Mag-log inMobil hitam yang dikendarai Jayden melaju mulus di jalanan Washington sore itu. Nicholas duduk di kursi belakang dengan wajah penuh semangat, tangan mungilnya menggenggam erat gantungan unicorn pemberian Seraphine.
“Uncle, lihat ini! Sera kasih aku gantungan unicorn dari Italia!” serunya sambil mengangkat mainan itu tinggi-tinggi, seolah itu harta karun.
Jayden melirik lewat kaca spion. Bibirnya melengkung tipis. “Unicorn, hm? Sepertinya kamu sangat menyukainya.”
“Yes! Dan tahu tidak, Bastian juga kasih aku mobil mainan Ferrari. Katanya itu koleksi favoritnya dari Italy. Uncle, mereka baik banget, aku suka sekali main sama mereka!” Nicholas terus berbicara dengan antusias.
Jayden hanya mengangguk pelan. Ada rasa heran yang muncul dalam dirinya. Nicholas biasanya butuh waktu lama untuk akrab dengan orang baru. Tapi kali ini, hanya dalam beberapa hari, ia begitu dekat dengan dua anak kembar itu.
“Mommy mereka juga cantiiiiik banget,” Nicholas menambahkan polos, matanya berbinar. “Dan Daddy mereka tampan, mirip kayak Uncle Jayden. Tapi Mommy mereka lebih cantik dari Aunty Bella, bahkan lebih baik juga.”
Jayden terdiam sejenak. Senyuman getir melintas di wajahnya. Anak kecil memang suka bicara apa adanya, tanpa filter. Namun ucapan itu membuat dadanya terasa sesak. Ia hanya bisa menanggapi dengan gumaman lirih.
“Ya… anak-anak memang jujur.”
Nicholas tak berhenti berceloteh, sementara Jayden membiarkan dirinya larut dalam pikiran. Ada sesuatu dalam cerita bocah itu yang menimbulkan rasa penasaran mendalam, tapi ia memilih untuk menahannya.
Sesampainya di mansion keluarga Carter, Jayden turun dan dengan mudah menggendong Nicholas yang mulai menguap kelelahan. Mereka masuk ke ruang keluarga yang luas dengan aroma apel segar memenuhi udara.
Di sofa elegan, ibunya, Melanie Carter, tampak serius membaca majalah fashion edisi terbaru. Sementara di sudut lain, Scarlett—kakak perempuan Jayden sekaligus mommy Nicholas—sedang mengupas apel dengan santai. Rupanya, ia sudah kembali dari Rusia tanpa memberi kabar.
“Lihat siapa yang datang!” Scarlett bersuara ringan begitu melihat adiknya. Ia tersenyum penuh arti. “Kau terlihat sangat cocok menjadi seorang ayah, Jay.”
Jayden mendengus kecil, meletakkan Nicholas yang tertidur di pangkuan Scarlett. “Aku hanya menjemput keponakanku. Itu saja.”
Scarlett terkekeh. “Tetap saja, caramu menggendong Nicholas, caramu menyayanginya… semua itu sangat natural. Seolah-olah kau memang ditakdirkan menjadi ayah.”
Sebelum Jayden sempat membalas, suara ibunya tiba-tiba menyahut, dingin namun penuh tekanan. “Sayangnya, sudah lima tahun pernikahanmu dengan Bella, dan belum ada cucu yang bisa kupeluk.”
Jayden menoleh, sorot matanya mengeras. “Bukankah ada Nicholas? Ia sudah seperti anakku sendiri.”
Melanie menurunkan majalahnya, menatap lurus pada putranya. “Jangan berkelit, Jay. Nicholas memang cucu kami, tapi ia bukan tanggung jawabmu. Aku ingin cucu dari darah dagingmu sendiri. Dari pernikahanmu. Apa terlalu sulit bagimu dan Bella untuk memberi keluarga ini seorang penerus?”
Scarlett menatap bergantian antara ibunya dan adiknya, suasana yang awalnya ringan mendadak berubah tegang.
Jayden menarik napas panjang. “Aku dan Bella sibuk, Mom. Banyak hal yang harus kami urus. Anak bukanlah hal yang bisa dipaksakan hanya untuk memenuhi ambisi keluarga.”
“Ambisi?” nada suara Melanie meninggi. “Kau pikir ini sekadar ambisi? Ini kewajiban, Jayden! Kau pewaris utama keluarga Carter. Tanggung jawabmu bukan hanya menjaga perusahaan, tapi juga memastikan garis keturunan tetap ada. Pamanmu sudah memiliki enam cucu? Sedangkan kami? Hanya ada Nicholas. Lima tahun menikah, nihil!”
