Share

Cinta Terlarang
Cinta Terlarang
Author: OktaOkta

01 - Keluarga

Keluarga adalah harta paling berharga.

Keluarga? Kenapa kata itu terdengar asing di telinga perempuan 25 tahun itu. Baginya keluarga tidak ada harganya, keluarga adalah kata benda tanpa arti dan kehangatan keluarga adalah bualan yang sialnya sampai sekarang masih sering dia dengar. Baginya tidak ada yang lebih berharga selain waktu dan uang. Seperti pepatah yang sering dia dengar “waktu adalah uang.”

Perempuan itu masih memandang foto keluarga Nafa di meja rias, dalam foto berukuran sedang itu ada Nafa lengkap dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang tersenyum bahagia ke arah kamera. Hati kecil perempuan itu menjerit iri, jika ada yang bertanya apa dia menginginkan keluarga yang hangat dan harmonis maka dia akan dengan tegas menjawab iya. Tetapi harapan itu sudah hancur bertahun-tahun lalu. Kehangatan yang seharusnya dia dapat musnah, membuatnya berpikir bahwa keluarga hanya kata benda yang tidak memiliki arti. Keluarganya sangat berbeda dengan keluarga Nafa yang harmonis, bahkan Nafa bisa pulang ke rumahnya tiga kali dalam sebulan. Sangat berbeda dengannya yang pulang tiga bulan sekali. Sampai saat ini dia benar-benar tidak ingin membangun sebuah keluarga. Trauma masa kecilnya membuat dia memandang sinis tentang arti keluarga. Beberapa lelaki yang mencoba mendekatinya memilih mundur tidak tahan dengan sikap dingin perempuan itu.

Ketukan pintu disertai dering ponsel menyadarkan perempuan itu dari lamunan panjang. Perempuan itu segera mengembalikan foto keluarga Nafa di tempat semula dan mengambil ponselnya yang terus berdering. Setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya, dia meletakkan ponsel itu dan segera membuka pintu. Seorang perempuan dengan gamis dan jilbab besar berdiri di depan pintu indekosnya.

“Assalamualaikum, Ona,” sapa Aisyah, kakak keponakan Ona.

Ona memandang banyaknya barang bawaan Aisyah dan segera membantu tanpa menjawab salam. Aisyah tidak pernah mengunjungi indekosnya dengan tangan kosong.

“Ini titipan dari ibumu,” ujar Aisyah sambil meletakkan plastik besar yang isinya dapat Ona tebak. Barang bawaan Aisyah setiap bulan selalu sama: mi instan, kopi instan, dan makanan ringan yang semua itu selalu dalam jumlah banyak. Jika Nafa tahu, perempuan itu pasti akan menggagalkan rencana dietnya.

“Kamu kapan pulang, Na? Udah hampir 3 bulan kamu gak pulang, ibumu khawatir.”

Ona hanya bergumam pelan menanggapi ucapan Aisyah, dia selalu berkata hal yang sama setiap kali mengunjungi Ona. Dan jawaban Ona juga akan selalu sama, diam atau bergumam tidak jelas. Ona akan pulang bila terpaksa, itu pun dia di rumah hanya satu sampai dua hari saja.

Dering ponsel Aisyah mengalihkan perhatian kedua perempuan itu. Setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya senyum langsung merekah di wajah cantik Aisyah. Ona dapat menebak panggilan itu pasti dari Ali, calon suami Aisyah. Aisyah menjauh ke balkon kecil indekos, kamar Ona memang terletak di lantai 2, sedangan lantai 1 khusus untuk lelaki. Wajah Aisyah memerah ketika mengucapkan salam, kemudian Aisyah menjawab setiap pertanyaan Ali dengan lembut dan sabar. Sesekali Aisyah tersipu malu atau tertawa pelan. Perempuan itu bahkan tidak ragu lagi menunjukkan sikap manjanya di depan Ali. Aisyah sudah benar-benar jatuh ke pelukan Ali dan Ona meringis menyadari hal itu. Apa nanti Ona bisa mencintai lelaki seperti Aisyah mencintai Ali?

Ona menggelengkan kepala dan memutar musik di ponselnya dengan volume penuh. Berharap Aisyah menyadari ketidaknyamanannya dan mengakhiri panggilan itu. Namun, nampaknya perempuan berhijab itu sama sekali tidak sadar dengan kode Ona dan terus bicara dalam telepon, sama sekali tidak terganggu dengan suara musik dari ponsel Ona.

Satu jam berlalu, percakapan Aisyah dengan calon suaminya belum juga usai. Ona sudah berusaha mengalihkan perhatian dengan membaca novel. Namun, suara samar Aisyah masih tetap masuk ke gendang telinganya. Ona mendengus, sebenarnya Aisyah mengunjunginya untuk apa, sih? Pamer kemesraan dengan calon suaminya?

