LOGIN"Akhirnya kita sampai juga…" Celline menaruh kartu apartemen di atas meja kecil dekat pintu, sementara Seraphine langsung berlari kecil masuk ke ruang tamu.
"Wow, Mommyyy! Besarnya!" Sera memeluk bantal sofa dengan riang. "Kamar aku yang mana? Aku mau yang ada jendela besar biar bisa lihat bintang!"
Celline terkekeh, melepas jaket tipisnya. "Sabar, sayang. Kita beresin dulu koper-kopernya, baru pilih kamar. Bastian juga harus pilih."
"Aku tidak masalah, Mom." Bastian menurunkan koper kecilnya ke sudut ruangan, ekspresinya tetap datar. "Asal bersama Mommy, aku tidur di mana saja."
"No... Kam jangan begitu sayang, kamu juga harus punya kamar nyaman juga," Celline mengusap kepala putranya. Hatinya bergetar setiap kali melihat sifat dewasa si kembar, meski mereka baru berusia lima tahun.
Seraphine menyusul ibunya, wajahnya sumringah. "Mommy nanti kita boleh hias kamar tidak? Aku mau tempel gambar unicorn!"
"Tentu saja boleh," Celline mencubit gemas pipi anaknya. "Tapi hiasnya pelan-pelan, jangan sampai merusak tembok ya."
Setelah koper-koper ditaruh, Celline membuka balkon apartemen. Angin Washington yang sejuk menyapa wajahnya. Lokasi apartemen ini memang strategis: dekat kantor Lucarelli dan juga dekat sekolah anak-anak. Tepat di sebelah, apartemen atasannya, Inzaghi berada. Baginya, itu keuntungan sekaligus tantangan.
"Besok kalian mulai sekolah baru," ujar Celline sambil menata baju ke lemari. "Jadi malam ini tidur harus cepat, jangan main lama-lama."
"Tapi Mom, aku pengen lihat lampu-lampu kota dulu," Sera merengek.
Celline pura-pura melipat tangan di dada. "Hmm, kalau Sera masih mau keliling, berarti Tian yang dapat kamar dengan jendela besar."
"Aaaa jangan!" Sera langsung berlari, memeluk kaki mamanya. "Oke, aku tidur cepat!"
Celline tertawa lepas, Bastian pun tersenyum tipis melihat tingkah adiknya. Untuk sejenak, semua ketakutan akan masa lalu lenyap dari pikiran Celline. Ia merasa rumah kecil ini cukup untuk memulai babak baru bersama anak-anaknya.
Sementara itu di waktu yang sama, di kediaman Carter.
"Selamat malam, Tuan Muda." Bennett-kepala pelayan menunduk sopan ketika Jayden melangkah masuk ke mansion keluarga Carter.
"Bagaimana keadaan rumah?" suara Jayden berat, lelah, namun penuh wibawa.
Bennett menatap sekilas ke arah pelayan lain yang menunggu. "Selama dua minggu Anda ke Korea dan Jepang, Nyonya tidak pernah berada di rumah. Para staf hanya mendengar beliau pergi untuk pemotretan. Hingga hari ini… beliau belum juga kembali."
Jayden terdiam sejenak, matanya menajam. Tanpa sepatah kata, ia melewati Bennett dan menaiki tangga menuju kamar. Jas hitamnya ia lemparkan ke kasur dengan kasar, dasi dirobek lepas begitu saja.
"Apa gunanya semua ini…" gumamnya, menatap langit-langit.
Ia bisa memberikan segalanya: uang, rumah mewah, liburan ke seluruh dunia. Tapi Bella selalu menolak duduk tenang di sampingnya sebagai seorang istri. Pertengkaran demi pertengkaran tak pernah berakhir.
"Kenapa aku harus berjuang sendirian menjaga pernikahan ini?" Jayden menutup wajah dengan telapak tangan. Bayangan ucapan pemberontakan istrinya, suara ejekan halus setiap kali ia menyinggung soal anak, terus berputar di kepalanya.
Ia tahu keluarganya menekan mereka soal keturunan. Tapi Bella… Bella selalu punya alasan untuk menunda.
