Sore hari telah berlalu saat Veronika bersiap-siap untuk pulang dari kantor. Ya, hari ini ia menolak lamaran atasannya — tidak, lebih tepatnya, Veronika meminta satu hari lagi untuk menerima atau menolak lamaran tersebut.
Alasan penolakan itu, tentu saja, karena ia trauma akan masa lalu pahitnya. Tidak hanya itu, Veronika juga merasa heran dengan atasannya sendiri. Ia merasa, atasannya begitu terburu-buru ingin memilikinya, padahal ia baru saja bekerja. Sesuatu yang tak masuk akal, jika atasannya secepat itu jatuh cinta. "Aku benar-benar bimbang," gumam Veronika. "Haruskah kuterima atau kutolak lamaran ini?" Saat Veronika melamun di dalam ruang kerjanya, atasannya itu jelas melihat sosoknya dari balik kaca transparan. Pria itu tersenyum ketika memandangi Veronika dari kejauhan lalu berbalik meninggalkan ruangan Veronika untuk kembali ke ruangannya sendiri. Veronika yang sempat melamun, kini tersadar. Ia segera bergegas menyiapkan barang-barangnya lalu keluar dari ruangannya. Begitu Veronika melewati ruangan atasannya, ia berhenti sejenak sambil mengintip dari kaca. Di sana, terlihat atasannya masih sibuk berkutat dengan laptop. Tanpa sadar, Veronika yang terpana tersenyum sambil terus memperhatikan sosok Noah, sampai akhirnya ia terganggu oleh kehadiran seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. "Tu-Tuan Aldrich? Se-sejak kapan Anda berada di sini?" tanya Veronika, seperti maling yang tertangkap basah. Sialnya, kali ini ia benar-benar ketahuan sedang memperhatikan atasannya sendiri. "Sejak kau berdiri di sini sambil menatap Tuan Noah tanpa henti," jawab Aldrich sambil menyilangkan kedua tangannya. Mendengar itu, Veronika pun refleks menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku hanya... lupakan saja, Tuan!" kata Veronika gugup. "Tidak ada sesuatu yang penting." Aldrich menatap Veronika dalam, tentunya hal itu membuat Veronika menelan ludahnya kelu. Tubuhnya menegang, seiring detak jantungnya berdetak kencang. "Benarkah?" tanyanya dengan mata memicing. Veronika segera mengangguk sambil menundukkan kepalanya. "Ya sudah! Kau boleh kembali!" kata Aldrich, yang secepatnya diangguki oleh Veronika sambil ia berjalan cepat meninggalkannya. Setelah sepenuhnya Veronika menjauh, barulah Aldrich memasuki ruangan Noah. Kembali pada Veronika, ia seketika menghela napas lega begitu masuk ke dalam lift. "Huh, hampir saja ketahuan," gumamnya sambil memegangi dadanya yang masih berdebar kencang. "Bodoh banget! Kenapa sih harus pakai terpesona segala? Kalau begini, bagaimana kalau Tuan Aldrich memberitahunya? Argh, rasanya begitu malu." Veronika mengacak-acak rambutnya kesal. Namun, ia segera memperbaiki kembali tatanan rambutnya begitu pintu lift menunjukkan angka lantai yang sebentar lagi terbuka. Tentu saja, ia tidak ingin menjadi bahan omongan rekan-rekan kerjanya lagi. Cukup sudah tadi pagi ia mendapat cibiran sana-sini hanya gara-gara mengenakan syal. Begitu pintu lift terbuka, lagi-lagi Veronika harus berhadapan dengan Ona. Akan tetapi, kali ini ia merasa ada sesuatu yang aneh pada wanita itu. Ona, yang biasanya selalu mencari masalah dengannya, kini terlihat diam. Meski begitu, mata wanita itu tak bisa berbohong — Ona masih menyimpan kebencian yang sama. Baru saja Veronika ingin mengabaikannya, seorang rekan kerja lain tiba-tiba datang menghampiri. Tanpa