Share

Part 6

Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka w******p, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.

Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya.

Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.

Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari dalam aku bisa mendengar Valen berbicara keras kepada ibu.

“Kan, aku udah bilang suruh langsung kesana, ngapain Ibuk pakek nunggu Kak Cinta segala,” ucapnya dengan nada kesal.

“Kalau gak nunggu kakakmu mana bisa turun, sekarang enggak bisa kayak dulu lagi harus kakakmu yang tanda tangan,” jawab ibu.

“Sekarang gimana? Aku enggak mau tahu, pokoknya rumah itu harus penuh,” rengeknya seperti anak kecil.

“Udahlah Sayang, kita bisa isi perabotan satu persatu ngapain maksa Ibuk,” andre ikut membujuk, menarik pelan bahu Valen.

“Aku malu dong Sayang nanti kalau acara empat bulanan disana rumah masih kosong, aku mau undang temen-temenku, aku gak mau mereka ngetawain aku.”

“Mau empat bulanan dimana?” Aku ikut bicara, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama.

“Kak Cinta, itu … Ibuk ngomong dong sama Kak Cinta,” bisiknya pada ibu yang masih berdiri di samping Valen.

“Cinta, ini … kan kemarin udah dibicarakan, Ibuk udah bilang sama kamu kalau Valen mau rumah yang kamu beli sama Andre.”

“Hah, apa aku kasih ijin?” aku melotot menatap Valen dan Andre bergantian.

“Sayang, ayo dong ngomong sama Kak Cinta, kok kamu diem aja sih,” valen merengek di samping Andre, menggoyang-goyang lengannya seperti anak kecil.

“Itu, aku enggak yakin Cinta setuju, kan aku udah bilang ke kamu,” jawab Andre pelan.

“Cinta, kamu ini keras kepala banget sih, kalau adikmu mau rumah itu seharusnya kamu ngalah, kan itu juga enggak sepenuhnya kamu yang beli, nanti biar Andre cicil buat balikin uang kamu. Lagian warung kopi itu kata Andre buat kamu kalau rumah itu kamu kasih mereka,” ujar ibu yang membuatku tertawa lepas.

“Jadi Andre ngomong gitu?” Aku masih menatap tajam Andre.

“Enggak, itu sebenarnya .… ”

“Loh, Yang, kan emang kamu kemarin bilang gitu di depan Ayah dan Ibuk.” Valen menghentikan ucapan Andre.

“Andre itu gak berhak atas semuanya, cofee shop dan rumah itu semuanya milik aku,” jawabku.

“Apa?” Valen tertawa keras. “Kakak enggak ngimpi disiang bolong kan? Apa Kakak terlalu frustasi enggak jadi nikah sama Andre sampai ngaku-ngaku gitu, Kakak terlalu menghayal mungkin karena saking stressnya karena enggak laku,” ejek valen.

“Oke, kita buktiin, dan satu lagi, biar aku belum laku tapi aku enggak murahan kayak kamu.” Aku tertawa dan bersiap hendak meninggalkannya, rencana akan mengambil surat rumah dan segala buktinya.

Namun, baru saja satu kaki melangkah Valen menarik rambutku hingga membuat aku hampir jatuh.

“Apa Kakak bilang? Aku murahan, Kakak ini enggak tahu diri, ya! Kakak itu yang murahan!” serunya masih terus menjambakku.

“Kamu memang murahan, buktinya mau ditidurin laki-laki calon orang.” Meskipun rambutku terasa sakit tetapi aku tak ingin berhenti menghina Valen, kapan lagi bisa kulakukan dan aku bisa menjambak Valen kembali.

“Sudah hentikan, kalian ini apa-apaan. Cinta kamu kenapa sih, bukannya ngalah sama adikmu malah ngatainn dia. Dia itu lagi hamil kalau terjadi apa-apa awas aja kamu. Andre, ayo dong pisahin mereka.”

“Hah, anak haram enggak bakalan kenapa-kenapa Buk, karena banyak setan yang jaga.” Karena terlalu kesal aku sampai tidak dapat mengontrol ucapanku.

“Cukup Cinta, istriku lagi hamil kamu bisa nyakitin dia!” seru Andre sembari mendorongku hingga aku jatuh terbentur pintu.

Aku tersenyum sinis menatapnya, merapikan rambutku lalu kembali berdiri.

“Beresin semua barang-barangmu yang ada di coffee shop, jangan sampai satu barangpun tertinggal disana, aku mau jual malam ini juga.” Kutunjuk Andre, selama ini dia tinggal disana sembari mengelola coffee shop itu, tak ada lagi belas kasih untuknya.

“Cinta … tunggu, kamu enggak bisa gitu, selama ini aku yang mengelola. Cinta, buka pintunya kita harus bicara baik-baik, bukannya kamu bilang kita bisa bicarakan baik-baik soal itu?” Andre berulang kali mengetuk pintu kamarku, tetapi aku tidak peduli. Mereka harus mendapatkan hasil atas perbuatan mereka.

“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status