Ponselnya bergetar di meja nakas. Nama Bella tertera di layar, tapi Jayden tak mengangkat. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu membiarkan panggilan itu mati dengan sendirinya.
"Kau bahkan tak bisa menghargai aku sebagai suamimu, Bella…" bisiknya lirih.
Di luar kamar, Bennett berdiri menjaga jarak. Ia sudah lama bekerja untuk keluarga Carter, dan tahu benar kapan harus bicara, kapan harus diam. Malam itu, ia memilih diam. Karena dari ekspresi majikannya, luka yang ia bawa pulang jauh lebih dalam daripada sekadar letih perjalanan bisnis.
Malam itu di Mansion Carter penuh dengan kesunyian. Jayden termenung sendirian di kamarnya, memikirkan betapa retaknya rumah tangga yang berusaha ia pertahankan. Sementara di sudut kota Washington yang lain, kehidupan baru tengah dimulai.
Keesokan paginya, Celline sudah bersiap mengantarkan si kembar ke sekolah barunya. Bersama Inzaghi, mereka melangkah ke awal cerita yang tak kalah menegangkan—sebuah awal yang perlahan mungkin akan mempertemukan kembali masa lalu dengan kenyataan hari ini.
“Bye Mommy! Bye Uncle Inzaghi!” Seraphine melambaikan tangan semangat.
Bastian hanya mencium pipi Mommy singkat sebelum berjalan masuk dengan santai, tangannya masuk ke kantong celana kecilnya.Celline tersenyum hangat sambil membalas lambaian anak-anaknya. Inzaghi yang berdiri di samping ikut melambaikan tangan, wajahnya tenang namun jelas ia menyukai interaksi dengan si kembar.
Hari pertama sekolah di Starlight Kids Academy akhirnya dimulai. Kelas penuh anak-anak baru yang duduk manis menunggu giliran memperkenalkan diri.
“Halo semuanya! Namaku Seraphine Anderson. Kalian bisa panggil aku Sera! Aku saudara kembar Bastian. Aku suka menggambar bunga dan makan es krim stroberi!” Sera memperkenalkan diri dengan suara ceria, membuat beberapa anak langsung tersenyum.
Giliran berikutnya, Bastian melangkah maju dengan wajah datar.
“Sebastian Anderson.” Hanya itu. Tanpa senyum, tanpa tambahan kata-kata. Tangannya tetap masuk ke saku celana, gayanya dingin seperti bukan bocah TK. Beberapa anak saling pandang, lalu berbisik kecil, terkesan dengan sikapnya yang cool.Sementara itu, seorang bocah berambut cokelat bergelombang dengan mata biru terang maju ke depan. “Nama aku Nicholas Rudolf. Aku suka robot dan mobil-mobilan!” ucapnya riang.
Jam istirahat pun tiba. Anak-anak berlarian ke taman bermain sekolah. Ada yang main ayunan, ada yang ke jungkat-jungkit, dan ada juga yang berebut perosotan spiral.
“Hei, Sera! Ayo main di perosotan ini!” Nicholas memanggil sambil berlari lebih dulu menaiki tangga.
Sera mengangguk senang. “Okay, tunggu aku!”
Bastian hanya duduk di bangku pinggir lapangan, memperhatikan dengan tatapan datar. Tangannya masih bersilang di dada, seolah tidak tertarik, padahal matanya tajam mengawasi Sera.
Namun tiba-tiba—
“Aaaaah!” Nicholas kehilangan keseimbangan saat berdiri di atas tangga perosotan. Kakinya terpeleset dan tubuhnya miring ke samping, hampir jatuh menghantam tanah keras.
Anak-anak lain menjerit. “Nicholas jatuh! Tolong!”
Dalam sepersekian detik, Bastian sudah berlari dengan cepat. Tangannya sigap menarik lengan Nicholas sebelum benar-benar jatuh. Bocah itu berhasil ditarik turun dengan selamat ke pelukan Bastian.
Sera menjerit lega. “Tian!”
Nicholas terdiam beberapa saat, napasnya terengah. Matanya membulat melihat tatapan dingin Bastian yang baru saja menolongnya.
“Hati-hati lain kali.” Suara Bastian tenang, sedikit ketus, tapi jelas-jelas ia baru saja jadi pahlawan kecil.
