LOGINMeski ingin, tapi ternyata Meilissa tidak sanggup bercerita.
“Hm…, iya, Om. Terima kasih atas perhatiannya," kata Meilissa akhirnya. Dia memilih menyimpan kembali uneg-uneg ke dalam hatinya.
Lionel menghela napas sambil menatap Meilissa dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Minum, Om? Tadi katanya haus,” ucapnya berusaha mengalihkan topik. Dia mengangkat gelas lalu sengaja memasang mimik menggemaskan sambil menggoyangkan gelasnya perlahan.
Tidak ingin memaksa, Lionel mendekatkan gelas ke bibir dan meminum isinya hingga habis. "Hhh… lega….," katanya sembari mengangkat gelas, meniru gaya Meilissa.
Meilissa tersenyum lebar. "Lagi, Om?" tawarnya, siap sedia mengisi ulang gelas yang sudah kosong.
Lionel menggelengkan kepala. "Tidak. Terima kasih."
“Kalau begitu, berikan gelasnya padaku. Aku cucikan.” Meilissa langsung mengambil alih gelas, dan bergerak ke wastafel untuk mencuci gelas-gelas tadi.
Diam-diam Lionel memperhatikan gerak-gerik Meilissa. Cara mencucinya begitu cekatan, sehingga siapa pun yang melihat akan tahu kalau Meilissa sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga, padahal Liora mencuci sendok pun tidak pernah.
Kagum, iba dan rasa ingin melindungi kini berjubelan memenuhi hati Lionel.
‘Apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban gadis ini?’ batinnya bergumul, dengan mata menatap sendu pada teman puterinya.
“Sudah, Om. Apa Om perlu minuman untuk dibawa ke kamar? Aku akan bantu siapkan,” tawar Meilissa setelah cucian gelasnya beres. Senyum manis tidak lepas dari bibirnya.
“Tidak. Terima kasih. Sudah malam, tidurlah," jawab Lionel pelan.
“Baiklah. Selamat malam, Om," angguk Meilissa sambil melambaikan tangan, lalu berbalik badan. Dia berjalan kembali ke kamar Meilissa dengan perasaan yang terasa lebih ringan. Bunga-bunga di hatinya seakan merekah.
Lionel memandangi punggung Meilissa sambil bergumam, “Selamat malam.”
Di dalam kamar, Meilissa memejamkan mata tapi wajah Lionel muncul begitu saja di benaknya. Sosoknya yang tinggi dan besar, lalu tatapannya yang hangat dan teduh.
Suara Lionel yang berat terngiang-ngiang di telinga, seperti lagu nina bobo yang membuat perasaannya tentram dan nyaman.
‘Kamu sepertinya ada masalah.’
‘Kalau butuh bantuan, katakan saja. Aku tidak tega melihat gadis seusia puteriku memikirkan masalah orang dewasa.’
Kalimat-kalimat itu memang bukan solusi, tapi berhasil memberikan kehangatan yang dia rindukan selama ini.
Meilissa memejamkan mata, dan senyum serta tatapan Lionel muncul di dalam ingatan — membawa ketenangan yang menemaninya hingga benar-benar terlelap. Sebuah kedamaian yang hampir tidak pernah dia dapat di rumah Miranda.
Pagi-pagi sekali Meilissa terbangun dengan tubuh yang segar. Dia menggeliatkan badan, entah kapan terakhir kali dia bisa tidur pulas seperti ini. Hampir setiap malam, tidurnya tidak berkualitas.
Suasana malam di rumah sendiri, tidak pernah tenang. Miranda sering membawa pacarnya pulang, berganti-ganti pula.
Di rumah kalau suasana hati pasangan itu sedang baik, maka musik akan menyala kencang memekakkan telinga.
Di lain waktu, saat sedang mesra, maka suara-suara desahan dan erangan akan memenuhi rumah mungil mereka. Suara saat mereka bertengkar, suara barang dibanting, umpatan dan teriakan tidak akan berhenti sebelum pagi menjelang.