permisi, orang itu menarik tangan Veronika, seolah ingin membicarakan sesuatu. Kesal karena ditarik begitu saja, Veronika langsung menepis tangan orang itu. Raut wajahnya memperlihatkan kemarahan. "Ada apa? Kenapa menarikku sampai ke sini?" tanya Veronika, keningnya mengernyit. "Ah, maaf kalau kamu merasa tidak suka. Tapi... aku cuma ingin bertanya. Apa kau memiliki hubungan dengan atasan kita?" Mendengar pertanyaan itu, Veronika memilih bungkam. Ia tidak ingin sembarangan bicara dan akhirnya salah langkah. "Kurasa, kau tidak perlu tahu soal itu! Ada atau tidaknya, itu bukan urusan kalian!" tegas Veronika. Ia lantas berbalik hendak pergi, tapi tangannya kembali dicegat. "Kau harus mengatakan yang sejujurnya!" ucap wanita itu, nada suaranya meninggi hingga membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh, memperhatikan Veronika. "Memangnya apa yang terjadi, hah? Kenapa kau begitu ingin tahu?" bentak Veronika, nadanya ikut meninggi. "Kau pasti menggoda atasan kita, kan? Kau menggodanya lalu meminta beliau menghukum Ona. Kau benar-benar tidak punya hati!" "Aku? Menggoda atasan sendiri hanya untuk menghukumnya?" Veronika menunjuk Ona dengan emosi, "Kau bisa tanyakan langsung pada atasan kita! Jangan asal menghakimi orang yang bahkan tidak tahu apa-apa!" tegas Veronika, matanya menatap tajam. Tak lama setelah Veronika menyelesaikan kalimatnya, Noah Rudiarth Alexander — atasannya — turun dengan gagah menuruni lantai. Di sampingnya, sosok Aldrich ikut menemani. Mata Veronika sempat terpana saat melihat kehadiran Noah, lalu ia segera memalingkan wajahnya. "Ada apa lagi ini? Ona, apa kau membuat perkara lagi?" tanya Noah, yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Ona. "Lalu?" "Dia menuduhku menggoda Anda, Tuan!" adu Veronika sambil menunjuk rekan kerjanya, Anara. Anara dengan cepat menggeleng, tak ingin mengakuinya. "Itu tidak—" "Anara? Apa kau juga ingin bernasib seperti Ona, hm?" ucap Noah, lalu memberi isyarat agar Anara mendekat. Begitu Anara melangkah mendekat, Noah membisikkan sesuatu di telinga wanita itu. Seketika, wajah Anara menegang, lalu perlahan mundur. Tanpa diduga, ia langsung jatuh terduduk di hadapan Veronika, memohon maaf pada wanita itu. Veronika sendiri hanya bisa terpaku, bingung dengan apa yang sebenarnya baru saja terjadi. "A-ada apa ini?" tanya Veronika sambil menatap ke arah atasannya. Namun, pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia justru melangkah mendekat, lalu berdiri di belakang Veronika. Perlahan, tangannya menyentuh pundak wanita itu. "Bukankah dia menuduhmu?" tanyanya, yang hanya dijawab anggukan pelan oleh Veronika. "Jadi... aku hanya memintanya untuk segera meminta maaf padamu." "Ta-tapi, bukankah ini berlebihan, Tuan?" tanya Veronika ragu. Namun, pria itu hanya menggeleng. "Bagaimana kalau pria itu yang kubuat berlutut di hadapanmu, hm? Apa kau juga akan mengatakan hal yang sama?" balas Noah, membuat Veronika menatap lekat-lekat ke kedalaman matanya. "Jika dia, itu tidak akan berlebihan, Tuan!" balas Veronika, matanya memancarkan kilatan emosi. "Aku justru ingin membuatnya bertekuk lutut di hadapanku!" Noah kembali menyentuh pundaknya. "Sudah kubilang, terimalah lamaranku… jika kau ingin hal itu terjadi." Lalu, pria itu menyodorkan tangan ke hadapan Veronika, membawa janji. Veronika tidak langsung