Nicholas menatapnya kagum. “Kamu… hebat banget! Makasih ya, Bastian! Kalau kamu tidak menolongku, aku pasti udah jatuh.”
Bastian hanya mengangguk singkat, lalu melepas lengan Nicholas. “Jangan ceroboh lagi.”
Sera langsung memeluk lengan kakaknya dengan bangga. “Kan aku bilang, Tian itu selalu jago. Dia pasti bisa jaga aku juga.”
Beberapa anak lain yang melihat kejadian itu langsung bersorak kecil.
“Wow, Bastian keren banget!” “Dia cepat sekali!”Nicholas tersenyum lebar, lalu menepuk bahu Bastian dengan akrab. “Mulai sekarang, kita teman ya! Aku, kamu, sama Sera.”
Sera mengangguk cepat. “Iya! Kita bertiga teman! Kita semua yang ada disini teman!”
Bastian tetap dengan ekspresi cool-nya, tapi matanya melirik sebentar, lalu mengangguk tipis. Itu sudah cukup bagi Sera untuk tahu, diam-diam Tian juga setuju.
Sejak kejadian itu, suasana di kelas berubah. Seharian Nicholas mulai menempel dengan Sera dan Bastian, dan anak-anak lain pun ikut bergabung. Lingkaran kecil pertemanan baru pun terbentuk, dimulai dari momen kecil ketika seorang bocah cool bernama Bastian menyelamatkan hari.
Sore itu halaman depan Starlight Kids Academy mulai sepi. Anak-anak sudah satu per satu dijemput oleh orangtua atau sopir mereka. Celline dan Inzaghi datang menjemput si kembar dengan senyum hangat.
“Mommy!” seru Sera sambil berlari kecil menghampiri Celline.
Tian hanya berjalan santai dengan tangan tetap di saku celana, tapi matanya berbinar saat melihat sang mommy datang.Nicholas masih berdiri di sisi gerbang, sesekali menoleh ke arah jalan. Inzaghi yang memperhatikan itu menunduk sedikit.
“Hi boy, jemputanmu belum datang?” tanyanya ramah.Nicholas menggeleng pelan. “Belum, Uncle. Tapi sopirku sudah di jalan, sebentar lagi sampai.”
“Kalau mau, bisa ikut kita dulu. Kita antar ke rumahmu,” tawar Inzaghi.
Anak itu tersenyum sopan sambil menggeleng cepat. “No, thank you. Nanti sopirku bingung kalau aku tidak ada.”
Akhirnya mereka semua memilih menemaninya menunggu. Sera duduk di samping Nicholas sambil menunjukkan gantungan unicorn kesayangannya, sementara Tian berdiri sambil mengawasi jalan.
Tak lama, sebuah sedan hitam berhenti di depan sekolah. Sopir pribadi keluarga Rudolf keluar, menunduk hormat pada Nicholas.
“Tuan kecil, let’s go home.”Sebelum masuk mobil, Nicholas menoleh ke teman-teman barunya. “Besok aku bawa mainan keren ya! Promise!”
Sera langsung mengacungkan pinky finger. “Pinky promise!”
Nicholas menyambut dengan tawa lebar, lalu melambaikan tangan pada Tian. “See you, Bastian! You’re the coolest!”Tian hanya mengangguk singkat, wajahnya tetap cool. Tapi matanya berbinar puas.
Malam itu, suasana berbeda menyelimuti mansion Carter. Nicholas sementara dititipkan di sana karena kedua orangtuanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke Rusia. Mansion yang biasanya sunyi, kini sedikit lebih ramai oleh suara tawa anak kecil.
Tak lama, suara deru mobil terdengar dari halaman. Jayden pulang bersama kedua orangtuanya. Pintu utama terbuka, wajah ketiganya sama-sama kusut dan tegang setelah menghadiri rapat keluarga besar Carter.
Namun Nicholas tak mengerti atmosfer dingin itu. Begitu melihat sang kakek dan nenek, ia langsung berlari memeluk mereka.
“Grandpa! Grandma! Aku kangen kalian. Aku punya teman baru hari ini!”Senyum lelah pasangan tua itu sedikit mencair.
