“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.
Mereka berdua adalah asisten Aruna. “Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar. “Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas. “Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya. “Baik, Bu!” Tasya menyahut. “Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya. “Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali. Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby. Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard. Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman. “Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah. Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya. “Pak! Punya charger tipe hape ini enggak?” tanya Aruna kepada sekuriti yang berjaga di pintu. “Saya punya Bu!” seru Intan si resepsionis sebelum sempat pria sekuriti menjawab. Aruna langsung pergi ke meja resepsionis. “Hape kamu sama kaya hape aku ….” Aruna mengerutkan kening. “Iya Bu ….” Intan mesem-mesem. “Gaji kamu berapa memangnya bisa beli hape kaya gini? Kamu Ani-Ani ya?” tuduh Aruna tanpa tedeng aling-aling. “Ah … Ibu tahu saja.” Intan menjawab santai sambil tersipu. “Astagaaa … Ani-Ani siapa kamu? Bukan Ani-Aninya papi ‘kan!” “Pak Arkana mana mau sama saya, Bu ….” Raut wajah Intan tampak memberengut. “Jangan main-main di sini ya, Intan … awas lho!” Aruna mengancam. Kini ponsel Aruna sedang diisi dayanya tapi masih belum bisa dinyalakan. “Ih enggak kok, Bu … saya mah main-main di luar … lagian para istri dari bapak-bapak di sini galak-galak … enggak suka ah.” Aruna nyaris menyemburkan tawa mendengarnya. “Aruna … ngapain di sini?” tanya papi Arkana yang baru saja tiba di kantor. “Nungguin pak Leon, Pi … dia janji jam tujuh jemput Aruna di sini tapi sampe sekarang belum sampai, ke mana ya dia?” Aruna mengeluh. “Loh … kamu enggak dapet chat dari dia? Barusan dia chat Papi katanya enggak jadi survei ke pabrik sekarang karena mendadak harus ke Singapura … Papi pikir dia kabarin kamu.” Langkah papi Arkana sudah sampai di depan Aruna. Aruna termenung sesaat, dia buru-buru menyalakan ponsel lalu banyak notifikasi muncul. “Lima panggilan tak terjawab ….” Aruna bergumam saat melihat Leonhard telah menghubunginya sebanyak lima kali. Leonhard : Bu Aruna, mohon maaf saya cancel survei kita ke pabrik hari ini karena mendadak saya harus ke Singapura. Pundak Aruna melorot dengan ekspresi sendu setengah kesal. Papi terkekeh. “Makanya, Papi pernah bilang kalau ponsel jangan pernah kehabisan daya ….” Papi mengusak kepala Aruna lantas berlalu begitu saja meninggalkan Aruna yang nyaris menangis karena Leonhard membatalkan janji. “Udah capek-capek dandan, buru-buru datang ke kantor sampe enggak sarapan … mana dimarahin mas Nara di chat gara-gara pakai mobilnya ….” Aruna bergumam dengan bibir mengerucut. Ternyata selain pesan yang dikirim Leonhard dari jam lima pagi ini, Narashima juga memborbardir Aruna dengan pesan penuh amarah yang baru bisa Aruna baca setelah ponselnya terisi daya. “Iiiih … sebel … sebel … sebel!” Aruna menghentakan kakinya melangkah menuju lift setelah mencabut ponsel dari kabel charger. “Kenapa si ibu?” gumam Intan penuh tanya. Aruna kembali ke lantai di mana ruangannya berada. Dari jauh, Tasya dan Tezaar menatap bingung bosnya yang melangkah gontai dengan ekspresi wajah ditekuk. “Loh, Bu … enggak jadi survei ke pabrik?” Tasya yang bertanya mewakili apa yang ada dibenak Tezaar. “Enggak jadi, pak Leon cancel mendadak katanya ada urusan penting di Singapura.” Aruna menjawab, ekspresi wajahnya berubah sendu. Langkah gontai Aruna tidak berhenti, melewati meja dua asistennya dan baru berhenti setelah pintu ruangannya tertutup. “Cewek kalau enggak jadi pergi yang susah itu bukan hapus makeupnya tapi balikin moodnya,” kata Tasya seperti memberitahu Tezaar. “Hah?” Tezaar mengangkat kedua alis. “Maksud kamu, bu Aruna naksir pak Leon?” Tezaar bertanya untuk memastikan kalau dugaannya sama dengan Tasya. “Ya iya lah, selama ini … bu Aruna mana pernah pakai blush on karena pipinya memang udah pink alami ‘kan … tapi hari ini mau pergi sama pak Leon, bu Aruna pakai blush on … udah gitu kaya yang patah hati enggak jadi pergi … kasian ya bu Aruna.” Tasya menatap nanar pintu yang baru saja dilewati bos cantiknya. “Iya ya ….” Tezaar bergumam, ikut menatap sendu pintu ruangan Aruna. “Udah ah, ayo balik kerja lagi!” Tezaar menekan pundak Tasya agar kembali duduk di kursinya melanjutkan pekerjaan dari pada mengurusi kehidupan pribadi orang lain. Dan seharian ini mood Aruna buruk sekali, dia terlihat sedih tapi jadi sering marah-marah. “Tezaaaaaaar!” teriak Aruna dari ruangannya. “Iya Bu!” Tezaar berlari masuk ke ruangan Aruna. “Ini datanya yang terbaru donk, masa data dua bulan lalu kamu kasih aku … ah, kamu mah! Cepetan cari data yang baru!” Aruna meninggikan suara dengan kening mengkerut dan wajah mengerut yang malah membuatnya tampak lucu. “Oh iya, maaf Bu … saya cari sekarang.” Tezaar langsung keluar dengan cara lari terbirit-birit menuju mejanya mencari apa yang Aruna perintahkan. “Tasyaaaa!” panggil Aruna selanjutnya. “Iya Buuuuu.” Tasya berlari masuk ke dalam ruangan Aruna. “Ini gimana sih, laporannya kok belum ditandatangan pak Beny, ah! Cepetan mintain tanda tangannya nanti lupa terus pas meeting aku dimarahin papi lagi!” Aruna marah dengan nada menggemaskan. “Ba … baik, Bu … sekarang saya ke ruangan pak Beny.” Tasya meraih berkas dari atas meja lalu keluar dengan cara berlari sama seperti Tezaar. Tapi beberapa jam kemudian Aruna anteng tidak ada pergerakan atau suara, Tasya dan Tezaar yang khawatir mengintip melalui kubikelnya. Ruangan Aruna dikelilingi dinding kaca sehingga seperti akuarium apabila tirainya tidak ditutup dan gadis itu tampaknya malas menutup tirai sehingga Tasya dan Tezaar bisa melihat ekspresi murung di wajahnya saat ini. Karena moodnya yang buruk, Aruna tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Jadi jam delapan malam dia masih di kantor ditemani dua asistennya yang tidak berani pamit pulang duluan. Tasya dan Tezaar langsung bangkit dari kursi sembari menyandang tas saat Aruna keluar dari ruangannya. Sesaat Aruna menatap Tasya dan Tezaar bergantian. “Kalian isi form lembur ya,” katanya pelan seraya berlalu menuju lift. “Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menyahut kemudian melakukan tos karena uang lembur di AG Group sangat besar padahal keduanya tidak melakukan apapun selama lembur hari ini malah asyik main game menggunakan WiFi kantor lantaran pekerjaan telah selesai dan Aruna tidak meminta mereka mengerjakan sesuatu.Keempat kakak Ghazanvar tiba di rumah sakit saat Aruna belum melahirkan, pembukaannya lambat, bahkan sudah diinduksi tapi Dede bayi belum juga mau keluar.“Dek, semangat ya … Kamu pasti bisa,” kata Reyzio sembari mengusap kepalanya.“Mules, Kak ….” Aruna menjawab lemah, wajahnya pucat dan tatapannya sayu. Ghazanvar, Arnawarma dan Narashima tidak bersuara namun matanya memerah berkaca-kaca lantaran tiga tega melihat penderitaan sang adik.“Dek, Abang tunggu di luar ya ….” Ghazanvar membungkuk untuk memeluk Aruna.Aruna hanya mengangguk tanpa berkata-kata, membiarkan keempat kakaknya pergi meski mereka sebenarnya terlihat enggan, ingin menemani Aruna tapi tidak tega.“Jagain Aruna yang bener.” Leonhard menepuk dada Leonhard menggunakan punggung tangannya disertai tatapan tajam mengancam sebelum meninggalkan ruangan.Leonhard mendapat ancaman dari segala arah tapi berhubung telah biasa berada di bawah tekanan
Di rumah sakit, suasana semakin tegang. Aruna sudah dibaringkan di ruang bersalin dan tim dokter mulai mempersiapkan segala peralatan. Leonhard menggenggam tangan Aruna erat-erat, terlihat gugup meskipun mencoba tegar.Wajah pria itu tampak pucat pasi sementara Aruna sendiri begitu tenang karena telah menantikan momen ini.“Aruna, kamu harus kuat, ya. Aku di sini, aku nggak akan ke mana-mana,” kata Leonhard dengan suara gemetar.“Aku tahu kamu enggak akan ke mana-mana. Karena kalau kamu pergi, aku akan kejar kamu, Leon,” sahut Aruna setengah bercanda meski wajahnya menahan sakit.Tiba-tiba, suara papi Arkana yang tengah melangkah masuk terdengar tegas, mengancam dan panik“Leonhard! Jaga anak Papi baik-baik! Kalau dia kenapa-kenapa, kamu akan tahu akibatnya!”“Tenang, Pi … dokter kandungan Aruna sangat ahli di bidangnya,” jawab Leonhard sambil berusaha tidak terpengaruh.Papi Arkana keluar dari ruangan itu dengan ekspresi wajah frustrasi.“Mi, itu Aruna bisa enggak ya melahirkan bayi