menyambut uluran itu. Ia menatap tangan Noah sejenak, ragu. Akan tetapi, ada dorongan kuat dalam dirinya, seolah memaksanya untuk segera menerima. Di tengah kebimbangan itu, tiba-tiba terdengar suara sorakan rekan-rekan kerjanya di sekitar mereka. Sorakan itu membuat Veronika tersentak, menyadarkannya dari lamunan. Di hadapannya, atasannya itu masih setia mengulurkan tangan sambil tersenyum lembut. "Aku... terima lamaran Anda," ucap Veronika, menggenggam tangan atasannya. Pria itu segera mengeluarkan cincin, lalu memasangkannya di jari manis Veronika. Setelah itu, ia memeluk Veronika sambil berbisik, "Sedikit lagi, aku akan mengubah seluruh alur hidupmu."Di depan ruang perawatan, Noah terus mondar-mandir tak karuan. Rasanya ... ia tidak bisa tenang. Melihat tuannya seperti itu, membuat Aldrich menyunggingkan senyum tipis. "Tuan, apa Anda tidak lelah terus-menerus seperti itu? Silahkan untuk duduk dahulu." Aldrich mencoba menghentikan tuannya. Bukan apa? Ia yang melihat saja sudah pusing, tidakkah tuannya merasa pusing mondar-mandir seperti itu."Aku tidak bisa tenang, Aldrich! Wanita itu sangat bodoh! Kau tahu? Sok jadi pahlawan." Noah mendengus. Meski ucapannya masih tajam, jauh di lubuk hatinya, ia begitu merasa bersalah."Itu bukan bodoh, Tuan," kata Aldrich. "Istri Anda sedang berkorban untuk suaminya saat ini. Nona melindungi Anda." Noah mengernyit. Bingung dengan sikap pengawal kepercayaannya itu. Melihat tuannya tak berkedip menatapnya, membuat Aldrich refleks berjalan mundur. "A-ada apa, Tuan? Kenapa melihat saya seperti itu? Anda tidak sedang berniat melecehkan saya, kan?" tanya Aldrich. Sempat-sempatnya dia berbicara mel
Tangan kasar Demon hampir menyentuh bahu Veronika, hendak menarik paksa pakaian wanita itu. Napas Veronika memburu, air matanya makin deras. Saat jarak itu tinggal seujung jari, suara berat nan tajam terdengar, membelah ketegangan di ruangan itu."Ada tamu rupanya."Langkah tegas bergema dari arah tangga. Noah turun dengan mata setajam pisau, sorot matanya menusuk ke arah Demon. "Kenapa tidak ada yang memberitahukanku?"Demon tersentak, tubuhnya kaku seketika. Ia berbalik, mencoba tersenyum meski jelas sekali ketakutan menyelimuti wajahnya."K-Kau … bukankah tadi tidak ada di mansion ini?"Noah mendengus pelan, tatapannya mengarah ke Veronika yang bersandar lemas di dinding, wajahnya pucat, air mata bercucuran."Kau … paman istriku, ya?" Noah menyeringai kecil, namun sorot matanya dingin. "Sampai segitunya kau merindukan keponakanmu, sampai membuatnya ketakutan seperti ini? Lihatlah!"Demon menelan ludah, buru-buru mengatur ekspresi, mencoba menenangkan dirinya yang panik."A-Aku … ha
Veronika masih terpaku di depan pintu kamarnya. Aldrich sudah berlalu, meninggalkan pertanyaan yang membayangi pikirannya."Siapa tamu yang harus ku sambut?" bisiknya pelan. Jemarinya meremas erat kain dress yang dikenakan. Ketakutan perlahan menyusupi relung hati Veronika."Apa dia ingin menjualku? Seperti di film-film itu ... di mana suaminya tak menginginkan istrinya, lalu menjualnya pada orang asing."Tubuh Veronika bergetar halus. Ia memeluk dirinya sendiri, merasa sesak dengan segala prasangka yang terus menari di benaknya.Yang tak ia sadari, di ruang kerja, Noah duduk santai di hadapan layar monitor besar yang menampilkan seluruh sudut mansion, termasuk kamar Veronika. Tatapannya tajam, menatap layar di mana istrinya tengah berdiri ketakutan seorang diri.Senyum simpul tercetak di wajah Noah. Ia menyandarkan punggung ke kursi sambil mengangkat gelas wine-nya."Ketakutanmu benar-benar menghiburku, Sayang," bisik Noah, suaranya nyaris tak terdengar. "Kita lihat berapa lama kau b
