Tiga hari berlalu sejak Celline resmi mulai bekerja di Lucarelli Moda USA, Inc. Kehadirannya cepat mencuri perhatian. Setiap kali ia berjalan melewati lorong kantor dengan blouse putih sederhana dan rok pensil hitam, beberapa staf pria spontan menoleh. Ada yang berbisik, ada pula yang terang-terangan tersenyum ramah.
Namun, bukan hanya kecantikannya yang mencuri perhatian. Cara Celline bekerja dengan rapi, cepat, dan penuh detail juga membuat rekan-rekannya kagum. Ia tak pernah keberatan lembur, selalu siap menanggapi pertanyaan, bahkan mau membantu junior yang kesulitan menyusun laporan.
“Miss Celline, terima kasih sudah bantu saya kemarin,” ucap seorang staf pria di divisi marketing saat berpapasan di pantry.
Celline hanya tersenyum hangat. “Sama-sama. Semoga report kamu sudah rapi ya?”
“Iya, berkat masukanmu Miss.” Staf itu tampak malu-malu.
Pemandangan itu tak luput dari pengamatan Clara, sekretaris pribadi CEO Alessandro Romano. Dari balik meja resepsionis di lantai eksekutif, mata Clara menyipit. Bibirnya terkatup rapat, menyembunyikan rasa kesal.
Sebelum kedatangan Celline, dialah ratu tak tertulis di kantor ini. Selalu tampil dengan gaun elegan, sepatu hak tinggi, dan riasan tebal yang sempurna. Semua pria memuji, semua wanita segan. Tapi kini, perhatian banyak orang teralih pada wanita baru itu—yang bahkan hanya berdandan natural.
“Ah, dasar sok polos,” gumam Clara lirih, menatap langkah ringan Celline yang semakin menjauh.
Bukan hanya soal perhatian. Clara punya ambisi besar: menjadi istri seorang pria kaya. Dan target utamanya tak lain adalah CEO muda, Alessandro Romano. Pria tampan berusia tiga puluh lima tahun itu baru setahun memimpin Lucarelli Moda USA. Dengan aura karismatik, postur tegap, dan kemampuan memimpin, Alessandro adalah idaman para wanita di kantor.
Clara merasa dirinya kandidat paling cocok untuk berdampingan dengan Alessandro. Tapi kini, dengan hadirnya Celline, ancaman itu terasa nyata.
Siang itu, ruang rapat utama diisi belasan staf. Inzaghi berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan grafik penurunan laba perusahaan dalam dua kuartal terakhir. Celline duduk di sampingnya, sesekali menambahkan penjelasan dengan suara lembut tapi tegas.
“Kita bisa lihat, ada ketidaksesuaian antara biaya promosi dan tingkat penjualan,” jelas Inzaghi, telunjuknya menunjuk layar. “Tim operasional perlu melakukan evaluasi kontrak vendor.”
Celline menyambung, “Selain itu, laporan keuangan bulan lalu menunjukkan adanya inefisiensi di bagian distribusi. Jika jalur logistik diperbaiki, biaya bisa ditekan hingga 15%.”
Seorang staf keuangan mengangguk. “Benar, Miss Celline. Kami juga menemukan duplikasi biaya di beberapa cabang.”
“Bagus,” Celline menanggapi, senyumnya memberi semangat. “Mari kita catat itu untuk perbaikan sistem audit internal.”
Inzaghi melirik Celline sejenak. Ada rasa puas melihat wanita itu bekerja serius, penuh perhitungan, seakan tak gentar di hadapan ruangan penuh orang. Ia lalu menegaskan, “Kita tak bisa membiarkan masalah ini berlarut. Minggu depan, saya ingin solusi konkret dari tiap divisi.”
“Siap, Mr. Inzaghi!” serentak staf menjawab.
Rapat berjalan dinamis. Beberapa kali Celline mendapat pujian kecil dari staf pria yang kagum dengan analisisnya.
“Wow, detail sekali, Miss Celline.”
“Cara Anda menyederhanakan data sangat membantu.”Celline hanya menanggapi dengan senyum singkat. Namun dari sudut ruangan, tatapan Clara tajam menusuk punggungnya. Sekretaris itu duduk dengan catatan di tangan, tapi pikirannya hanya dipenuhi rasa tidak suka.
