Share

Part 7

“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.

Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.

Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu.

Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti.

“Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.

“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”

“Memangnya siapa yang mau larang kamu, kalau bukan karena ayahmu dari kamu pergi dulu enggak bakal Ibuk nyariin,” jawabnya ketus.

“Ya, udah aku pamit Buk.” Kuulurkan tangan hendak bersalaman dengannya, tetapi ibu menepis tanganku.

“Kalau kamu gak kasih rumah itu buat Valen, jangan pernah panggil aku Ibuk.”

Aku tak percaya dengan ucapan ibu, apakah aku benar-benar tak berarti untuknya, apakah aku ini anak yang memang tidak pernah diharapkan kehadirannya sehingga demi sebuah rumah ibu sampai tega mengatakan hal itu.

“Apa mantu Ibuk itu benar-benar gak mampu beliin rumah buat istrinya sampai berharap banget mau rebut punyaku?”

“Punyamu kamu bilang, Cinta … rumah itu kalian beli sama-sama tapi kamu serakah, kamu minta semuanya dari hasilmu -dan Andre, kamu itu gadis serakah pantes aja Andre lebih milih adikmu.”

“Apa Andre bilang begitu? Kenapa kalau didepanku dia diem aja, apa dia gak punya nyali ngomong di depanku?”

“Heh Kak, Kak Andre bukannya nggak punya nyali, dia itu nggak enak aja karena merasa bersalah, dia itu lelaki baik makannya enggak tega buat ngomong juga didepan Kakak,” bela Valen yang ikut berdiri di depanku.

Aku berjalan menghampiri Andre yang masih duduk menunduk, rupanya lelaki ini hanya bisa berbicara di depan ibu dan valen saja, lalu menjelekkanku. “Ini uang lima belas juta, uang yang pernah kamu kasih ke aku buat bantu DP rumah itu, sekarang jangan pernah ungkit itu rumah hasil kita berdua.” Kulempar amplop coklat ke pangkuan Andre.

“Cinta, aku bukannya … tapi bisa nggak sih rumah itu buat aku aja, itung-itung aku juga udah bantu kamu ngurusin coffee shop itu, atau gini aja anggap aja itu kamu balas budi karena aku selama ini bantu kamu ngembangin cofee shop itu, gimana? Bukannya adil.”

Aku tertawa mendengar ucapan Andre. “Kamu minta itu semua, kalau gitu itung semua penghasilan coffee shop selama satu tahun ini, bukankah itu udah kamu pakek sendiri? Aku enggak pernah tanya kemana hasilnya setelah rumah itu lunas, kamu yang makan sendiri hasil warung kopi itu, sekarang kamu mau itung-itungan? Oke biar sekalian Ibuk sama istrimu yang manja itu tahu.”

Aku ikut duduk di samping Andre bersiap mengikuti maunya, akan aku turuti jika itu permintaanya.

“Andre, sebenarnya ada apa? Baru aja kamu bilang sama Ibuk kalau Cinta cuma belum bisa nerima kenyataan kamu sama Valen, lalu apa ini?” Ibu mendekat ke arah kami.

“Iya Buk, makannya ini Andre mau coba ngomong dulu sama Cinta, kalian tunggu aja dulu.” Andre menarik tanganku menjauh dari ibu dan Valen.

“Lepasin! Ngomong aja disini, kenapa ngumpet-ngumpet, kamu takut orang tuaku tahu kalau kamu itu sebenarnya miskin dan pengangguran,” teriakku, sengaja kubesarkan suara agar ibu dan Valen dengar.

Aku memang belum sempat mengurus semuanya, rencanaku besok akan menjual coffee shop itu, selain membuang jejak kenangan aku tidak ingin ada sengketa.

“Apa!” Valen menarikku, menghentikan Andre. “Apa dia bilang, Kak? Bukankah coffee shop itu milik kalian berdua, usaha kalian berdua bukan cuma punya Kak Cinta.”

“Enggak, itu cuma akal-akalan Cinta aja,” jawab Andre.

“Heh, bodoh, asal kalian tahu dia itu laki-laki neggak modal. Kamu aja jadi wanita bodoh banget, enggak tahu asal usulnya main serong aja, udah gitu mau aja ditidurin geratis. Asal kamu tahu semua yang dia punya itu milikku.” Aku tertawa setelah mengatakan itu.

“Enggak … enggak mungkinlah, aku percaya sama Andre, Kakak aja yang gak mau ngalah, bilang aja enggak mau lepasin rumah itu makannya Kakak jelekin Andre,” jawab Valen masih menyangkal.

Aku tertawa keras. “Udah murahan, goblok lagi jadi cewek.”

Tamparan mendarat di pipiku. “Jangan bilang anakku murahan, dari tadi Ibuk sabar ngadepin kamu, tapi kamu bilang Valen murhan terus, kamu itu anak dari wanita murahan enggak pantas bilang Valen wanita murahan.”

Air mata menetes dipipiku. “Apa yang salah, bukannya emang bener anak Ibuk itu wanita murahan. Tunggu … apa Ibuk bilang tadi? Aku anak wanita murahan, apa itu artinya Ibuk juga sama seperti Valen?” Aku tertawa.

Entah kenapa rasa hormat untuk ibu sekarang seperti tak ada lagi, aku terlalu terluka untuk memikirkan rasa sakit orang lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status