Aruna duduk santai di kursi malas living room sambil memijat kakinya yang bengkak.Sudah dua hari, mami Zara dan papi Arkana berkunjung ke rumah futuristik Aruna di Seoul, mereka datang membawa berbagai makanan khas Indonesia yang mengundang nostalgia.Krauk …Krauk …Suara keripik yang Aruna kunyah dengan toples berada di atas pangkuannya.“Keren banget interior rumah kamu ya, potnya bisa nyiram tanaman sendiri.” Mami berceloteh. Mami Zara sibuk mengomentari dekorasi rumah sambil mengelap vas bunga.“Beliin Mami yang kaya gini donk, Pi … di Indonesia ada enggak sih?” “Nanti Leon beliin buat Mami,” kata Leonhard yang baru saja memasuki living room.“Waaah, makasih ya menantu Mami yang paling ganteng.” Mami Zara tersenyum lebar, tentu saja beliau tidak berdusta karena memang Leonhard adalah satu-satunya menantu laki-laki mami.Papi Arkana merotasi bola matanya melihat mami Zara menjawil pipi Leonhard saat tadi sedang memujinya.Beliau kembali menekuni remot untuk menyalakan televisi
Semenjak kembali dari Singapura, Leonhard sibuk sekali karena selain mengurus Asia Sinergy, proyek bersama AG Group juga sangat membutuhkan perhatian sehingga menguras waktunya.Bahkan pernah sekali Leonhard tidak bisa mengantar Aruna kontrol kehamilannya, meski begitu Aruna tidak mempermasalahkan karena Hae-Ja dan salah satu kakak Leonhard bersedia menemaninya bertemu dokter kandungan.Mereka cukup kompak mem-back up Leonhard.Beruntungnya di waktu kontrol bulan ini, Leonhard akhirnya memiliki waktu menemani Aruna.Jangan lupakan Sky, bayi gempal tampan itu selalu ikut ke mana Aruna pergi apalagi sekarang mereka akan mengetahui jenis kelamin si jabang bayi.“Adik … mainan buat adik,” kata Sky terus berceloteh sembari menempelkan mainan bentuk karakter Minnie Mouse ke perut Aruna saat di pangku dalam perjalanan ke rumah sakit.Bukan hanya sekarang, Sky sering kali menempelkan mainan Minnie Mouse ke perut Aruna yang tidak terlalu ditanggapi serius olehnya hanya mengira kalau Sky
“Udara pagi di sini tidak sesegar di rumah kita,” kata Hae-Ja sambil terengah saat sedang jalan santai bersama mami Wulandari di sekitar condominium.“Memang … itu kenapa aku tidak mengajak Aruna, khawatir janinnya menghirup polusi.” Mami Wulandari menimpali.Hae-Ja mengangguk setuju. “Kita lewati satu putaran lagi setelah itu pulang, aku lelah Wulan.” Hae-Ja menunjukkan tampang nelangsa.“Baiklah,” balas mami Wulandari kemudian terkekeh.Setelah menghabiskan satu putaran mengelilingi gedung condominium, mereka akhirnya pulang.Suara tangis Sky menggema begitu mami Wulandari membuka pintu utama condominium.“Sky kenapa, Nan?” Mami Wulandari bertanya.“Sky rewel, Nyonya … enggak biasanya Sky seperti ini, saya juga enggak tahu kenapa.” Nanny tampak kerepotan menggendong Sky yang terus meronta.“Maminya mana?” Mami Wulandari bertanya saat Hae-Ja mengambil alih Sky yang masih saja tantrum.“Di kamar Nyonya, sejak tuan muda pergi … nyonya muda ada di kamarnya terus,” jawab Nanny.
Perlahan Leonhard menurunkan Aruna di atas ranjang lalu merangkak naik ke atas sang istri yang gaun tidurnya tersingkap ke atas.“Leon,” tegur Aruna dengan desahan, pipinya merona dengan senyum dikulum.“Sekali aja, aku janji.” Usai berkata demikian Leonhard memagut bibir Aruna disertai usapan tangannya merayak ke setiap jengkal kulit Aruna menghasilkan jejak panas.Saat tangannya sampai di bokong, Leonhard memberikan rematan lembut dari dalam celana sekalian menurunkannya hingga dia bisa menemukan celah sempit nan hangat yang telah menjadi candu.Bibirnya kini menyasar leher Aruna lalu beralih ke pundak di mana terdapat tali yang menahan gaun tidur seksi itu.Leonhard menggigit tali tersebut untuk melepaskan simpulnya sehingga terekspose lah satu gundukan besar di dada Aruna.Leonhard melakukan hal yang sama dengan tali di pundak Aruna yang lain.Matanya berbinar saat dua gundukan yang tidak tertampung bra itu sekarang seolah menantangnya.T