Kata-kata itu menghujam seperti pisau. Scarlett memilih diam, tak ingin ikut memperkeruh suasana. Ia hanya menepuk lembut punggung Nicholas yang masih tertidur, seolah berusaha mengalihkan perhatian.
Jayden menatap ibunya dengan sorot penuh kelelahan. “Apakah semua yang kulakukan selama ini tidak cukup? Aku menjaga perusahaan, aku menjaga nama baik keluarga, aku menjaga semuanya. Tapi rupanya di mata kalian… semua itu tidak ada artinya tanpa seorang anak.”
“Tidak cukup, Jayden,” jawab Melanie tegas, matanya berkilat. “Selama kau belum memberi kami cucu, posisimu sebagai pewaris keluarga Carter bisa saja dipertanyakan.”
Hening menelan ruangan. Jayden mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia ingin membantah, tapi tahu percuma. Apa pun yang dikatakannya tak akan bisa mengubah obsesi ibunya pada cucu dan penerus.
Akhirnya ia hanya berbalik, melangkah menuju tangga dengan jas yang masih menempel di pundaknya.
“Aku lelah,” ucapnya singkat sebelum menghilang ke lantai atas.
Scarlett menghela napas, lalu menoleh pada ibunya. “Mom… kau terlalu keras pada Jay.”
Melanie menutup kembali majalahnya dengan bunyi plak. “Aku hanya realistis, Scarlett. Keluarga Carter tidak bisa dipertaruhkan hanya karena emosi atau keengganan anakku untuk berkomitmen penuh.”
Scarlett memeluk Nicholas yang terlelap, senyum tipis terlukis di bibirnya. “Entah kau sadar atau tidak, Mom, tapi cara seperti ini hanya akan membuat Jayden semakin jauh… bahkan mungkin semakin tertekan.”
Melanie tak menjawab, matanya hanya menatap kosong ke arah jendela besar mansion, seakan terbenam dalam pikiran yang lebih gelap daripada sekadar keinginan akan seorang cucu.
Ruang keluarga mansion Carter yang megah terasa hening sesaat setelah Jayden meninggalkan percakapan sengit tadi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Melanie, sang ibu, menurunkan kembali majalahnya dan menatap Scarlett yang sibuk menenangkan Nicholas di pelukannya.
“Kau tahu, Scarlett,” suara Melanie terdengar pelan, tetapi sarat tekanan, “coba bandingkan dengan keluarga adik ayahmu. Rumah mereka selalu ramai dengan tawa enam cucu. Sementara kita?” ia menghela napas panjang. “Rumah ini sunyi, kecuali jika Nicholas kebetulan menginap. Kalau suatu saat kau membawanya kembali ke rumahmu, mansion ini akan kembali terasa kosong.”
Scarlett menoleh pelan, alisnya bertaut. “Mom, kau tidak bisa membandingkan begitu saja. Hidup setiap orang berbeda, pilihan juga berbeda. Jayden dan Bella mungkin punya rencana mereka sendiri.”
Melanie mengibaskan tangan, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Rencana? Lima tahun pernikahan tanpa seorang anak bukanlah rencana, Scarlett. Itu kelalaian. Kau tahu sendiri bagaimana ayah dan kakek kalian. Mereka masih sangat mementingkan garis keturunan, apalagi dari pihak laki-laki. Jika Jayden tidak segera memberi cucu, posisinya sebagai pewaris Carter bisa terancam.”
Scarlett terdiam. Ia tahu ibunya tidak berlebihan. Sang kakek dan ayah memang keras kepala, dan persaingan dengan keluarga adik ayah mereka sudah berlangsung lama. Hanya saja, ia kasihan melihat adiknya terus ditekan dengan cara seperti itu.
“Mom,” Scarlett akhirnya bersuara lembut, “menikah dan punya anak bukan sekadar kewajiban keluarga. Itu kehidupan pribadi. Kalau kau terus memaksa, aku takut Jayden justru semakin menjauh.”
Melanie mendesah keras, seolah tidak ingin mendengar alasan apa pun. “Aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah masa depan keluarga ini. Jika Jayden tidak bisa menunaikan kewajibannya, mungkin ayahmu harus mulai mempertimbangkan cucu laki-laki dari garis lain.”
Kata-kata itu terasa seperti ancaman yang menusuk udara. Scarlett menatap ibunya lama, tapi memilih bungkam. Ia tahu, berdebat dengan Melanie hanya akan memperkeruh suasana.
Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Jayden kembali turun, kali ini tanpa jas, hanya dengan kemeja yang sedikit terbuka di bagian kerah. Ekspresinya dingin, tapi sorot matanya menyiratkan kemarahan yang dipendam.