“Benarkah? Ceritakan pada kami, sayang” ucap sang nenek sambil mengusap kepala cucunya.Nicholas dengan antusias melompat-lompat kecil.
“Namanya Sebastian dan Seraphine! Mereka kembar! Bastian keren banget! Dia nolongin aku waktu hampir jatuh! Dia kayak superhero, Grandpa”Kakek Nicholas terkekeh kecil, menatap wajah cucunya yang bersinar penuh semangat.
“Oh, benar begitu? Pahlawan kecil ya?”“Iya! Dan Sera baik banget. Dia bilang besok dia mau nunjukin unicorn-nya! Terus, terus—Mommy mereka cantik banget! Daddy mereka juga ganteng, persis kayak Uncle Jayden!”
Mendengar itu, Jayden yang berada sedikit jauh hanya menoleh singkat. Ada sesuatu yang menusuk dadanya tanpa ia mengerti.
Sang nenek tersenyum lembut. “Kamu suka mereka sampai segitunya hm?”
Nicholas langsung mengangguk mantap. “Yes Grandma. Kami akan main bersama setiap hari!”Jayden hanya menarik napas panjang, lalu melangkah menuju kamarnya tanpa komentar. Ia tak akan pernah menyangka, anak-anak yang begitu dibanggakan Nicholas, yang begitu hangat disebut-sebut oleh cucu kecil keluarganya adalah darah dagingnya sendiri.
Dunia memang penuh ironi. Sementara kebenaran masih terselubung, takdir perlahan mempermainkan hati yang belum siap untuk dihadapkan pada kenyataan.
Tiga hari setelah dirawat, Celline akhirnya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia senang bisa kembali ke mansion bersama keluarga. Udara pagi terasa segar ketika mobil memasuki gerbang mansion. Dari kejauhan, ia bisa melihat para pelayan, Dominic, dan Melanie berdiri di teras seolah sedang menyambut seseorang yang kembali dari perjalanan jauh.Begitu ia turun dari mobil, Sera langsung berlari menghampiri dengan wajah cerah. “Mommy! Mommy harus hati-hati. Mommy sekarang bawa baby, tidak boleh capek-capek!” katanya sambil memegangi lengan Celline seolah sedang mengawal seorang pasien khusus.“Pelan-pelan, Sera. Mommy masih bisa berjalan sendiri,” jawab Celline sambil tersenyum kecil.Di sisi lain, Bastian hanya menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, memandang adiknya sekilas tanpa antusias berlebih. “Sera heboh sekali dari pagi,” gumamnya pelan.Melanie memeluk Celline penuh kehangatan. “Selamat datang kembali, sayang. Syukurlah kamu sudah jauh lebih baik. Kam
Koridor MedStar Washington Hospital Center dipenuhi langkah tergesa Jayden. Napasnya kacau, dadanya naik turun—antara marah, cemas, dan rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Bajunya belum sempat dirapikan, dasi yang tadi pagi ia kenakan kini terlepas dan terjuntai begitu saja.Ia baru tiba setelah dua jam terjebak kemacetan parah akibat kecelakaan beruntun di jalan raya. Selama perjalanan, setiap detik terasa seperti siksaan. Berkali-kali ia memukul setir mobil, berusaha menahan kepanikan yang semakin menyesakkan dada.Inzaghi hanya sempat mengirim pesan singkat:“Celline pingsan. Kami dalam perjalanan ke RS. Tolong segera menyusul, Sir.”Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada detail. Itu membuat Jayden hampir kehilangan kendali sepanjang jalan.Saat mencapai nurse station, ia langsung bertanya dengan nada tegang, “Celline Carter, ruang berapa?”Perawat menunjuk ke kanan. “Ruang perawatan VIP 3, Sir.”Jayden tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung berlari.Pintu rua