Dan di antara semua itu, Meilissa masih harus waspada. Tidur pun sambil berjaga-jaga. Sedikit saja suara menyentuh pintu kamarnya, maka Meilissa akan terbangun.
Dia benar-benar takut kalau pacar Mamanya masuk ke kamar dan berbuat tidak senonoh.
Meilissa menoleh pada Liora. Wajah polos sahabatnya tampak begitu damai. Meilissa jadi tidak tega membangunkan Liora, tapi dia harus segera pulang karena tugas pagi hari menanti di rumah, yaitu bersih-bersih rumah dan menyiapkan makanan untuk Miranda.
Pelan-pelan sekali, Meilissa turun dari tempat tidur. Dia ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas pagi, tentu saja semua dilakukan dalam mode senyap.
Selesai bersiap, Meilissa sekali lagi ke tempat tidur. “Li, aku pulang dulu,” pamitnya, berbisik.
Liora hanya menggeliat dengan mata terpejam. Selain kelelahan karena acara semalam, Liora memang tidak terbiasa bangun pagi. Meilissa tersenyum maklum, lalu mengeluarkan ponselnya.
“Li, aku harus pulang. Kamu tidur nyenyak sekali, aku tidak tega membangunkan kamu. Thanks sudah boleh menginap. Sampai ketemu di kampus. Oke?” ketik Meilissa, lalu mengirimkannya ke nomer Liora. Tidak lupa, emoticon peluk dan cium dia tambahkan di akhir kalimat.
Setelah itu, Meilissa berjingkat-jingkat keluar kamar. Kurang dua langkah dari anak tangga paling bawah, sebuah suara hangat nan ramah menyapanya. “Pagi, Mei. Sudah bangun?”
Meilissa refleks menghentikan langkahnya di tangga. Matanya langsung menangkap sosok Lionel yang berdiri di ujung tangga. Lelaki itu mengenakan setelan olahraga yang membuat postur tubuhnya tampak masih atletis di usianya yang matang.
“Pagi, Om,” sapa Meilissa sedikit menunduk, menyembunyikan tatapan kagumnya dari Leonard. “Aku... pulang dulu ya, Om.”
“Hm, sepagi ini?” Lionel melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Iya, Om. Aku harus melakukan beberapa hal sebelum pergi ke kampus siang nanti,” angguk Meilissa sambil tersenyum sopan.
Lionel menatapnya sejenak, lalu berkata, “Kalau begitu, ikut aku saja. Ayo!” Nadanya terdengar seperti perintah.
Meilissa menelan ludah. Satu mobil dengan Lionel, berdua saja, bisa membuat jantungnya bekerja sangat keras.
“Mei! Tunggu apa lagi? Keburu siang,” panggil Lionel, menunjuk jam tangannya.
“Eh, tapi…–”
“Sekalian aku mau jogging sama teman-teman di taman,” ajak Lionel lagi, seakan tahu isi pikiran Meilissa, “kalau kesiangan, kamu bisa dimarah oleh Mamamu.”
Mendengar Lionel menyebut Mama, Meilissa langsung melupakan debaran jantungnya. Iya. Dia harus segera pulang kalau tidak ingin terkena masalah.
“Terima kasih, Om,” putus Meilissa akhirnya. Dia bergegas mengikuti langkah Leonard yang panjang dan cepat.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Meilissa duduk dengan tegang di kursi penumpang. Ini pertama kalinya bagi Meilissa pergi berdua saja dengan seorang laki-laki. Biasanya dia menghindari interaksi yang terlalu intense dengan laki-laki. Ada trauma tersendiri saat berdekatan dengan lawan jenis.
