksa?

"Yang kamu kalau lagi penat kan bisa cerita sama aku dulu. Kamu bisa curahin keluh kesah kamu ke aku. Nanti setelah itu baru aku bisa tentuin kapan kiranya aku bisa ambil cuti buat ajak kamu balik ke kampung."

Angin pagi berhembus menerbangkan anak rambut Sera.

Dan anehnya, angin pagi ini pun tak terasa menyegarkan untuknya.

Sera kalut, dia putus asa. Harsa bukanlah lelaki yang mudah untuk dikelabui. Lalu apa yang harus Sera lakukan sekarang?

Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya?

Bahwa sebenarnya dia adalah putri dari seorang Rahadian Bagaskara yang tidak lama lagi akan di jodohkan?

Tidak, tidak mungkin.

Sera tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Hatinya memiliki insting bahwa Harsa akan mengalah dan melepas Sera ketika tahu mereka tidak setara.

Dan Sera tidak mau itu terjadi.

"Mas, aku mohon.."

"Sera..."

Manik gadis cantik itu sontak memejam ketika kekasihnya memanggil nama. Itu berarti, Harsa sedang tidak ingin di bantah.

Tidak adakah cara lain?

Haruskah Sera turun tangan untuk meminta cuti atas nama Harsa? Bisakah?

Sera mendongak ketika rasakan usapan lembut di atas kepalanya. "Aku janji untuk secepatnya bawa kamu ke kampung halaman ku. Kamu yang sabar ya yang.."

Tidak, mas...waktuku tidak banyak.

Saat itu Harsa tak sengaja melihat Sera sedang berbicara pada seseorang yang tak lain adalah atasan Harsa.

Apa yang mereka bicarakan? — pikirnya.

Dalam hati Harsa berprasangka kalau Sera nekat meminta cuti atas namanya.

Kalau benar, Harsa sungguh tidak paham dengan apa yang terjadi pada Sera.

Gerak-geriknya seakan berbeda dari biasanya. Wajah yang biasanya nampak cerah dengan senyum yang senantiasa terpatri kini nampak muram dan layu.

Ingin sekali Harsa mendesak Sera untuk berkata yang sebenarnya. Dia tidak sampai hati melihat kekasihnya yang kini seperti menanggung beban besar di kedua pundaknya.

Namun lagi-lagi Harsa tidak ingin melewati batas privasi.

"Mas, besok kita udah bisa cuti. Malem ini harus kemas barang ya mas."

Dan benar saja dugaannya barusan. Sera nampak sangat bahagia dan tanpa beban ketika memberitahu kan kabar ini pada Harsa. Harsa sendiri tak tahu apa saja yang Sera katakan pada atasannya ketika meminta izin untuk memberikan cuti.

"Sera..."

"Kenapa mas? Segitu gak maunya kah mas bawa aku ke orangtuamu?" Binar matanya kembali lenyap.

Harsa yang lemah mau tak mau harus mengalah untuk kesekian kalinya.

Karena Harsa tidak ingin melihat senyum itu hilang terlalu lama.

"Oke, tapi...gak perlu kemas juga yang, kan cuma satu atau dua—"

"Satu minggu mas."

"Hah?"

"Kita cuti 1 minggu."

Bibir Harsa yang terbuka tak mampu berkata apa-apa.

Tolong, apakah ini semua hanya mimpi?

Apa hari ini hari yang spesial hingga Sera harus mengerjainya sampai sebegininya?

Lelucon apa ini? Satu minggu?

Apakah aku benar-benar hanya cuti? Atau di pecat?

"Sera bukankah itu terlalu lama?"

Dia tersenyum manis, kedua tangan mungilnya meraih tangan kiri Harsa untuk di genggam.

"Selama ini kamu udah kerja keras. Bukan hal besar bagi mereka buat ngasih kamu cuti 1 minggu."

Tunggu, bagaimana pun, rasanya ini tidak masuk akal.

"Sera tapi —"

"Besok jemput aku di depan gang jam 8 pagi."

Lagi, Sera tersenyum seolah tidak melakukan hal di luar nalar. Kemudian meninggalkan Harsa dengan segala kebingungannya.

Sera mengetuk pintu rumah yang telah 2 tahun terakhir dia tempati. Rumah dengan segala kesederhanaan dan kehangatannya yang mampu membuat Sera betah tinggal disana.

"Non Sera." Wanita paruh baya muncul dari balik pintu dan terkejut melihat gadis yang sejak kemarin di khawatirkan olehnya kini berdiri di depannya.

"Malam bi.." Sapa Sera yang langsung di sambut baik oleh Bi Siti.

"Non, non gak papa?" Adalah hal pertama yang ingin sekali Bi Siti tanyakan sejak anak itu pergi kemarin malam.

"Baik kok bi.."

"Beneran?"

Tawa kecil terdengar dari bibir yang lebih muda. "Bener."

Seakan tak puas, Bi Siti kembali bertanya, "Lalu Tuan? Tuan gimana non?"

Sera mendudukan diri di meja makan diikuti oleh Bi Siti. "Ayah gak papa Bi.."

"Non, bukan itu maksud Bibi..."

"Bi, Sera boleh minta tolong gak?" Bi Siti terdiam. Menatap was-was pada gadis muda kesayangannya.

Dia takut sang Nona meminta hal yang aneh-aneh.

"M-minta tolong apa non?"

"Tolong kemasin barang ku yang ada disini ya Bi.."

Bi Siti terkejut. Kenapa perasaannya jadi tidak enak?

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status