“Jayden,” panggil Melanie, nadanya masih berusaha tegas namun tidak setajam tadi. “Kau harus mengerti, semua ini untuk kebaikanmu juga. Aku tidak ingin melihat posisimu digoyahkan hanya karena kau tidak mampu memberikan cucu.”
Jayden menghentikan langkahnya, berdiri tegak di depan ibunya. Rahangnya mengeras, dan tangan kirinya mengepal di sisi tubuh. “Setiap kali aku datang ke rumah ini, selalu saja topiknya cucu, cucu, dan cucu. Tidak ada hal lain yang bisa kita bicarakan, Mom?”
Scarlett melirik ke arah Jayden, mencoba memberikan isyarat agar ia tidak terpancing emosi. Tapi adiknya sudah terlalu jenuh.
“Jay,” Scarlett mencoba menengahi, “Mom hanya khawatir…”
Jayden menoleh cepat, menatap kakaknya dengan tajam. “Aku tahu apa yang Mom khawatirkan, Scarlett. Aku juga tahu apa yang Grandpa pikirkan. Mereka selalu menganggapku mesin pewaris yang tugasnya hanya bekerja dan memperbanyak keturunan. Apa semua pengorbananku selama ini tidak cukup?”
Melanie berdiri, wajahnya menegang. “Tidak akan cukup sampai kau menunaikan kewajiban itu, Jayden. Tanpa cucu, tanpa penerus, semua kerja kerasmu bisa lenyap begitu saja. Kau tahu bagaimana keluarga pamanmu menunggu kesempatan itu!”
Jayden mendengus, rasa muak tercermin jelas di wajahnya. “Lucu sekali. Seolah semua pencapaian, semua jam kerja tanpa henti, semua yang kulakukan demi perusahaan… tidak ada artinya hanya karena Bella dan aku belum punya anak.”
“Karena memang begitulah kenyataannya!” potong Melanie, nadanya tajam seperti cambuk.
Scarlett menghela napas panjang, menunduk pada Nicholas yang masih tertidur, berusaha menjauhkan telinganya dari ketegangan keluarga yang membara.
Jayden menatap ibunya lama, kemudian kepalanya tertunduk, seolah mencoba menahan sesuatu yang mendidih dalam dirinya. Saat ia kembali mendongak, tatapannya tajam dan dingin.
“Kalau begitu,” ucapnya pelan namun penuh amarah, “mungkin Mom sebaiknya berdoa saja. Berdoa agar suatu hari ada seorang wanita yang tiba-tiba muncul di depan pintu ini, membawa seorang anak kecil… lalu mengaku bahwa itu adalah anakku.”
Tiga hari setelah dirawat, Celline akhirnya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia senang bisa kembali ke mansion bersama keluarga. Udara pagi terasa segar ketika mobil memasuki gerbang mansion. Dari kejauhan, ia bisa melihat para pelayan, Dominic, dan Melanie berdiri di teras seolah sedang menyambut seseorang yang kembali dari perjalanan jauh.Begitu ia turun dari mobil, Sera langsung berlari menghampiri dengan wajah cerah. “Mommy! Mommy harus hati-hati. Mommy sekarang bawa baby, tidak boleh capek-capek!” katanya sambil memegangi lengan Celline seolah sedang mengawal seorang pasien khusus.“Pelan-pelan, Sera. Mommy masih bisa berjalan sendiri,” jawab Celline sambil tersenyum kecil.Di sisi lain, Bastian hanya menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, memandang adiknya sekilas tanpa antusias berlebih. “Sera heboh sekali dari pagi,” gumamnya pelan.Melanie memeluk Celline penuh kehangatan. “Selamat datang kembali, sayang. Syukurlah kamu sudah jauh lebih baik. Kam
Koridor MedStar Washington Hospital Center dipenuhi langkah tergesa Jayden. Napasnya kacau, dadanya naik turun—antara marah, cemas, dan rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Bajunya belum sempat dirapikan, dasi yang tadi pagi ia kenakan kini terlepas dan terjuntai begitu saja.Ia baru tiba setelah dua jam terjebak kemacetan parah akibat kecelakaan beruntun di jalan raya. Selama perjalanan, setiap detik terasa seperti siksaan. Berkali-kali ia memukul setir mobil, berusaha menahan kepanikan yang semakin menyesakkan dada.Inzaghi hanya sempat mengirim pesan singkat:“Celline pingsan. Kami dalam perjalanan ke RS. Tolong segera menyusul, Sir.”Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada detail. Itu membuat Jayden hampir kehilangan kendali sepanjang jalan.Saat mencapai nurse station, ia langsung bertanya dengan nada tegang, “Celline Carter, ruang berapa?”Perawat menunjuk ke kanan. “Ruang perawatan VIP 3, Sir.”Jayden tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung berlari.Pintu rua
