Di dalam kamar apartemen, Veronika terus memandangi jari manisnya yang kini dihiasi cincin pemberian atasannya. Sesekali, wanita itu tersenyum-senyum sendiri, saking bahagianya. Bagaimana tidak? Perlakuan atasannya begitu romantis. Meski bersikap dingin, pria itu tahu persis cara membuat Veronika merasa istimewa.
"Lihat saja, Narendra! Kau akan kubuat bertekuk lutut setelah pernikahanku dengan Tuan Noah sah," ucap Veronika seraya menatap kaca yang memantulkan wajah cantiknya, lengkap dengan senyum sinis di sana. "Bodoh sekali! Aku terlalu buta oleh perasaan cinta yang kumiliki untukmu, sampai-sampai aku tak menyadari kalau kau bermain api di belakangku bersama Echa, sepupuku." Perkataan Veronika memancing air matanya kembali mengalir. Namun, merasa tak pantas menangisi pria seperti Narendra, ia buru-buru menyekanya. "Tak akan ada lagi air mata untuk pria seperti Narendra!" tegas Veronika pada dirinya sendiri. "Aku akan melupakan pria bajingan itu!" Namun, setelah mengatakan itu, pandangan mata Veronika kembali tertuju pada tanda kiss mark di lehernya. Sesuatu yang sejak tadi membuatnya takut untuk tidur sendirian di kamarnya. "Tanda ini? Bagaimana jika atasanku melihatnya? Dia pasti akan berpikiran buruk tentangku," keluh Veronika, sambil sekuat tenaga menggosok-gosok lehernya. Sayang, yang terjadi justru kulit lehernya memerah. "Apa aku perlu menanyakan hal ini pada resepsionis? Tapi… dia pasti akan bilang aku menuduh pemilik apartemen, karena di lantai ini hanya ada aku dan dia saja." Veronika menghela napas panjang. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Merasa suntuk di kamar, Veronika memutuskan keluar dari apartemennya. Namun, begitu pintu terbuka, ia terkejut saat mendapati sosok atasannya juga keluar dari kamar sebelah. Tanpa pikir panjang, Veronika buru-buru kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak ingin atasannya melihat keberadaannya di sana. "A-apa jangan-jangan... atasanku adalah pemilik apartemen ini? Argh! Apa dia juga yang sudah masuk ke kamarku dan..." Perkataan Veronika terhenti, menyadari betapa gilanya pikirannya saat ini. "Tidak mungkin! Pasti bukan dia!" desisnya lagi. "Atasanku bahkan tidak tahu kalau aku tinggal di apartemen ini, jadi mustahil kalau dia yang masuk ke kamarku." Veronika berusaha keras berpikir positif, meskipun pikirannya sudah menjalar ke mana-mana, membayangkan berbagai kemungkinan yang membuat hatinya tak tenang. Ia menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan diri. Tanpa Veronika sadari, seseorang tengah menyentuh daun pintunya sambil tersenyum. Seseorang yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Noah Rudiarth Alexander. Setelahnya, pria itu menjauh. "Apa dia sudah pergi? Kurasa iya," gumam Veronika sambil membuka pintu kamarnya. Tatapannya teralih ke kamar sebelah, dan tidak ada siapa pun di sana. Atasannya sudah tidak ada, membuat Veronika akhirnya menghela nafas lega. "Kenapa aku selalu dipertemukan dengannya? Apa kami memang berjodoh? Andai saja aku bertemu dengannya sebelum Narendra, mungkin aku tak perlu merasakan luka ini." Veronika bergumam pelan, menyusuri koridor yang sepi. Suasana di sana begitu sepi. Mungkin, pikir Veronika, atasannya memang menyukai ketenangan. Itulah sebabnya ia memilih tempat tinggal di area yang jauh dari keramaian. Kamar di lantai itu juga hanya tersedia dua pintu saja. Veronika begitu asyik berjalan-jalan, hingga tanpa sadar pandangannya menangkap siluet dua orang yang sangat dikenalnya. Narendra dan Echa. Kedua orang itu terlihat sedang memesan salah satu kamar di unit apartemen. Tak ingin keberadaannya ketahuan, Veronika buru-buru membalikkan badan untuk pergi. Namun, sialnya, Narendra justru melihatnya lebih dulu. Pria itu segera menghampiri dan berusaha menyentuh tangannya. Refleks, Veronika menepis tangan itu dengan sigap. "Wah! Kebetulan yang sangat indah," ucap Narendra dengan senyum menyebalkan. "Kita dipertemukan lagi, Sayang." Ucapan 'Sayang' dari Narendra membuat Veronika spontan berbalik, menatap pria itu tajam, penuh amarah. "Jangan panggil aku seperti itu! Aku sangat, sangat benci mendengarnya!" bentak Veronika sambil menunjuk wajah Narendra. "Kenapa, hm? Bukankah dulu kau menyukainya?" "Itu dulu! Saat aku belum tahu kau menipuku!" "Aku tidak bersalah, Veronika!" bela Narendra cepat. "Kau tidak memberikan apa yang kuinginkan, jadi aku melakukan hal seperti ini bersama Echa, sepupumu sendiri." Wajah Narendra sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Justru, dengan entengnya, ia menyalahkan Veronika sebagai alasan perselingkuhan yang ia lakukan. Tak suka mendengar perkataan itu, Veronika dengan geram menampar Narendra, membuat semua orang yang ada di sana menoleh ke arah mereka. Narendra mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, wajahnya menegang menahan amarah. Tamparan Veronika telah membuatnya malu di hadapan banyak orang — sesuatu yang paling ia benci. Baginya, menjadi pusat perhatian bukanlah masalah selama itu berkaitan dengan kehidupan sosial dan pekerjaannya. Tapi kali ini, perhatian itu datang karena Veronika telah mempermalukannya di depan umum dengan tamparan tersebut. Narendra masih terpaku, wajahnya tertoleh ke arah tamparan yang baru saja Veronika layangkan. Wajah pria itu menegang, rahangnya mengeras menahan amarah. Saat itu, Veronika kembali membuka suara, melontarkan kata-kata yang membuat Narendra semakin tak dapat menahan emosi dan harga dirinya hancur lebur di tempat umum tersebut. "Kau ingin marah? Apa yang kukatakan memang benar, bukan?" ejek Veronika, menatap tajam ke arah pria itu. "Seorang atasan yang memaksa kekasihnya — yang dulu pernah menjadi sekretarisnya untuk tidur bersama. Namun karena tidak diberikan, kau malah tidur dengan sepupu kekasihmu sendiri, hanya demi memuaskan nafsu bejat." Veronika berbicara sambil mengarahkan tatapan tajamnya pada Echa, yang sedari tadi menahan-nahan amarah yang ingin meledak. "Cih, kau itu benar-benar pria busuk, Narendra!" Veronika menatap Narendra sambil tersenyum menyeringai. "Cukup! Kau terlalu banyak sekali bicara, Veronika!" bentak Narendra, sesekali melirik ke sekeliling. Ia benar-benar menjadi pusat perhatian, dan itu bisa saja merusak reputasinya sebagai CEO. "Kenapa tidak? Apa kau malu pada mereka yang menyaksikan?" tanya Veronika sambil menutup mulutnya pura-pura terkejut. "Ups, aku tahu kau malu, bukan?" "Veronika, tutup mulutmu!" desis Echa, melangkah maju mendekat. "Sekali lagi kau buka mulut, aku tidak akan segan merobek mulut itu! Kau benar-benar sudah berani, ya? Jangan pernah menyesal karena sudah menyalakan api." Echa menatap Veronika tajam, wajahnya merah menahan malu dan emosi. "Lalu? Apa kau pikir aku takut padamu?" tantang Veronika. "Aku bukan Veronika yang dulu." "Sial! Kau benar-benar cari perkara denganku, Veronika!" Tangan Echa mencengkeram pergelangan Veronika, tapi Veronika cepat melepaskannya. "Aku hanya bicara fakta! Kalian yang mulai, kenapa aku tak boleh membalas?" kata Veronika, menyilangkan kedua tangannya dengan tatapan menantang. Narendra, yang sejak tadi menahan emosi, akhirnya tak bisa lagi. "Kau..." Tangan Narendra terangkat, siap menghantam Veronika, tapi terhenti di udara saat suara dingin terdengar. "Berani kau sentuh calon istriku, jangan harap masih bisa melihat dunia ini lagi.""Nyonya Anne, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu anak buahnya cemas. Ia membantu wanita tua itu berbaring di ranjang.Tubuh Anne tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan bayang-bayang hitam di bawahnya. Semua itu akibat beban pikiran yang terus menggerogoti, rasa bersalah yang tak kunjung pergi atas kematian tragis putra dan menantunya.Sebelumnya, Anne adalah wanita kuat yang selalu tampak tegar di hadapan siapa pun. Namun segalanya berubah sejak seseorang datang mengantarkan sebuah paket misterius ke tempat persembunyiannya.Ketika kotak itu dibuka di hadapannya, napasnya tercekat. Dua kepala manusia tergeletak di dalamnya, basah oleh darah yang mulai menghitam. Anne mengenali kedua wajah itu.Demon, putra satu-satunya yang ia miliki setelah kematian putra pertamanya, dan Margareth, menantunya.Sejak hari itu, tubuh Anne melemah, jiwanya hancur. Tak ada lagi ketegasan, hanya sisa-sisa rasa bersalah yang menyiksa tanpa ampun.Anne tak menjawab
Noah menatap wanita yang pernah mengisi hidupnya dulu. Satu tangannya menyelinap ke dalam saku celana. "Apa yang kau inginkan sebenarnya, hm? Apa kau tutup mata dengan kesalahan yang kau lakukan dulu, Carol?" tanyanya, tatapannya tajam menusuk.Carol, dengan penampilan kusut dan tak terurus, perlahan merangkak mendekat. Tubuhnya gemetar saat kedua tangannya memeluk kaki Noah erat. "Aku lakukan semua ini … demi merebut cintaku kembali, Noah.""Cinta?" Noah menunjuk dirinya sendiri, mendengus sinis. "Aku? Cinta tapi kau berkhianat? Bagaimana jalan pikiranmu itu, Carol?" Noah terkekeh pelan, tapi nadanya menyayat, penuh ejekan."Aku mengaku salah, Noah. Aku menyesal ... aku benar-benar menyesal pernah melakukan pengkhianatan itu." Pelukan Carol di kaki Noah semakin erat, seolah berharap bisa memohon pengampunan dari pria itu, meski tahu harapannya nyaris mustahil.Noah menendang Carol dengan keras, membuat tubuh wanita itu terhempas ke lantai. "Penyesalan setelah bertahun-tahun berlalu,
