LOGINSetelah kejadian di rumah pagi ini, Meilissa sengaja datang ke kampus sedikit terlambat supaya Liora tidak berkesempatan untuk menyelidik. Dia memakai masker medis yang menutupi hampir separuh wajahnya, dan datang hampir bersamaan dengan dosen.
Liora yang tidak tahu menahu, hanya melihat Meilissa dengan tatapan penuh tanya. Meilissa datang dengan gerak gerik yang aneh—terasa lebih pendiam, menjaga jarak, dan seperti menghindar dari tatapan matanya.
"Kamu sakit?" bisik Liora tidak tahan lagi. Belum sampai dua puluh empat jam mereka berpisah, tapi Meilissa sudah tampak berbeda.
"Hmm, iya. Aku sedikit flu," angguk Meilissa tanpa melepas pandangannya dari dosen yang sedang menerangkan di depan kelas.
"Oooh... begitu...." Liora mengangguk-anggukkan kepala sambil menggembungkan pipi seolah-olah percaya, meski mimik wajahnya jelas mengatakan, 'Aku tahu kamu bohong, Mei.'
Meilissa terlalu sering berpura-pura semua baik. Kalau sampai Liora tahu hal-hal yang menimpa Meilissa, itu semata-mata karena dia memaksa sahabatnya untuk bercerita.
Selama kuliah Liora melirik Meilissa berkali-kali, tapi Meilissa tetap fokus ke depan seakan-akan mengatakan kalau sedang tidak ingin diganggu.
Akhirnya, Liora memutuskan menunda kecurigaannya. Dari penampakan luar, Liora tampak fokus pada materi, tapi sebenarnya berbagai kemungkinan buruk muncul di kepalanya—semua yang berkaitan dengan satu hal, yaitu Mama Meilissa.
Saat kuliah selesai, Meilissa segera bangkit dan mencangklong tasnya dan berpamitan sambil memalingkan wajah.
“Aku duluan. Mau kerja part time,” bohongnya, seraya keluar ruangan dengan langkah lebar-lebar.
Liora menyambar tasnya, lalu berlari-larian kecil mengikuti Meilissa hingga keluar gedung.
“Kamu sakit, tapi masih kerja part time?”
"Oh, itu... karena tidak ada yang menggantikan aku," gugup Meilissa, refleks berhenti melangkah.
"O'ya?" Liora mendekat sambil memicingkan mata.
Meilissa mundur selangkah, tapi ternyata Liora lebih cepat. Tangannya terulur menahan tangan Meilissa dengan lembut tapi mantap.
"Sudah minum obat apa?" pancing Liora.
Meilissa menelan ludah. Nada bicara Liora adalah nada yang sama seperti yang dia ucapkan saat menemukan lebam-lebam di lengannya akibat dipukuli. Nada penuh selidik.
"Su...sudah. Aman kok. Sekarang sudah baikan," jawab Meilissa dengan suara bergetar.
Liora mengulurkan tangan ke wajah Meilissa. "Boleh aku buka?"
Meilissa tertegun. Bagi Liora, diam adalah setuju. Maka, dia menarik tali masker yang melingkar di telinga Meilissa dengan sangat hati-hati.
Masker itu jatuh ke dagu, dan Liora pun membeku. Ia tak langsung bicara. Matanya membesar, napasnya tercekat. Ada garis lumayan panjang di pipi Meilissa, sedikit bengkak. Warnanya merah kebiruan, seperti luka yang tidak diobati.
“Mei....” Suara Liora tercekat. “Luka ini dalam....”
Meilissa tertawa kecil. Sayangnya, tawa itu terdengar sumbang—terasa jelas seperti seseorang yang berusaha terlihat tenang.
"Aku kelihatan jelek ya? Tadi pagi terantuk pinggiran meja saat—”Kalimatnya terhenti di ujung lidahnya sendiri. Dari cara Liora menatap, Meilissa tahu kalau Liora tidak percaya. Liora terlalu mengenalnya.