Pagi itu Lucarelli tampak sama seperti biasanya—padat, rapi, dan sibuk. Namun bagi Celline, ada sesuatu yang terasa ganjil. Sejak semalam ia sulit tidur, bukan karena pekerjaan, melainkan karena perasaan tidak enak yang tidak dapat didefinisikan. Ia mengabaikannya, berusaha fokus pada laporan dan persiapan campaign baru yang harus ia kirimkan sebelum sore.Menjelang siang, ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.“Ma’am, ada pesanan makanan untuk Anda. UberEats,” ujar salah satu office boy sambil setengah mengintip ke dalam.Celline mendongak dengan kening berkerut.“Aku tidak merasa memesan apa pun.”“Kurirnya bilang ini sudah dibayar lunas, Ma’am. Atas nama Anda.”Sekilas, pikiran Celline langsung tertuju pada Jayden. Tetapi ia menggeleng cepat. Jayden bukan tipe yang memesan makanan diam-diam. Kalau ingin makan siang bersama, pria itu akan muncul langsung di mejanya dan menyeretnya keluar tanpa kompromi.“Baik, taruh saja di sini,” ujar Celline akhirnya, meski hatinya ragu.K
Penerbangan dari Maldives mendarat mulus di Washington. Udara sore terasa lebih sejuk dibandingkan beberapa minggu lalu ketika mereka berangkat. Begitu keluar dari pintu kedatangan, Celline merapatkan cardigan tipisnya, sementara Jayden menarik koper sambil sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil yang tidak pernah bisa ia sembunyikan sejak hari pernikahan.Perjalanan honeymoon mereka memang singkat mengingat pekerjaan di kantor masing-masing masih menumpuk, tetapi cukup untuk membuat Jayden semakin lengket seperti lem. Hampir setiap malam ia selalu mencari alasan untuk tidak membiarkan Celline jauh darinya. Untung saja Celline menikmati waktunya—meskipun beberapa kali ia harus menahan malu karena tingkah laku suaminya yang tidak mengenal tempat dan waktu.Mobil keluarga Carter sudah menunggu di depan terminal bandara. Leon menyambut keduanya dengan sopan. “Welcome back, Sir, Ma’am.”Celline tersenyum. “Terima kasih, Leon.”Jayden merangkul pinggang Celline, seolah masih belum bi
Warning! Harap bijak ya. Matahari Maldives sudah terbenam ketika Celline akhirnya melewati pintu kamar hotel mewah mereka, tubuhnya lemas setelah perjalanan panjang dari Washington. Koper-koper masih berantakan di lantai, tapi dia tak punya tenaga lagi untuk mengurusnya. Yang dia inginkan hanyalah mandi air panas dan tidur—setidaknya, begitu pikirannya sebelum pintu kamar terbuka dengan keras, diikuti oleh langkah kaki Jayden yang penuh keyakinan.Jayden masuk seperti badai, matanya langsung membara saat melihat Celline berdiri di tengah ruangan, kemeja tidur sutra tipisnya menempel pada kulit yang masih berkeringat. Dia tak memberi kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, tangannya sudah mengait pinggang Celline, menariknya ke tubuhnya yang keras dan panas."Sudah lama aku menunggu ini," suaranya serak, bibirnya langsung menempel di leher Celline, giginya menggigit kulit sensitif di sana sampai wanita itu mengerang.Celline mencoba melawan, tapi tubuhnya berkhianat. Kelelahan seket
Seminggu berlalu sejak malam penuh haru di taman Mansion keluarga Carter. Hari itu, matahari bersinar cerah seolah ikut merayakan kebahagiaan yang akhirnya datang setelah sekian lama ditunggu. Hari di mana Jayden Carter dan Celline Anderson resmi disatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pernikahan diadakan di ballroom mewah milik keluarga Carter — tempat yang elegan, penuh bunga putih dan sentuhan keemasan. Dari chandelier megah yang bergemerlap hingga untaian bunga mawar yang menggantung lembut di setiap sudut ruangan, semua tampak sempurna.Awalnya, Celline sempat ingin pernikahan yang sederhana — hanya keluarga dan sahabat dekat. Tapi Melanie, yang kini sepenuhnya menerima dan mencintai menantunya itu, menolak dengan tegas. “Tidak, Sayang,” katanya lembut tapi tegas saat membahas rencana pernikahan. “Kau sudah terlalu lama menanggung kesedihan. Sekarang saatnya dunia melihat kebahagiaanmu.”Dan kini, di tengah dekorasi yang megah dan tamu undangan yang memenuhi ruangan, Celline ben







