“Halo?”
“Halo, dengan Ibu Miranda saya bicara?”
“Betul. Bisa dibantu, Pak?”
“Saya sekarang berada di depan ruko tiga lantai yang dijual atau disewakan di komplek CBD. Rukonya menghadap ke jalan raya. Pada spanduknya tertera nama dan nomor telepon Anda. Berapa harga jual dan sewa ruko ini, Bu?”
Broker properti yang bernama Miranda itu menyebutkan nominal yang dikehendaki si pemilik ruko.
“Wow, tinggi juga, ya?” komentar peneleponnya. “Ngomong-ngomong, berapa luasnya? Sertifikatnya apa?”
“Sertifikatnya Hak Guna Bangunan, Pak. Maaf, dengan Bapak siapa saya bicara?”
“Saya Carlos. Apakah sertifikatnya bisa ditingkatkan menjadi Hak Milik?”
“Maaf, Pak Carlos. Karena itu kawasan komersial, jadi menurut peraturan pemerintah sertifikatnya harus Hak Guna Bangunan. Bisa diperpanjang setelah tiga puluh tahun kok, Pak.”
“Begitu, ya. Hmm…, berapa luas ruko ini?”
“Luas ruko itu….”
Gadis itu menyebutkan luas ruko yang sudah hampir dua tahun tidak laku tersebut. Mudah-mudahan Pak Carlos ini calon pembeli atau penyewa serius, batinnya harap-harap cemas. Sungkan juga aku sama si pemilik kalau rukonya tak juga mendapatkan penawaran.
Banyak sekali orang yang menelepon Miranda menanyakan properti yang dipasarkannya itu. Mulai dari calon pembeli langsung, broker lain, maupun makelar yang bekerja secara independen. Pun sudah belasan klien yang datang masuk ke dalam dan melihat-lihat, namun belum seorang pun yang menyatakan keseriusan minatnya.
Miranda sampai merasa heran sendiri. Padahal harganya sesuai pasaran. Lokasinya juga strategis menghadap jalan raya. Tempat parkirnya luas. Pengamanan komplek tersebut juga termasuk ketat. Ruko-ruko deretan bahkan belakangnya telah terjual semua. Beberapa malah sudah beroperasi. Ada yang dibuat kantor, rumah makan, tempat refleksi, dan lain sebagainya.
Tinggal satu ruko yang terletak di tengah-tengah ini yang belum ketemu jodohnya. Gadis itu sampai merasa tidak enak dengan pemilik ruko tersebut. Kliennya itu dulu membeli darinya saat ruko tersebut masih belum dibangun. Jadi orang itu cuma melihat lokasi dan dijelaskan berdasarkan gambar denah. Berbekal pengetahuannya yang luas mengenai dunia properti, Miranda berhasil meyakinkannya untuk membeli buat investasi.
Tanpa terasa satu tahun berlalu. Komplek ruko CBD tersebut akhirnya berdiri dengan megah. Semua unit telah terjual. Dalam hitungan bulan bangunan-bangunan komersial itu telah berhasil disewakan atau bahkan dijual lagi kepada pihak lain. Hanya satu ruko ini yang tersendat-sendat pemasarannya. Dalam dua tahun tidak pernah ada orang yang menawar untuk membeli ataupun menyewanya!
“Kapan saya bisa melihat-lihat ke dalam ruko ini, Bu Miranda?” tanya orang bernama Carlos itu ingin tahu. “Apakah Anda sekarang sedang berada di sekitar sini?”
Miranda yang sedang berada di kantornya melirik ke arah jam dinding. Jam empat sore, cetusnya dalam hati. Kalau aku berangkat ke sana sekarang maka akan terlambat menjemput Joy di daycare. Tapi kalau kesempatan ini kulepaskan, kok sayang sekali, ya. Takutnya Pak Carlos nanti keburu tergoda dengan ruko lain. Aduh. Gimana ini?
Akhirnya gadis itu memantapkan hatinya untuk mengambil keputusan. “Saya sekarang berada di kantor, Pak Carlos. Kalau Bapak bersedia menunggu, sekitar setengah jam lagi saya tiba di sana. Bagaimana?” tanyanya harap-harap cemas.
“Ok, saya tunggu Anda di depan ruko. Sampai jumpa.”
“Sampai ketemu, Pak Carlos.”
Done, batin gadis itu kegirangan. Ya Tuhan, semoga ini orang yang Kau kirimkan untuk membeli atau menyewa ruko itu. Amin.
Miranda segera membereskan meja kerjanya sambil menelepon seseorang. Terdengar suara di seberang sana menyapa halo.