Pacar-pacar Mamanya sering melihatnya dengan tatapan lapar, seakan menjadikan dirinya sebagai object fantasi. Meilissa risih. Terlebih, beberapa dari mereka sering dengan sengaja menyentuh dirinya setiap kali ada kesempatan. Kaum lelaki itu seakan menganggap dirinya mainan yang bisa dimainkan sesuka hati.
Lionel menyetir sambil curi-curi pandang, mencoba menebak isi pikiran gadis di sampingnya.
Di sebelahnya, Meilissa sengaja menatap pemandangan di luar jendela. Dag dig dug. Canggung. Tapi, juga senang.
“Biasanya apa yang kamu lakukan pagi-pagi begini?” tanya Lionel membuka percakapan. Meilissa menoleh.
“Membantu Mama di rumah, Om,” jawabnya diplomatis.
Lionel manggut-manggut. “Papa dan Mama kerja apa?” tanyanya kemudian.
"Papa... aku tidak tahu beliau di mana. Mama tidak bekerja," jawab Meilissa dengan jujur. Matanya menatap lurus ke depan bersikap seperti baik-baik saja, tapi Lionel tahu Meilissa rindu keluarga.
“Lalu, dari mana biaya hidup kalian?” pancing Lionel. Dari hasil menguping pembicaraan Meilissa dan Miranda di telepon, dia menduga kalau gadis di sampingnya dijadikan tulang punggung keluarga oleh Mamanya.
“Aku bekerja apa saja sambil kuliah, Om,” jawab Meilissa apa adanya. Bibirnya tersenyum, tapi matanya tidak bersinar.
Lionel termangu. Matanya lurus menghadap ke jalanan, sementara pikirannya berkelana.
Meilissa tidak punya keluarga yang utuh dan menjadi tulang punggung. Papanya entah ke mana, sementara Mamanya kurang perhatian.
‘Mei yang malang, kenapa aku tiba-tiba ingin mengisi kekosongan itu?’
“Kita mampir dulu, ya?” putus Lionel kemudian.Mobil yang dia kendarai berbelok ke sebuah coffee shop yang buka dua puluh empat jam.“Ya…” angguk Meilissa, bertepatan dengan mobil berhenti di area parkir yang disediakan.“Tunggu. Sebentar saja,” ucap Lionel, langsung keluar tanpa menunggu respon Meilissa.Meilissa menatap punggung Lionel yang masuk ke dalam coffee shop. Dia heran pada dirinya sendiri. Meski canggung, tapi Meilissa menyadari satu hal. Dia tidak takut pada Lionel. Lelaki itu berbeda sekali dengan pacar-pacar Mamanya yang kurang ajar. Tatapan Lionel sopan. Gerak gerik dan tutur katanya pun lembut.Tidak lama, Lionel kembali muncul dengan satu kantung besar dan satu kantung kecil.“Makan yang ini.” Dia memberikan kantong kecil pada Meilissa, kemudian dia mengangkat kantong besar, “Bawa pulang. Jadi, kamu tidak perlu masak untuk sarapan.”Meilissa melongok kantong kecil, yang ternyata berisi satu gelas cokelat hangat dan croissant. Hatinya berdesir saat mengambil kantong i
Meski ingin, tapi ternyata Meilissa tidak sanggup bercerita.“Hm…, iya, Om. Terima kasih atas perhatiannya," kata Meilissa akhirnya. Dia memilih menyimpan kembali uneg-uneg ke dalam hatinya.Lionel menghela napas sambil menatap Meilissa dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Minum, Om? Tadi katanya haus,” ucapnya berusaha mengalihkan topik. Dia mengangkat gelas lalu sengaja memasang mimik menggemaskan sambil menggoyangkan gelasnya perlahan.Tidak ingin memaksa, Lionel mendekatkan gelas ke bibir dan meminum isinya hingga habis. "Hhh… lega….," katanya sembari mengangkat gelas, meniru gaya Meilissa.Meilissa tersenyum lebar. "Lagi, Om?" tawarnya, siap sedia mengisi ulang gelas yang sudah kosong.Lionel menggelengkan kepala. "Tidak. Terima kasih."“Kalau begitu, berikan gelasnya padaku. Aku cucikan.” Meilissa langsung mengambil alih gelas, dan bergerak ke wastafel untuk mencuci gelas-gelas tadi.Diam-diam Lionel memperhatikan gerak-gerik Meilissa. Cara mencucinya begit