Pintu kamarnya kembali diketuk, Ona bangkit dengan malas dan berjalan gontai menuju pintu. Nafa nyelonong masuk begitu pintu dibuka, perempuan berusia satu tahun lebih muda dari Ona itu melemparkan tasnya dan segera merebahkan tubuhnya di kasur. Ona menatap Nafa kesal.

“Aduh, capek banget gue,” ujar Nafa sambil meraih ponsel Ona dan mematikan musik yang Ona putar. “Ini juga nyalain musik kayak orang budeg aja.”

Ona mendengus dan merebut ponselnya dari tangan Nafa.

Menyadari kedatangan teman sekamar Ona, Aisyah mengakhiri percakapannya dengan Ali dan berjalan menghampiri kedua perempuan berbeda kepribadian itu.

“Abis dari Salatiga, Fa?” sapa Aisyah dan duduk di pinggir tempat tidur.

Nafa bangkit sambil berkata, “Iya, Mbak. Mbak Aisyah udah lama?”

“Udah, tapi tadi sibuk angkat telepon dari Mas Ali sampai lupa kalau lagi di kosnya Ona.” Aisyah tersenyum ketika menyebut nama Ali.

“Bucin banget, Mbak,” kekeh Nafa. “Jadinya kapan nikah, nih, Mbak?”

“Dua bulan lagi. Doain lancar, ya.”

“Aminn. Semoga lancar sampai hari H ya, Mbak, jangan lupa undangannya.”

“Pasti, dong. Kamu kalau datang jangan lupa bawa pasangan, Naf, masak ke kondangan sama Ona terus,” goda Aisyah. “Kamu juga jangan lupa bawa, Na.” Aisyah menatap Ona yang sedang membaca novel.

“Ini mah namanya nyindir alus, Mbak. Tau aja kita berdua jomblo akut,” jawab Nafa dramatis. Aisyah tertawa mendengar jawaban Nafa.

Ona memutar bola matanya dan kembali membaca novel. Dia merasa Nafa lebih akrab dengan Aisyah daripada dirinya, sikap easy going Nafa sangat cocok dengan Aisyah yang ramah. Sikap mereka sangat berbeda dengan Ona yang cenderung diam dan canggung. Jika mereka bertiga kumpul, percakapan hanya diisi oleh Nafa dan Aisyah., Ona akan sibuk dengan kegiatannya sendiri dan sesekali menyahuti pertanyaan mereka. Makanya Ona selalu membawa novel ke mana pun dia pergi untuk mengatasi rasa bosan.

Samar-samar terdengar tawa dari lantai 1, semakin lama semaki keras dan ramai. Suara itu menghentikan percakapan Nafa dan Aisyah, mereka juga penasaran dengan sumber ramai-ramai itu. Tidak bisa menahan rasa penasarannya, Nafa bangkit dan keluar kamar untuk mencari tahu asal suara itu.

Beberapa saat kemudian Nafa kembali dengan air muka semringah. Rusuh dari lantai 1 masih jelas terdengar.

“Ada kabar bahagia!” ujar Nafa heboh.

“Apa?” tanya Aisyah penasaran.

“Ada penghuni baru di lantai 1, cowok ganteng banget.” Mata Nafa berbinar-binar. Ona mengeryit, hanya ada penghuni baru kenapa bisa seheboh itu?

“Katanya dia karyawan baru di Konimex dan besok hari pertama dia masuk,” jelas Nafa semangat.

“Terus?” tanya Ona malas.

“Dia analis pengganti Pak Ranto, Na. Ya ampun, jarang-jangan ada analis ganteng kayak gitu. Besok lo harus liat dia, Na. Lo pasti gak bisa berkata-kata.”

“Lebay.” Ona memutar bola matanya malas.

“Berarti udah pasti dia bakal satu lab sama kita, Na,” ujar Nafa menatap Ona. Ona hanya mengangguk malas menanggapi ucapan Nafa.

Aisyah tersenyum melihat interaksi Ona dan Nafa, mereka berdua saling melengkapi, Aisyah bersyukur Ona memiliki teman sekamar seperti Nafa. Setelah melihat jam di pergelangan tangannya, Aisyah pamit pulang pada Nafa dan Ona.

“Ayo taruhan!” tantang Nafa setelah Aisyah pergi.

Ona menatap Nafa malas, Nafa selalu mengajak Ona taruhan dengan hal-hal sepele yang pada akhirnya Nafa selalu kalah.

“Kalau besok lo gak terpesona sama penghuni baru itu, gue bakal traktir lo beli novel.” Nafa selalu tahu kelemahan Ona yang tidak bisa menolak novel gratis. “Gue yakin lo pasti tersihir sama kegantengan dia, Na,” lanjut Nafa yakin.

Seganteng apa, sih?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status