“Halo, saya tantenya Joy,” jawab gadis itu segera. “Mohon maaf. Ada urusan mendesak yang harus saya selesaikan. Bisakah Joy saya jemput agak terlambat nanti? Sekitar jam setengah enam petang gitu.”
Suara di seberang sana berkata tidak apa-apa. Miranda menghela napas lega.
God bless me, batin gadis itu penuh rasa syukur. Setelah mengucapkan terima kasih, diakhirinya pembicaraan di telepon. Miranda langsung ngibrit meninggalkan kantornya. Dia harus segera berangkat supaya kliennya tidak menunggu terlalu lama.
***
“Bagaimana Mas Carlos? Cocok tidak rukonya?” tanya gadis itu begitu kliennya selesai melihat-lihat ruko yang dipasarkannya.
Kini Miranda merubah panggilannya menjadi Mas. Bukan Bapak seperti waktu di telepon tadi. Karena kliennya itu ternyata masih muda.
Paling umurnya baru dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun, batin gadis itu menerka-nerka. Cakep dan gagah banget orangnya. Rambut pendeknya disisir ke bawah ala artis cowok Korea. Kemeja putih kotak-kotak biru yang dipakainya pas banget melekat di badannya yang atletis. Ccck, ccck…. Sandainya setiap hari ketemu klien kayak gini, pasti indah hari-hariku. Hehehe….
“Saya suka, sih. Cuma harganya kok mahal sekali, ya?” komentar pemuda itu sambil mengernyitkan dahi.
Miranda tersenyum simpul. Sudah biasa kalau calon pembeli berakting seperti ini, batin gadis itu. Lagu lama.
“Boleh tahu ruko ini rencananya akan dibuat usaha apa, Mas Carlos?” tanya gadis itu mencoba menggali kebutuhan kliennya. Gunanya supaya dia bisa menunjukkan keunggulan properti yang bersangkutan dalam menopang bisnis si klien.
“Bisnis roti Martin Bakery.”
Miranda terperanjat. Siapapun yang tinggal di kota Surabaya pasti mengenal toko roti ternama itu. Martin Bakery merupakan salah satu perusahaan yang turun-temurun di kota ini. Roti-roti buatannya merupakan produk kelas menengah ke atas dan tak pernah sepi pembeli. Outlet-outlet-nya bertebaran di kota ini. Beberapa tahun terakhir bahkan merambah kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.
Apakah ini Carlos Martin, pewaris tunggal Martin Bakery? tanya Miranda dalam hati.
Keluarga Martin memang salah satu orang kaya lama yang tak suka diekspos media. Hampir tak pernah terdengar desas-desus tentang keluarga itu. Yang dikenal warga kota ini adalah perusahaan rotinya yang merupakan salah satu kuliner kebanggaan Surabaya.
“Hmm, maaf. Apakah sekarang saya sedang berhadapan dengan Mas Carlos Martin, pemilik Martin Bakery?” tanya gadis itu memberanikan diri.
Baginya pengetahuan mendalam tentang jati diri klien adalah suatu keharusan. Tujuannya supaya dia dapat menemukan properti sesuai kebutuhan orang yang bersangkutan.
Pemuda itu terkekeh. “Apalah arti sebuah nama,” cetusnya sinis. “Pentingkah status saya sebagai Carlos Martin? Bukankah yang penting Anda berhasil menjalankan transaksi dengan klien?”
Dada Miranda bagaikan dihujam sebilah pisau yang tajam sekali. Luar biasa angkuh orang ini, batinnya kesal. Aku kan bertanya baik-baik. Kenapa dijawab sesinis itu?!
Gadis itu sekarang menyesal telah memprioritaskan bertemu Carlos daripada menjemput keponakannya di tempat penitipan anak. Maafkan Tante Mira, Joy, batinnya merasa bersalah. Mudah-mudahan kamu nggak bosan nunggu lama di daycare, ya.
Menyaksikan lawan bicaranya diam saja, Carlos akhirnya berkata, “Hari sudah sore. Saya pulang dulu. Tentang ruko ini, akan saya pertimbangkan lagi. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu menemani saya melihat-lihat. Selamat sore, Bu Miranda.”
Memangnya aku ibumu?! jerit gadis itu dalam hati. Biasanya orang-orang memang memanggilnya dengan sebutan Ibu kalau berbicara di telepon. Tapi begitu bertemu muka dan melihat dirinya masih muda, mereka kerap merubah panggilan dengan sebutan Mbak Miranda.
