MasukSepulang dari kantor dan menjemput si kembar, Celline langsung mengganti blazer kerjanya dengan apron sederhana berwarna krem. Rambut panjangnya ia ikat asal menjadi kuncir kuda. Wajah yang biasanya dingin dan profesional di ruang rapat, kini berubah lembut dan hangat. Dapur kecilnya dipenuhi aroma wangi bawang putih dan rosemary yang ia tumis di atas wajan.
Di ruang makan, Seraphine dan Sebastian sudah duduk manis. Seraphine tidak bisa berhenti berceloteh, sementara Sebastian sesekali hanya melirik adiknya sambil mengetuk pelan garpu di meja, menunggu makan malam tersaji.
“Mommy, hari ini Sera main sama Nicholas lagi!” seru Seraphine, matanya berbinar penuh semangat.
Celline tersenyum, meski masih fokus mengaduk saus tomat kental untuk pasta. “Oh ya? Kalian main apa hari ini?” tanyanya dengan suara lembut.
“Kita tukeran mainan, Mommy! Nicholas kasih Sera mobil kecil warna biru, terus Sera kasih dia gantungan unicorn. Nicholas suka banget, dia bilang ini paling keren!. Besok kita mau main perosotan” Seraphine melambai-lambaikan tangannya, seolah sedang menunjukkan betapa pentingnya momen itu.
Celline meletakkan sendok kayu di meja dapur lalu mendekat untuk menaruh piring salad di meja makan. “Wah, Nicholas pasti senang sekali. Anak baik memang suka berbagi.”
Sambil berbalik lagi ke dapur, Celline menyalakan kompor untuk memanggang steak ayam yang sudah ia bumbui.
“Mommy, Nicholas cerita juga lho. Dia bilang dia punya Uncle yang keren! Tinggi banget, katanya mirip pangeran. Terus Nicholas bilang…” Seraphine menekankan suaranya sambil melirik kakaknya, “…Unclenya itu baik banget selalu ngasih Nicholas hadiah mainan yang sangat banyak”
Celline yang tengah mengangkat pan hampir menjatuhkannya karena kaget. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah ada sesuatu yang tiba-tiba mencengkram dadanya. “U-Uncle?” gumamnya pelan, mencoba terdengar biasa.
Seraphine mengangguk cepat, rambutnya yang dikuncir dua ikut bergoyang. “Iya! Uncle-nya Nicholas! Katanya ganteng banget, lebih ganteng dari pangeran di kartun.”
Celline pura-pura fokus menaruh steak ayam di piring, padahal telapak tangannya mulai berkeringat. Ia tidak bisa membiarkan anak-anak menangkap kegugupannya.
Melihat itu, Sebastian yang sedari tadi memperhatikan, buru-buru menegur. “Sera, makan dulu. Jangan bikin Mommy repot. Nanti makanannya dingin.”
Suara Sebastian terdengar tenang tapi tegas. Bocah itu memang punya sisi dewasa yang tidak biasa untuk anak seusianya.
Seraphine langsung mengatupkan mulut, meski masih tersenyum lebar. “Oke, Sera makan dulu.” Ia mengambil garpu kecil dan mulai menyuap potongan steak ayam yang sudah dipotongkan oleh Celline.
Celline menghela napas lega, lalu duduk di kursinya setelah menaruh semua hidangan di meja. Tangannya meraih gelas air putih, mencoba menenangkan diri. Pandangannya beralih ke Sebastian. “Tian, kamu tidak punya cerita hari ini?”
Sebastian mengunyah dengan rapi sebelum menjawab. “Sera sudah cerita semuanya, Mommy. Aku tidak perlu ulang lagi.”
Celline tersenyum tipis. “Termasuk cerita tentang pamannya Nicholas?” tanyanya dengan nada seolah santai, meski dalam hati bergejolak.
“Aku tak menyukai cerita tentang pamannya Nicholas.” Bastian berkata datar sambil menusukkan garpu ke potongan ayam di piringnya.