Lionel berdehem pelan. Hati boleh jedag jedug karena celetukan puterinya, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang. “Liora,” panggil Lionel dengan nada berwibawa. Serempak Liora dan Meilissa menoleh.“Papa bukan barang yang bisa dibagi-bagi, Sayang. Tapi kalau kamu mau, Papa bisa menyayangi Meilissa. Sama seperti Papa mencintaimu," katanya kemudian. Matanya yang teduh kembali menatap Meilissa.Liora tersenyum puas, lalu menghambur ke pelukan Papanya. "I love you, Papa," ucapnya manja - mencium pipi Lionel yang langsung membalasnya dengan peluk dan cium.Baik Liora maupun Lionel itu tidak sadar kalau Meilissa terpaku di tempatnya dengan perasaan membuncah.Lionel bisa menyayanginya?Meilissa menunduk, menyembunyikan merah yang semburat di pipinya.Kalimat itu berhasil menyentuh relung hatinya yang terdalam, mengisinya dengan sebuah kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.Sedangkan Lionel?Saat melihat rona merah di pipi Meilissa, ada desiran aneh yang muncul, namun cepat-cepat
Lionel tampak tercengang. Pria itu menatap Meilissa yang tegang dan kaku. Dan anehnya, sepasang mata gadis itu memancarkan sesuatu yang berbeda. Entah gugup. Tersipu. Atau, sesuatu yang tidak bisa Lionel terjemahkan dalam kata-kata.Beberapa detik seolah terhenti bagi mereka. Hanya ada debaran jantung Meilissa dan jarak yang kian menipis serta tatapan yang sulit dialihkan.Lalu—Lionel mengerjap, mencoba memulihkan diri dari situasi yang cukup mengejutkan baginya. Awalnya dia ingin mencari putrinya, siapa sangka malah Meilissa yang ada di kamar.Pria itu menarik napas panjang, menurunkan tangannya perlahan, lalu menyentakkan Meilissa dengan lembut.“Kamu baik-baik saja?” Suaranya rendah, tapi tetap terdengar hangat. Kedua tangannya berjaga di bahu Meilissa kanan dan kiri, memastikan gadis itu tidak kembali oleng.“Ehm... i-iya, Om. Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku, Om.” Meilissa menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.Menghela napas, L
"Engh... yes... di situ... mmh…."Suara desahan seorang pria terdengar menembus dinding tipis yang membatasi antara kamar Meilissa dan mamanya.Tubuh Meilissa menegang. Bunyi decit ranjang yang bergerak secara teratur sangat mengganggu akal sehatnya."Aaah, Ron. Di sana... enak sekali… oh...." Desahan seorang wanita menyusul. Itu suara mamanya.Selanjutnya, desahan dan erangan terdengar bersahutan. Semakin lama semakin kencang dan intens.Meilissa lekas menyambar headset bluetooth dari atas meja dan menyumpal telinganya dengan benda itu. “Dasar tidak tahu malu!” gerutunya jijik. Jemarinya bergetar saat memilih lagu. Detik berikutnya, musik berirama cepat dan menghentak memenuhi telinga gadis itu, menggantikan suara-suara yang membuatnya ingin muntah.Ini bukan pertama kalinya Meilissa menyaksikan dan mendengarkan hal tidak senonoh macam ini. Ibunya kerap membawa pacar-pacarnya ke rumah dan bercinta seolah mereka adalah pemilik dunia. Tapi, tetap saja, Meilissa tidak pernah terbiasa