Tapi biar gimana klien adalah raja, batin gadis itu berusaha menyabarkan hatinya. Ditatapnya pemuda tampan itu sambil berkata sopan, “Selamat sore, Pak Carlos.”Dia kembali bersikap formal. Tak lagi memanggil Carlos dengan sebutan Mas.Pemuda itu nyengir menatapnya. “Tadi di telepon Anda memanggil saya dengan sebutan Bapak. Lalu begitu sampai di tempat ini panggilan Anda terhadap saya berubah menjadi Mas Carlos. Dan setelah mengetahui saya adalah pemilik Martin Bakery, Anda kembali memanggil saya dengan sebutan Pak Carlos. Rupanya Anda adalah orang yang tidak konsisten,” ucapnya dingin.Miranda terperangah. Apa sih, maksud orang ini? pikirnya bingung. Itu kan cuma persoalan kecil. Kenapa sampai dibesar-besarkan?“Maafkan saya kalau telah menyinggung perasaan Anda. Terus terang setiap orang tak dikenal yang menelepon, selalu saya sapa dengan sebutan Bapak atau Ibu. Karena saya hanya mendengar suara, tapi tidak bertatap muka secara langsung. Jadi tidak mengetahui kira-kira berapa usi
Ternyata nyeri sendi dan memar-memar yang sering dialaminya bukanlah akibat kelelahan biasa. Gadis itu terpukul sekali mengetahui penyakit berbahaya yang bersarang dalam tubuhnya.“Kakak akan mengupayakan yang terbaik demi kesembuhanmu, Trid. Jangan patah semangat, ya,” ucap Miranda memotivasi adiknya kala itu.Ibu mereka telah meninggal dua tahun sebelumnya akibat komplikasi diabetes. Sedangkan sang ayah meninggalkan kedua gadis itu semenjak mereka masih kecil.Miranda merasa sedih sekali. Tak lama lagi dia akan kehilangan adiknya pula. Betapa malang nasibnya hidup sebatang kara di dunia ini!“Astrid nggak mau meninggal sebelum menjadi wanita seutuhnya, Kak!” seru adiknya histeris. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi wajahnya yang tirus.Miranda menatap gadis itu tak mengerti. Apa maksud perkataan Astrid barusan? pikirnya galau. Menjadi wanita seutuhnya? Apa artinya?Melihat sorot mata sang kakak yang penuh tanda tanya, Astrid langsung mengungkapkan isi hatinya, “Astri mau
Selesai menuruni wahana, gadis itu lalu duduk tak jauh dari papan perosotan tinggi yang diincar Joy. Dia suka menyaksikan ekspresi kegembiraan di wajah keponakannya setiap kali meluncur turun dari wahana yang menjadi favorit sebagian besar anak kecil itu.“Miran…da? Ya Tuhan, ini benar kamu Miranda?”Gadis itu menengadah. Dia tercengang. Sontak gadis itu bangkit dari tempat duduknya. Di hadapannya berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dan mengenakan seragam penjaga arena permainan.Pemuda itu orang yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Pemuda yang menempati posisi penting dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Pemuda itu Lukas, ayah kandung Joy!Orang itu berteriak kegirangan, “Ternyata kamu memang Miranda. Syukurlah akhirnya aku menemukanmu! Sudah bertahun-tahun aku….”Miranda diam seribu bahasa. Dia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Gadis itu merasa dirinya sedang dipermainkan oleh nasib. Kenapa Lukas bisa muncul tiba-tiba di tempat ini?Apa tujuanmu yang sebenarnya, Tuhan?
“Kamu nggak berubah, Mira. Mudah panik kalau menangis di depan umum,” komentarnya jahil. Tapi mulutnya menutup otomatis begitu melihat mata gadis di hadapannya melotot tanda tidak senang.“Sori, sori,” katanya meminta maaf. “Bukan maksudku membuatmu kesal. Jangan kuatir. Nggak ada orang yang berani menegurku di sini. Karena aku adalah pemilik tempat ini.”Miranda terbelalak tak percaya. Mulutnya sampai ternganga saking terkejutnya. Lukas tersenyum sambil mengangguk. “Nggak pantes, ya? Aku jadi bos di tempat ini,” ucapnya tenang.Mantan kekasihnya itu menjadi kikuk. Gila, batin Miranda masih shock. Bukan satu-dua kali aku mengajak Joy bermain di sini. Tapi kenapa baru sekarang kami bertemu dengan Lukas?“Apa kamu dan Joy sering datang kemari, Mira?” tanya pria itu seolah-olah dapat membaca isi hatinya.Perlahan gadis itu mengangguk. “Tempat ini merupakan arena permainan favorit Joy di mal ini. Kadang kami pergi ke mal-mal lain untuk ganti suasana. Tapi setidaknya empat bulan sekali aku