Celline menoleh cepat, sedikit terkejut dengan ucapan itu. “Kenapa?” tanyanya pelan, mencoba menahan nada suaranya agar tidak terdengar tegang.
“Karena Mommy terlihat tidak menyukainya,” jawab Bastian singkat.
Celline terdiam. Lidahnya kelu, tak mampu segera membantah.
Seraphine yang duduk di sebelahnya masih asyik mengunyah, sama sekali tak peka dengan ketegangan singkat di meja makan. “Mommy, ayamnya enak sekali!” seru gadis kecil itu riang, mencoba menarik perhatian ibunya.
Celline tersenyum samar, membelai rambut Sera, lalu mengalihkan pandangannya lagi pada Bastian yang masih menunduk pada makanannya.
Makan malam berlanjut dengan suasana hening, hanya diselingi suara sendok garpu beradu dengan piring. Celline berusaha tetap tenang, namun hatinya terasa berat. Kata-kata Bastian tadi masih terngiang jelas, menusuk ke dalam pikirannya. Anak laki-lakinya yang baru berusia lima tahun bisa membaca perasaannya dengan begitu tepat, seolah ia tak bisa menyembunyikan apa pun darinya.
Usai makan malam, Celline membersihkan meja sementara si kembar sudah berlari kecil ke kamar, berebut tempat tidur. “Mommy! Cepatlah, bacakan cerita sebelum tidur!” teriak Seraphine sambil mengangkat boneka unicorn kesayangannya.
Celline hanya terkekeh kecil, menghapus bekas saus di tangannya lalu menyusul. Malam itu ia membacakan dongeng singkat tentang kerajaan bintang. Seraphine terbuai cepat, sementara Bastian tetap membuka mata lebih lama, menatap ibunya tanpa banyak bicara. Baru setelah Celline menepuk pelan lengannya, anak itu akhirnya menyerah pada kantuk.
Kamar menjadi sunyi. Lampu tidur yang redup memantulkan bayangan lembut di dinding. Celline duduk di kursi kecil di dekat ranjang, memperhatikan kedua anaknya yang sudah terlelap. Napas mereka teratur, wajah polos mereka memancarkan ketenangan yang begitu berharga.
Namun justru di saat seperti ini, rasa bersalah menghantam lebih keras.
Celline menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menutup wajah dengan telapak tangan. Hatinya perih ketika menyadari bahwa ia tengah mengulang pola yang sama seperti masa kecilnya. Ia dulu tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah—kosong, rapuh, mudah tergoda pada seseorang seperti Jayden yang memberinya sedikit perhatian tapi akhirnya menjebaknya dalam luka.
Dan kini, meski ia berjuang mati-matian menjadi ibu sekaligus ayah, tetap saja kedua anaknya merasakan ketidakhadiran itu. Ironisnya, sosok ayah mereka bukanlah pria yang asing atau jauh di luar jangkauan. Jayden… justru ada di kota yang sama, bahkan sudah bertemu dua kali dengan anak-anaknya tanpa ia bisa cegah.
Celline memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Ia tidak pernah menyangka pertemuan dengan Jayden akan datang secepat ini. Sejak ia menerima perintah mutasi ke Washington, ia tahu kemungkinan itu ada, tapi ia masih berpikir punya waktu untuk mempersiapkan diri, menyusun langkah, bahkan mungkin menghindarinya.
Nyatanya, sudah terlambat.
Anak-anaknya sudah mengenal Nicholas, dan otomatis lingkaran itu semakin mempersempit jarak antara dirinya dan Jayden. Ia bisa saja menarik Sera dan Bastian keluar dari TK itu, mencari sekolah lain, tapi untuk apa? Itu hanya akan menimbulkan pertanyaan baru yang sulit dijawab. Lagipula, anak-anak sudah mulai nyaman di sana.