Pagi itu Lucarelli tampak sama seperti biasanya—padat, rapi, dan sibuk. Namun bagi Celline, ada sesuatu yang terasa ganjil. Sejak semalam ia sulit tidur, bukan karena pekerjaan, melainkan karena perasaan tidak enak yang tidak dapat didefinisikan. Ia mengabaikannya, berusaha fokus pada laporan dan persiapan campaign baru yang harus ia kirimkan sebelum sore.Menjelang siang, ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.“Ma’am, ada pesanan makanan untuk Anda. UberEats,” ujar salah satu office boy sambil setengah mengintip ke dalam.Celline mendongak dengan kening berkerut.“Aku tidak merasa memesan apa pun.”“Kurirnya bilang ini sudah dibayar lunas, Ma’am. Atas nama Anda.”Sekilas, pikiran Celline langsung tertuju pada Jayden. Tetapi ia menggeleng cepat. Jayden bukan tipe yang memesan makanan diam-diam. Kalau ingin makan siang bersama, pria itu akan muncul langsung di mejanya dan menyeretnya keluar tanpa kompromi.“Baik, taruh saja di sini,” ujar Celline akhirnya, meski hatinya ragu.K
Penerbangan dari Maldives mendarat mulus di Washington. Udara sore terasa lebih sejuk dibandingkan beberapa minggu lalu ketika mereka berangkat. Begitu keluar dari pintu kedatangan, Celline merapatkan cardigan tipisnya, sementara Jayden menarik koper sambil sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil yang tidak pernah bisa ia sembunyikan sejak hari pernikahan.Perjalanan honeymoon mereka memang singkat mengingat pekerjaan di kantor masing-masing masih menumpuk, tetapi cukup untuk membuat Jayden semakin lengket seperti lem. Hampir setiap malam ia selalu mencari alasan untuk tidak membiarkan Celline jauh darinya. Untung saja Celline menikmati waktunya—meskipun beberapa kali ia harus menahan malu karena tingkah laku suaminya yang tidak mengenal tempat dan waktu.Mobil keluarga Carter sudah menunggu di depan terminal bandara. Leon menyambut keduanya dengan sopan. “Welcome back, Sir, Ma’am.”Celline tersenyum. “Terima kasih, Leon.”Jayden merangkul pinggang Celline, seolah masih belum bi
Warning! Harap bijak ya. Matahari Maldives sudah terbenam ketika Celline akhirnya melewati pintu kamar hotel mewah mereka, tubuhnya lemas setelah perjalanan panjang dari Washington. Koper-koper masih berantakan di lantai, tapi dia tak punya tenaga lagi untuk mengurusnya. Yang dia inginkan hanyalah mandi air panas dan tidur—setidaknya, begitu pikirannya sebelum pintu kamar terbuka dengan keras, diikuti oleh langkah kaki Jayden yang penuh keyakinan.Jayden masuk seperti badai, matanya langsung membara saat melihat Celline berdiri di tengah ruangan, kemeja tidur sutra tipisnya menempel pada kulit yang masih berkeringat. Dia tak memberi kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, tangannya sudah mengait pinggang Celline, menariknya ke tubuhnya yang keras dan panas."Sudah lama aku menunggu ini," suaranya serak, bibirnya langsung menempel di leher Celline, giginya menggigit kulit sensitif di sana sampai wanita itu mengerang.Celline mencoba melawan, tapi tubuhnya berkhianat. Kelelahan seket
Seminggu berlalu sejak malam penuh haru di taman Mansion keluarga Carter. Hari itu, matahari bersinar cerah seolah ikut merayakan kebahagiaan yang akhirnya datang setelah sekian lama ditunggu. Hari di mana Jayden Carter dan Celline Anderson resmi disatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pernikahan diadakan di ballroom mewah milik keluarga Carter — tempat yang elegan, penuh bunga putih dan sentuhan keemasan. Dari chandelier megah yang bergemerlap hingga untaian bunga mawar yang menggantung lembut di setiap sudut ruangan, semua tampak sempurna.Awalnya, Celline sempat ingin pernikahan yang sederhana — hanya keluarga dan sahabat dekat. Tapi Melanie, yang kini sepenuhnya menerima dan mencintai menantunya itu, menolak dengan tegas. “Tidak, Sayang,” katanya lembut tapi tegas saat membahas rencana pernikahan. “Kau sudah terlalu lama menanggung kesedihan. Sekarang saatnya dunia melihat kebahagiaanmu.”Dan kini, di tengah dekorasi yang megah dan tamu undangan yang memenuhi ruangan, Celline ben