Sesaat sepasang sahabat itu bertukar pandang dalam diam, hingga akhirnya Liora melipat kedua tangan di depan dada, mulutnya mengerucut tajam.
“Mei, aku benci kamu kalau begini,” gerutunya.
Meilissa menunduk, menatap ujung sepatunya. “Ya, maaf… aku cuma tidak mau membuatmu khawatir.”
“Justru karena kamu begini aku malah khawatir!” protes Liora keras. Meilissa mendongak, matanya bertemu dengan mata Liora.
Kalau dilihat dari jauh, keduanya tampak seperti sedang bertengkar. Meilissa menatap Liora dengan ekspresi campur aduk, sedangkan Liora melipat tangan sambil menatap sahabatnya lekat-lekat.
Meilissa hendak menarik maskernya lagi ke wajah ketika tiba-tiba sebuah suara berat terdengar dari belakang mereka.
“Hey, Girls. Apa kalian sedang bertengkar?”
Meilissa spontan memutar badan dan buru-buru mengangkat masker hingga kembali menutupi wajahnya. Jantungnya mencelos melihat siapa yang berdiri beberapa langkah di belakang.
Lionel.
Laki-laki itu mengangkat satu alis, pandangan tajamnya sekilas memindai gerak-gerik Meilissa yang terkesan menutupi sesuatu. Bibirnya menegang, seolah ada sesuatu yang ingin dia utarakan tetapi ditahan.
“Lho, Papa?” Liora terlonjak. “Papa di sini?”
Lionel mengangguk santai. “Papa ada sedikit urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir menengok putri kesayangan Papa.” Pria bertubuh tinggi dan besar itu merentangkan kedua tangan, dan Liora langsung menghambur ke pelukannya.
"Sudah selesai kuliahnya? Ayo, ikut Papa. Kita makan ice cream," ajak Lionel, sepasang mata tajamnya menatap Meilissa yang berdiri dengan kikuk. Meilissa mengangguk pelan sambil tersenyum sopan, dan Lionel membalasnya dengan anggukan samar.
"Yaaah, Papa. Kenapa mendadak? Aku ada janji sama dosen. Aku masih harus di kampus untuk beberapa jam ke depan," keluh Liora melerai pelukannya, lalu memasang ekspresi menyesal.
Tidak ingin Papanya sedih, Liora melirik kearah Meilissa kemudian menjentikkan jari. Matanya bersinar seperti orang menemukan solusi terhebat.
"Papa, sebagai gantinya Mei akan menemanimu. Setelah Papa antar ke cafe untuk kerja paruh waktu," celetuknya tanpa dipikir lagi.
Lionel menggelengkan kepala sambil terkekeh. Di matanya, Liora sangat menggemaskan. Dan sebisa mungkin dia mengabulkan keinginan puterinya.
"Baiklah. Sopir akan menjemputmu nanti," putus Lionel cepat. Matanya lagi-lagi oleng kearah Meilissa.
"Thanks, Papa." Liora mencium pipi Lionel dan langsung berbalik badan dan berlari kembali ke dalam gedung.
"Astaga, Liora! Kamu selalu membuatku diposisi sulit," gumam Meilissa pelan sekali. Dia terpaku di tempatnya dengan jantung yang berdebar keras.
Tentu saja setiap perubahan ekspresi Meilissa tidak luput dari perhatian Lionel. Tersenyum maklum, pria berusia empat puluh tahun itu menghampiri Meilissa.
"Ayo, Mei. Aku antar," katanya sambil menyentuh punggung Meilissa dan mendorongnya pelan supaya mulai berjalan ke mobil.
Saat telapak tangan Lionel menyentuh punggungnya—pelan, hangat, dan penuh kehati-hatian, Meilissa merasa tubuhnya menegang sesaat.