Celline menunduk, menatap kedua buah hatinya lagi. Seraphine tersenyum kecil dalam tidurnya, memeluk boneka unicorn kesayangannya. Bastian, meski tertidur, wajahnya tetap terlihat tenang dan dewasa, seolah bahkan dalam mimpi ia menjaga sang adik.
“Aku tidak boleh salah lagi,” bisik Celline hampir tanpa suara. “Apapun yang terjadi… Mommy akan pastikan kalian tidak terluka.”
Ia menghela napas panjang, lalu berdiri pelan-pelan agar tidak membangunkan mereka. Lampu tidur ia biarkan menyala, menebarkan cahaya lembut. Sambil keluar dari kamar, Celline menoleh sekali lagi, menatap anak-anaknya dengan penuh cinta bercampur ketakutan.
Malam itu, hatinya dipenuhi doa yang tak pernah ia ucapkan keras-keras: semoga takdir kali ini berpihak pada mereka, semoga masa lalu tak menghancurkan kebahagiaan kecil yang ia miliki sekarang.
Tiga hari setelah dirawat, Celline akhirnya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia senang bisa kembali ke mansion bersama keluarga. Udara pagi terasa segar ketika mobil memasuki gerbang mansion. Dari kejauhan, ia bisa melihat para pelayan, Dominic, dan Melanie berdiri di teras seolah sedang menyambut seseorang yang kembali dari perjalanan jauh.Begitu ia turun dari mobil, Sera langsung berlari menghampiri dengan wajah cerah. “Mommy! Mommy harus hati-hati. Mommy sekarang bawa baby, tidak boleh capek-capek!” katanya sambil memegangi lengan Celline seolah sedang mengawal seorang pasien khusus.“Pelan-pelan, Sera. Mommy masih bisa berjalan sendiri,” jawab Celline sambil tersenyum kecil.Di sisi lain, Bastian hanya menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, memandang adiknya sekilas tanpa antusias berlebih. “Sera heboh sekali dari pagi,” gumamnya pelan.Melanie memeluk Celline penuh kehangatan. “Selamat datang kembali, sayang. Syukurlah kamu sudah jauh lebih baik. Kam
Koridor MedStar Washington Hospital Center dipenuhi langkah tergesa Jayden. Napasnya kacau, dadanya naik turun—antara marah, cemas, dan rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Bajunya belum sempat dirapikan, dasi yang tadi pagi ia kenakan kini terlepas dan terjuntai begitu saja.Ia baru tiba setelah dua jam terjebak kemacetan parah akibat kecelakaan beruntun di jalan raya. Selama perjalanan, setiap detik terasa seperti siksaan. Berkali-kali ia memukul setir mobil, berusaha menahan kepanikan yang semakin menyesakkan dada.Inzaghi hanya sempat mengirim pesan singkat:“Celline pingsan. Kami dalam perjalanan ke RS. Tolong segera menyusul, Sir.”Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada detail. Itu membuat Jayden hampir kehilangan kendali sepanjang jalan.Saat mencapai nurse station, ia langsung bertanya dengan nada tegang, “Celline Carter, ruang berapa?”Perawat menunjuk ke kanan. “Ruang perawatan VIP 3, Sir.”Jayden tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung berlari.Pintu rua
Pagi itu Lucarelli tampak sama seperti biasanya—padat, rapi, dan sibuk. Namun bagi Celline, ada sesuatu yang terasa ganjil. Sejak semalam ia sulit tidur, bukan karena pekerjaan, melainkan karena perasaan tidak enak yang tidak dapat didefinisikan. Ia mengabaikannya, berusaha fokus pada laporan dan persiapan campaign baru yang harus ia kirimkan sebelum sore.Menjelang siang, ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.“Ma’am, ada pesanan makanan untuk Anda. UberEats,” ujar salah satu office boy sambil setengah mengintip ke dalam.Celline mendongak dengan kening berkerut.“Aku tidak merasa memesan apa pun.”“Kurirnya bilang ini sudah dibayar lunas, Ma’am. Atas nama Anda.”Sekilas, pikiran Celline langsung tertuju pada Jayden. Tetapi ia menggeleng cepat. Jayden bukan tipe yang memesan makanan diam-diam. Kalau ingin makan siang bersama, pria itu akan muncul langsung di mejanya dan menyeretnya keluar tanpa kompromi.“Baik, taruh saja di sini,” ujar Celline akhirnya, meski hatinya ragu.K