Usai rapat, para staf berangsur keluar. Clara sengaja mendekati meja CEO, yang ikut hadir dari awal.
“Mr. Romano, apa Anda ingin saya susun laporan ringkas rapat tadi?” Clara tersenyum manis, nada suaranya dibuat selembut mungkin.
Alessandro mengangguk singkat. “Silakan.”
Sebelum Clara sempat menambahkan sesuatu, Alessandro menoleh ke arah Celline yang sedang merapikan berkas. “Miss Celline, analisis Anda tadi sangat membantu. Teruskan gaya kerja seperti itu.”
Celline menunduk sopan. “Terima kasih, Mr. Romano. Saya hanya melakukan tugas saya.”
Clara merasakan darahnya mendidih. Alessandro jarang memberi pujian langsung, tapi kini ia mengatakannya di depan umum—kepada Celline.
Setelah semua orang keluar, Clara berjalan beriringan dengan seorang rekan wanita, masih dengan wajah masam.
“Kenapa semua orang tiba-tiba memuji si pendatang baru itu?” gerutunya.
Rekan kerjanya terkekeh kecil. “Mungkin karena dia memang pintar, Clara.” “Huh, pintar atau pintar pura-pura. Kita lihat saja nanti.”***
Di halaman kecil Starlight Kids Academy, anak-anak berlarian saat jam istirahat. Nicholas tampak duduk di bangku taman dengan kotak makanannya, sementara Sera dan Tian menghampiri.
“Nick, lihat!” Sera mengeluarkan gantungan unicorn mungil berwarna ungu dari tasnya. “Ini aku bawa dari Italy. Mommy beliin waktu kita jalan-jalan di Florence. Cantik kan?”
Mata Nicholas berbinar. “Waaaah, unicorn! Boleh aku pegang?”
“Tentu!” Sera langsung menaruh gantungan itu di telapak tangan Nicholas. “Kalau kamu suka, aku kasih untukmu. Biar kita punya kenang-kenangan persahabatan.”
Nicholas terkejut. “Beneran? Kamu mau kasih unicorn ini ke aku?”
“Iya lah!” Sera mengangguk cepat. “Aku kan punya banyak gantungan lain. Yang ini spesial buat kamu.”
Nicholas memeluk gantungan unicorn itu erat-erat, lalu tertawa kecil. “Thanks, Sera! Aku janji bakal jaga ini baik-baik. Besok aku juga bawa mainan dari rumah, biar kita tukeran.”
Bastian yang dari tadi hanya mengunyah apel menimpali dengan nada cool. “Jangan kasih mainan murahan ya. Sera kasih unicorn kesayangannya.”
Nicholas mengangguk mantap. “No, no! Aku bakal bawa robot keren. Yang bisa berubah jadi mobil!”
“Whoaa!” Sera langsung bertepuk tangan senang. “Aku mau lihat besok!”
Ketiganya tertawa bersama. Hubungan mereka makin akrab, seolah sudah bersahabat lama.
Hingga sore hari, halaman depan taman kanak-kanak itu dipenuhi mobil jemputan. Celline turun dari mobil bersama Inzaghi untuk menjemput si kembar. Sera dan Bastian berlari kecil menghampiri.
“Mommy!” seru Sera ceria sambil melompat ke pelukan ibunya.
“Mommy, Nicholas mau kasih aku robot besok!” tambahnya dengan mata berbinar.Celline tersenyum sambil membelai rambut putrinya. “Wah, seru sekali. Mommy senang kalian punya teman baru.”
Namun senyumnya seketika memudar saat matanya menangkap sosok pria tinggi yang baru saja melangkah masuk ke gerbang. Dada Celline berdegup kencang. Itu—itu Jayden.
Pria itu tampak gagah dalam setelan kerja hitam, langkahnya tegas menuju arah anak-anak. Celline panik. Napasnya tercekat, tangannya langsung menggenggam erat tangan Sera dan Bastian.
“Tian, Sera, ayo cepat. Kita harus pergi sekarang.” Suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Sera menatap ibunya bingung. “Eh? Tapi Nicholas belum pamit, Mommy.”