"Anda sudah sangat kelewatan, Nona Carol!" ucap Aldrich, sorot matanya tajam menusuk wanita di hadapannya."Aku tidak bisa menahan diriku, Aldrich! Aku tidak tahan untuk ...""Ditiduri oleh mantan suamimu?" potong Aldrich dingin. "Kau masih berharap hal seperti itu, Nona Carol? Tampaknya … kau tengah berbohong soal kehamilan hanya demi bisa tinggal di sini."Carol terkekeh, tawa miris keluar dari bibirnya. "Kau memang pintar menebak, Aldrich. Ya, aku lakukan semua itu karena aku ingin Noah kembali padaku. Aku mau Noah!"Plak!Tamparan keras Aldrich mendarat di pipi Carol. Tubuh wanita itu limbung, sudut bibirnya pecah, darah tipis mengalir."Cukup! Jangan pernah ulangi permainan kotor itu di sini," desis Aldrich, suaranya rendah tapi tajam. "Karena sekali lagi kau lakukan, aku sendiri yang akan menyingkirkanmu!"Carol menatap Aldrich, amarah dan rasa sakit bercampur di matanya. Tapi kali ini, ia memilih diam."Huh! Kau sudah mulai berani denganku, Aldrich. Kau lupa bagaimana dulu kau
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Veronika yang tengah merias diri. Lantas, wanita itu segera membukakan pintu. Senyum tak luntur sedikit pun dari wajah cantiknya. Mendapati Carol yang berdiri di depan pintu kamarnya, membuat ia mengernyit. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Veronika, melainkan ... gaun yang tengah dipakai Carol sama persis dengan gaun pemberian Noah, suaminya.Ya. Tadi siang, Noah sudah berjanji akan mengajak Veronika dinner di sebuah restoran. Tak lupa, Noah juga mengirimkan hadiah berupa gaun berwarna biru malam yang harus dikenakannya. Namun, melihat Carol juga memakai gaun yang sama dengannya, membuat hati Veronika berdesir. "Bagaimana bisa dia memiliki gaun yang sama denganku? Apakah ... Tuan Noah membelikan gaun untuk mantan istrinya juga?" batin Veronika, bertanya-tanya. Carol tersenyum manis. Menatap Veronika dari ujung ke ujung, seolah meneliti penampilannya. "Wah! Aku tidak tahu kalau Noah membelikan kita gaun yang sama
Veronika terbangun saat merasakan sesuatu berhembus pelan di wajahnya. Bukan angin … bukan juga tiupan AC. Rasanya hangat, lembut, dan berulang-ulang. Dalam keadaan masih setengah mengantuk, ia mencoba mengabaikannya, tapi anehnya, tiupan itu semakin lama justru terasa semakin dekat, berputar pelan di bibirnya, seolah sengaja.Dengan kening berkerut, Veronika membuka mata perlahan. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati wajah suaminya sudah begitu dekat, nyaris menempel di wajahnya. Jantungnya seketika berdebar kencang, matanya membelalak.Tepat saat itu, suara berat dan dalam itu berbisik di telinganya. Suaranya rendah, serak, namun terasa amat dekat, menusuk hingga ke dada."Good morning, Sayang. Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Atau … terlalu nyenyak sampai tak sadar aku di sini?"Nada suara Noah dibuat sengaja berat dan menggoda, seakan ingin menyeret Veronika keluar dari kantuknya dengan cara yang paling nakal. Tatapan mata Noah pun tak kalah berbahaya, tajam, penuh arti, dan meny
Veronika berdiri di teras balkon, membiarkan angin malam membelai lembut kulitnya yang hanya dibalut lingerie putih tipis. Malam-malam seperti ini selalu menjadi pelariannya. Tempat di mana ia bisa menyendiri, mengatur napas, dan membuang resah tanpa suara.Matanya menerawang jauh menembus gelap, sementara pikirannya kembali dipenuhi kenangan dan perubahan sikap suaminya. Noah. Pria itu … belakangan ini sikapnya begitu berbeda. Lebih hangat, lebih perhatian, seolah-olah benar-benar mencintainya.Tapi justru itu yang membuat hatinya sesak."Aku takut untuk senang, Tuan," bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh angin malam. "Aku takut kalau semua ini hanya sementara … hanya bayangan ilusi yang akan menghilang saat aku mulai percaya lagi."Vyora memeluk dirinya sendiri, berusaha meredam dingin yang merayap. Namun, dingin itu bukan hanya karena angin malam … melainkan karena rasa takut yang perlahan menggerogoti.Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang hangat menyelimuti ba