Ada rasa aneh yang menjalar dari sentuhan kecil itu, merayap naik sampai ke tengkuknya lalu menjalar hingga ke seluruh tubuh.
Tanpa sadar, langkahnya melambat. Meilissa mencuri pandang ke samping—ke arah pria yang berjalan di sebelahnya.
Lionel jauh lebih tinggi. Meilissa hanya berani melirik dari bawah, sudut matanya terangkat sedikit untuk melihat wajah tegas itu.
Dari sudut pandang yang rendah, Lionel terlihat kokoh seperti batu karang yang sering dipakai oleh ikan-ikan kecil untuk berlindung.
"Om, bolehkan aku berlindung padamu?"
“
Lionel berdiri di depan pintu kamar mandi sambil memanggil nama Meilissa berulang kali. Tapi, tidak ada jawaban.Dari balik pintu, hanya terdengar suara shower yang mengalir deras, bercampur dengan gemericik air dari kran bathub yang terus terisi.Meilissa sama sekali tidak mendengar panggilan itu. Kesadarannya tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan.Air mata mengalir deras menyatu dengan air shower, hingga tidak bisa dibedakan lagi. Bahunya terguncang hebat saat menangis, menampakkan kesedihan yang mendalam.Penyesalan berputar-putar di kepalanya, tanpa henti—menyiksa perasaan.Andai saja dia tidak pulang ke rumah malam itu.Andai saja sejak awal dia memilih hidup sendiri.Andai saja dia lebih berani mengambil keputusan sebelum semua ini terjadi..Penyesalan demi penyesalan datang, lalu menumpuk tinggi hingga mencapai puncaknya. Dia merasa jijik pada dirinya sendiriMeilissa berdiri dengan gerakan gugup, lalu berjalan ke deretan toiletries yang tersedia di rak. Tangannya bergetar
Mengira yang datang adalah Liora, Meilissa membuka pintu dengan sambil berusaha terlihat baik-baik saja.Tangannya bergetar saat hendak membuka pintu. Debaran di jantung terasa sangat mengganggu hingga Meilissa harus berusaha keras untuk sekedar tersenyum tipis.Yang lebih mengejutkan lagi adalah orang yang berdiri di depan pintu bukan Liora, melainkan Lionel.Meilissa tertegun saat mendengar sapaan Lionel“Selamat malam, Mei. Bagaimana kondisimu malam ini?" sapa Lionel formal.Suara tenang persis sama seperti dokter yang sedang menanyai pasiennya saat sedang berada di ruang periksa.Bagi Meilissa, dunia terasa berhenti. Udara di ruangan itu seakan menyusut. Setiap tarikan napas terasa menyakitkan dada.Sebagai dokter yang berpengalaman, Lionel langsung menangkap sesuatu yang janggal.Di rumah sakit, Meilissa terlihat lebih tenang. Memang disana Meilissa tampak lemah secara fisik, tapi tidak seperti saat ini. Saat ini Meilissa terlihat tegang dan gugup.“Maaf, Om…” suara Meilissa terd
Sekarang justru Liora yang terdiam. Dia teringat pesan papanya—pesan yang masih terngiang jelas di kepalanya kalau Meilissa belum boleh tahu tentang peristiwa buruk itu.Takut keceplosan, Liora mengeluarkan ponsel dan berpura-pura sibuk menulis pesan pada entah siapa.Meilissa menunggu, berharap sahabatnya itu berkata sesuatu—apa pun asalkan bisa memberinya pencerahan.Tapi tampaknya Liora tidak berniat mengatakan apa pun. Mulutnya benar-benar terkatup seperti kerang yang menolak terbuka.Pada akhirnya, Meilissa hanya bisa menelan rasa penasaran itu sendiri. Dia melihat keluar jendela, dengan perasaan berkecamuk.Untunglah, semua itu tidak berlangsung lama. Mobil yang mereka tumpangi masuk ke halaman rumah mewah Lionel.Liora menghela napas lega. Setidaknya, di rumah ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghindari pertanyaan Meilissa.Bibi Emma menyambut mereka senyum lebar."Apa kabar, Nona? Saya dengar Nona baru sembuh dari sakit," sapanya sambil memeluk erat Meilissa. Pengasu