“Besok kan masih bisa main lagi,” jawab Celline terburu-buru. Ia melirik sekilas ke arah Jayden yang semakin dekat.Jayden sendiri hanya sempat melihat punggung seorang wanita yang tergesa menarik kedua anak. Rambut cokelat bergelombang yang terasa… begitu familiar. Alisnya sedikit berkerut. Siapa tadi? Kenapa seperti pernah aku lihat…
Namun ia tak sempat berpikir lebih jauh. Nicholas sudah berlari menghampirinya. “Uncle Jayden!” seru bocah itu, langsung memeluk pinggangnya.
Jayden mengalihkan perhatiannya penuh pada sang keponakan. “Bagaimana hari ini, Nick? Senang di sekolah baru?”
“Very fun! Aku punya teman baru, Uncle! Yang aku ceritain kemarin” jawab Nicholas penuh semangat.Sementara itu, dari kejauhan, Celline menunduk, berjalan cepat ke arah mobil. Tangannya masih gemetar. Ia tahu, ia tak boleh bertemu Jayden sekarang. Tidak setelah semua yang terjadi.
Di dalam mobil, Sera masih merengek kecil. “Mommy, kenapa buru-buru banget tadi? Aku belum pamit sama Nicholas.”
Celline berusaha tersenyum, menenangkan. “Besok kamu bisa main lagi, sayang. Mommy hanya… ingat ada urusan.”
Bastian yang duduk di samping Sera justru terdiam. Pandangannya lurus ke luar jendela, matanya menyipit. Ia jelas mengingat pria tadi.
“Itu orang yang Mommy takuti di bandara dulu,” bisiknya lirih tanpa ada seorangpun yang mendengar.
Hening sejenak memenuhi mobil. Inzaghi yang duduk di kursi depan melirik ke kaca spion, menyadari ketegangan di belakang.
Sera masih belum mengerti apa-apa. Ia hanya memeluk unicorn kecil di tasnya sambil bergumam riang, “Aku harap Nicholas suka banget sama gantungannya.”
Namun dalam hati Bastian sudah membuat keputusan kecil: ia harus hati-hati. Jika pria itu bagian dari keluarga Nicholas, maka cepat atau lambat mereka akan terlibat. Dan ia harus melindungi Mommy, apapun yang terjadi.
Tiga hari berlalu sejak Celline resmi mulai bekerja di Lucarelli Moda USA, Inc. Kehadirannya cepat mencuri perhatian. Setiap kali ia berjalan melewati lorong kantor dengan blouse putih sederhana dan rok pensil hitam, beberapa staf pria spontan menoleh. Ada yang berbisik, ada pula yang terang-terangan tersenyum ramah.Namun, bukan hanya kecantikannya yang mencuri perhatian. Cara Celline bekerja dengan rapi, cepat, dan penuh detail juga membuat rekan-rekannya kagum. Ia tak pernah keberatan lembur, selalu siap menanggapi pertanyaan, bahkan mau membantu junior yang kesulitan menyusun laporan.“Miss Celline, terima kasih sudah bantu saya kemarin,” ucap seorang staf pria di divisi marketing saat berpapasan di pantry.Celline hanya tersenyum hangat. “Sama-sama. Semoga report kamu sudah rapi ya?”“Iya, berkat masukanmu Miss.” Staf itu tampak malu-malu.Pemandangan itu tak luput dari pengamatan Clara, sekretaris pribadi CEO Alessandro Romano. Dari balik meja resepsionis di lantai eksekutif, ma
"Akhirnya kita sampai juga…" Celline menaruh kartu apartemen di atas meja kecil dekat pintu, sementara Seraphine langsung berlari kecil masuk ke ruang tamu."Wow, Mommyyy! Besarnya!" Sera memeluk bantal sofa dengan riang. "Kamar aku yang mana? Aku mau yang ada jendela besar biar bisa lihat bintang!"Celline terkekeh, melepas jaket tipisnya. "Sabar, sayang. Kita beresin dulu koper-kopernya, baru pilih kamar. Bastian juga harus pilih.""Aku tidak masalah, Mom." Bastian menurunkan koper kecilnya ke sudut ruangan, ekspresinya tetap datar. "Asal bersama Mommy, aku tidur di mana saja.""No... Kam jangan begitu sayang, kamu juga harus punya kamar nyaman juga," Celline mengusap kepala putranya. Hatinya bergetar setiap kali melihat sifat dewasa si kembar, meski mereka baru berusia lima tahun.Seraphine menyusul ibunya, wajahnya sumringah. "Mommy nanti kita boleh hias kamar tidak? Aku mau tempel gambar unicorn!""Tentu saja boleh," Celline mencubit gemas pipi anaknya. "Tapi hiasnya pelan-pelan,