Penerbangan dari Maldives mendarat mulus di Washington. Udara sore terasa lebih sejuk dibandingkan beberapa minggu lalu ketika mereka berangkat. Begitu keluar dari pintu kedatangan, Celline merapatkan cardigan tipisnya, sementara Jayden menarik koper sambil sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil yang tidak pernah bisa ia sembunyikan sejak hari pernikahan.Perjalanan honeymoon mereka memang singkat mengingat pekerjaan di kantor masing-masing masih menumpuk, tetapi cukup untuk membuat Jayden semakin lengket seperti lem. Hampir setiap malam ia selalu mencari alasan untuk tidak membiarkan Celline jauh darinya. Untung saja Celline menikmati waktunya—meskipun beberapa kali ia harus menahan malu karena tingkah laku suaminya yang tidak mengenal tempat dan waktu.Mobil keluarga Carter sudah menunggu di depan terminal bandara. Leon menyambut keduanya dengan sopan. “Welcome back, Sir, Ma’am.”Celline tersenyum. “Terima kasih, Leon.”Jayden merangkul pinggang Celline, seolah masih belum bi
Warning! Harap bijak ya. Matahari Maldives sudah terbenam ketika Celline akhirnya melewati pintu kamar hotel mewah mereka, tubuhnya lemas setelah perjalanan panjang dari Washington. Koper-koper masih berantakan di lantai, tapi dia tak punya tenaga lagi untuk mengurusnya. Yang dia inginkan hanyalah mandi air panas dan tidur—setidaknya, begitu pikirannya sebelum pintu kamar terbuka dengan keras, diikuti oleh langkah kaki Jayden yang penuh keyakinan.Jayden masuk seperti badai, matanya langsung membara saat melihat Celline berdiri di tengah ruangan, kemeja tidur sutra tipisnya menempel pada kulit yang masih berkeringat. Dia tak memberi kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, tangannya sudah mengait pinggang Celline, menariknya ke tubuhnya yang keras dan panas."Sudah lama aku menunggu ini," suaranya serak, bibirnya langsung menempel di leher Celline, giginya menggigit kulit sensitif di sana sampai wanita itu mengerang.Celline mencoba melawan, tapi tubuhnya berkhianat. Kelelahan seket
Seminggu berlalu sejak malam penuh haru di taman Mansion keluarga Carter. Hari itu, matahari bersinar cerah seolah ikut merayakan kebahagiaan yang akhirnya datang setelah sekian lama ditunggu. Hari di mana Jayden Carter dan Celline Anderson resmi disatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pernikahan diadakan di ballroom mewah milik keluarga Carter — tempat yang elegan, penuh bunga putih dan sentuhan keemasan. Dari chandelier megah yang bergemerlap hingga untaian bunga mawar yang menggantung lembut di setiap sudut ruangan, semua tampak sempurna.Awalnya, Celline sempat ingin pernikahan yang sederhana — hanya keluarga dan sahabat dekat. Tapi Melanie, yang kini sepenuhnya menerima dan mencintai menantunya itu, menolak dengan tegas. “Tidak, Sayang,” katanya lembut tapi tegas saat membahas rencana pernikahan. “Kau sudah terlalu lama menanggung kesedihan. Sekarang saatnya dunia melihat kebahagiaanmu.”Dan kini, di tengah dekorasi yang megah dan tamu undangan yang memenuhi ruangan, Celline ben