Meilissa duduk sendiri di bangku panjang dekat pintu keluar dan menunggu dengan sabar. Pandangannya mengikuti orang-orang yang keluar masuk—hingga tiba-tiba dunianya seakan berhenti berputar."Aduh!" Meilissa tersentak kaget.Pedih menyambar kulit kepalanya. Rambutnya dijambak dengan keras oleh seseorang hingga kepalanya ikut mendongak.Sakit sekali! Sampai matanya terasa berkunang-kunang.“Sialan kamu, Mei!” geram Miranda. Dia baru saja membeli beberapa keperluan Evan, ketika tidak sengaja melihat Meilissa duduk dengan santai di bangku."Sshh... Mama?!" rintih Meilissa, "Sakit... Mama, lepaskan, Ma!"Alih-alih melepaskan, Miranda justru menarik rambut Meilissa semakin kuat dan mendekatkan wajahnya ke wajah puterinya. Tangan Meilissa refleks terangkat supaya Miranda melepaskan cengkeramannya.PLAK! "AW!" Miranda menepis tangan Meilisa dengan kasar."Mengaku sakit, tapi keluyuran! Lapor polisi kalau diperkosa, tapi kondisimu baik-baik saja. Katanya dirawat di rumah sakit, malah belan
Menangkap reaksi Meilissa yang aneh, Liora refleks menyentuh tangan Lionel.“Papa, Mei…” bisiknya pelan, sementara matanya terus melihat Meilissa dengan sorot mata khawatir. Dia takut sahabatnya kembali tumbang.Lionel juga merasakan perubahan itu, tapi reaksinya lebih tenang meski batinnya, meronta-ronta ingin memeluk dan menenangkan gadis yang sudah berhasil menarik perhatiannya.Tapi, sekali lagi etika sebagai dokter menghalanginya untuk menuruti keinginan hati. Sebagai ganti, dia menoleh pada Liora dan memberi syarat dengan anggukan samar nyaris tak terlihat."Ya," angguk Liora mengerti.Tanpa disuruh dua kali, Meilissa segera mendekat dan memeluk Meilissa.Pelukan itu terasa hangat dan lembut bagi Meilissa. Tubuh yang semula kaku perlahan melunak. Napas yang terputus-putus mulai teratur. Tanpa sadar Meilissa membalas pelukan itu dengan erat seakan tubuh Liora adalah pegangan terakhir dalam hidupnya.Lionel menghela napas. Sekali lagi memberi kode pada Liora untuk mengalihkan piki
Lionel melangkah memasuki area front office dengan wajah datar dan sikap yang sepenuhnya profesional. Jas dokter yang dikenakannya rapi, langkahnya mantap, tanpa sedikit pun keraguan.“Selamat pagi, Nyonya,” sapa Lionel formal.Miranda yang sejak tadi duduk sambil menyilangkan kaki langsung mendongak saat mendengar suara berat itu. Tatapannya bergerak cepat, mengamati sosok lelaki yang masih tampan di usianya yang sudah matang saat ini.Petugas front office segera berdiri, tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Dokter. Perkenalkan. Ini Mama dari pasien bernama Meilissa.”Kemudian petugas itu menoleh pada Miranda dan kembali bicara, “Nyonya, ini Dokter Lionel. Dokter penanggung jawab puteri anda, Meilissa.”Miranda bangkit berdiri dengan gerakan lemah gemulai khas penggoda. Senyum terukir di bibirnya yang merah menyala. Tidak lupa matanya menatap Lionel dengan cara yang biasa dia gunakan untuk menaklukkan laki-laki—tatapan penuh percaya diri, seolah yakin pesonanya tak pernah gaga