"Kau mau kemana, Sayang?" tanya Margareth, matanya menatap tajam saat melihat suaminya bersiap keluar."Ibu memerintahkanku untuk mengambil Veronika dari mansion pria itu," jawab Demon singkat. "Aku harus membawanya kembali."Margareth mendengus pelan, lalu menyilangkan tangan di dada. "Untuk apa?" tanyanya dingin. "Dia sudah menikah dengan pria itu, kita tidak punya hak membawa dia pulang tanpa izin suaminya."Demon menoleh cepat, tatapannya penuh heran. "Sejak kapan kau jadi bijak begini? Bukankah kau membencinya? Kenapa sekarang malah bersikap sok dewasa?""Justru karena aku membencinya," sahut Margareth, nada suaranya lebih keras. "Karena aku benci, aku tidak ingin dia kembali. Aku muak dengan wajahnya, muak dengan namanya. Jika kau benar-benar ingin menyingkirkan pria itu, sekalian lenyapkan saja perempuan itu bersamanya."Margareth menggeram pelan, matanya menyala amarah. "Aku tidak mau ada sisa-sisa yang mengotori keluarga kita.""Kau membencinya sedalam itu?" tanya Demon, nada
"Kalau pun aku gagal … kalau pun aku harus mati di tanganmu suatu hari nanti, aku tidak akan menyesal. Tidak akan pernah ada penyesalan karena telah menjadi istrimu!"Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Noah. Wajah Veronika, tatapan mata yang tak gentar meski dipenuhi air mata, seolah mengejarnya dalam diam."Sial!" Noah mengumpat, rahangnya mengeras. Dadanya sesak oleh amarah yang entah ditujukan pada siapa — Veronika, dirinya sendiri, atau masa lalu yang tak pernah bisa dia kubur."Memang itu yang kuinginkan!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan yang seketika terasa sempit. "Aku ingin kau mati! Aku tidak mencintaimu! Dan kau … kau tidak pantas bersamaku!"Tanpa pikir panjang, Noah menyambar vas di atas meja, melemparkannya ke dinding hingga pecah berantakan. Satu per satu barang di kamarnya dihancurkan, dipukul, dilempar, seolah itu bisa meredakan amarah yang membakar dirinya dari dalam.Namun, setelah semua hancur, setelah suara dentingan kaca tak lagi terdengar, Noah
Veronika membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat, dan pandangannya masih buram. Saat kesadarannya mulai pulih, ia merasakan kehangatan di sekelilingnya. Keningnya berkerut ketika mendapati dirinya tengah berbaring di atas ranjang empuk dengan selimut rapi menyelimuti tubuh.Tubuhnya terlonjak sedikit saat menyadari pergelangan tangannya yang sebelumnya terluka kini telah terbalut rapi. Luka itu telah dibersihkan, perbannya masih baru."Siapa yang ..." bisik Veronika pelan, menatap tangannya sendiri dengan kebingungan. Ia tak ingat siapa yang merawatnya, bahkan tak tahu sejak kapan ia dipindahkan ke kamar ini.Suasana di kamar itu begitu hening. Hanya suara detakan jam dinding yang terdengar samar. Veronika menoleh ke arah jendela yang tirainya sedikit terbuka, membiarkan cahaya matahari merayap masuk.Perlahan, Veronika duduk di tepi ranjang. Kepalanya masih terasa pusing, tapi pikirannya dipenuhi rasa penasaran. Ada rasa hangat sekaligus takut yang bercampur aduk di dadanya.