"Mommy berangkat kerja dulu, sayang." Celline menunduk memberi kecupan di kening Seraphine dan Sebastian setelah mereka turun dari mobil.Seraphine melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. "Bye-bye Mommy! Jangan lupa nanti makan siang bersama ya!"Sebastian hanya mengangguk singkat, ekspresi wajahnya tetap serius seperti biasa. "Jangan telat Mom."Celline tersenyum samar, menatap kedua buah hatinya yang berlari masuk ke gerbang Scuola dell’Infanzia Arcobaleno, taman kanak-kanak penuh warna yang selalu riuh oleh suara tawa anak-anak. Begitu melihat mereka menghilang ke dalam kelas, Celline menarik napas panjang. Perjuangan hari ini baru saja dimulai. Ia pun melanjutkan perjalanan ke kantor."Selamat pagi, Signora Celline." Resepsionis menyapa ramah begitu ia masuk ke gedung megah Lucarelli Moda S.p.A."Selamat pagi." Celline mengangguk sambil tetap tersenyum sopan.Lucarelli Moda S.p.A. adalah salah satu perusahaan mode terbesar di Italia. Didirikan puluhan tahun lalu, perusahaan ini
Enam Tahun KemudianMilan - ItalySuasana pagi di taman kanak-kanak itu begitu riuh. Anak-anak berlarian di halaman, beberapa asyik menggambar, ada pula yang sibuk memainkan balok warna-warni. Celline berdiri di tepi pagar, melambaikan tangan sambil tersenyum lembut. “Sera, Tian, Mommy pulang dulu ya. Main yang baik.” “Okay, Mommy!” jawab Sera sambil tersenyum lebar, dua kepang rambutnya bergoyang lucu. Sedangkan Bastian hanya mengangguk singkat, tatapan matanya yang tajam membuat beberapa orangtua lain sampai berbisik-bisik—karena mata itu bukan mata anak kecil biasa.Semula semua baik-baik saja. Sera asyik menggambar bunga di kertasnya, sementara Bastian duduk di sampingnya, merakit balok-balok tinggi. Namun suasana damai itu pecah ketika sekelompok anak yang dipimpin seorang bocah laki-laki bernama Luka datang menghampiri. Luka, bocah berambut pirang dengan gaya sok jagoan, menatap Sera dengan senyum mengejek.“Hahaha, lihat! Dia kan anak yang tidak punya Daddy!” Luka menunjuk Ser
Tubuh Celline bergetar pelan ketika bibir Jayden masih menempel di lehernya. Nafas mereka sama-sama memburu, bercampur dengan keringat yang mengalir. Seprai putih di bawah mereka kusut tak karuan, pakaian berserakan di lantai, seolah menyimpan rahasia yang tak boleh terungkap siapa pun.“Jay..” suara Celline lirih, nyaris tenggelam dalam desahan.Jayden tidak menjawab, hanya menarik pinggang Celline lebih erat. Sentuhan itu membuatnya sekali lagi kehilangan kendali. Waktu seakan berhenti ketika mereka hanyut dalam hasrat yang tak pernah berhasil mereka redam.Beberapa menit kemudian, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya getaran ponsel yang mengalun di sana. Jayden meraih ponselnya yang bergetar di atas nakas. Wajahnya langsung berubah. Nama “Bella” terpampang jelas di layar.Jayden menghela napas berat. “Aku harus pergi.”Celline meraih lengannya, matanya berkaca-kaca. “Jangan sekarang. Tinggalah sedikit lebih lama, Jay.”Jayden menepis pelan tangan itu. “Bella mencariku. Kau tahu ak