Miranda terharu. Dia dapat merasakan pria ini masih menyimpan cinta terhadap dirinya. Sorot mata dan kata-kata yang dilontarkan Lukas menunjukkan hal itu.Dia masih ingat kata-kata-kata yang kuucapkan dulu saat kami masih bersama, keluh gadis itu dalam hati. Ah, masa-masa itu memang indah. Tapi sudah berlalu. Aku rela berkorban demi kebahagiaan Astrid, adikku tercinta….“Lalu gimana ceritanya kamu sampai bisa menjadi pemilik arena permainan ini?” tanya Miranda ingin tahu.Lukas mendesah sejenak. Dia lalu menjawab, “Papa-mamaku meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat terbang, Mira. Mereka ternyata mempunyai asuransi jiwa yang uang pertanggungannya sangat besar. Tentu saja ahli warisnya adalah aku sebagai anak tunggal. Di samping itu juga ada kompensasi yang tidak sedikit dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Sejumlah dana itu kupakai buat membeli arena ini enam bulan yang lalu. Pemiliknya menjual tempat ini karena mau beralih pada bidang usaha lain….”“Kamu sudah kaya sekara
Miranda mendesah. Dia teringat betapa bahagianya Astrid di hari pernikahannya dengan Lukas. Senyuman penuh sukacita tak henti-hentinya menghiasi wajahnya yang cantik. Sang kakak berusaha bersikap sama meskipun hatinya terluka. Demikian pula dengan Lukas. Beberapa kali Miranda memergoki mantan kekasihnya itu curi-curi pandang ke arahnya.Oleh karena itulah Miranda selalu berusaha selalu menjenguk adiknya di rumah pada hari dan jam kerja. Di saat Lukas sedang tidak berada di rumah. Meskipun sesekali tak sengaja mereka berpapasan juga, namun Miranda selalu menekan perasaannya dan berusaha bersikap biasa saja.Lukas pun demikian. Dia menyadari statusnya telah berubah. Astridlah istrinya yang sah. Dia berkewajiban menjaga perasaan perempuan itu dan membuatnya bahagia. Namun rupanya hal itu justru membuat batin Lukas tertekan. Lelah rasanya menanggung beban seberat itu di usianya yang masih sangat muda, yaitu dua puluh dua tahun. Hati kecil pria itu menjerit setiap kali Astrid keceplosan me
“Joy sudah memaafkanmu, Kas,” ucap Miranda tenang. “Mulai sekarang kalau kamu ingin bertemu dengannya, silakan menghubungiku terlebih dahulu. Nanti akan kuatur jadwal yang tidak mengganggu kegiatan Joy maupun pekerjaanku. Percayalah. Aku takkan menghalang-halangi upayamu mendekatkan diri dengan anak kandungmu.”“Terima kasih banyak, Mira,” sahut Lukas seraya melepaskan pelukannya terhadap Joy. Dihapusnya air matanya dengan tisu yang disodorkan oleh gadis itu.“Sudahlah, biar bagaimanapun juga kita kan masih keluarga. Kamu suami almarhumah Astrid. Jadi merupakan adik iparku,” cetus Miranda seolah-olah mengingatkan mantan kekasihnya itu agar kelak tidak menyimpan harapan terhadap dirinya.Gadis itu melakukannya demi kebaikan mereka bersama. Dia dulu telah merelakan pria ini untuk menjadi pendamping hidup adiknya tercinta. Dan hal itu akan tetap dipertahankannya sampai kapanpun. Meskipun Astrid sendiri telah tiada.Lukas mengangguk mengiyakan. Dirangkulnya bahu Joy dengan penuh kasih say
“Salah seorang klienmu kemarin menelepon ke kantor, Miranda. Dia komplain pada resepsionis. Katanya kamu tidak profesional dalam bekerja,” tegur Rosita, perempuan setengah baya yang merupakan pemilik kantor pemasaran properti tempat Miranda bekerja.Gadis itu mengernyitkan dahi. Seumur-umur berprofesi sebagai broker properti, baru kali ini ada klien yang mengadukan kinerjanya di kantor.“Maaf, Bu Rosita,” ucap Miranda sopan.Gadis itu lalu duduk persis di depan bosnya tersebut. “Klien saya yang mana, ya? Kenapa dia tidak menelepon saya saja kalau mau komplain? Sampe repot-repot menelepon ke kantor,” komentarnya tenang.Rosita menatap anak buahnya itu dengan sorot mata tidak suka. “Justru itu yang mau kutanyakan padamu, Mir. Kenapa kamu memblokir nomor HP orang itu sehingga dia kesulitan menghubungimu?”Lawan bicaranya terbelalak. “Mem…memblokir?” cetus gadis itu kaget. Tiba-tiba ingatannya terbersit pada sosok pemuda tampan ala Korea yang merupakan pewaris tunggal perusahaan bakery te