“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.
Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu.Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti.“Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya siapa yang mau larang kamu, kalau bukan karena ayahmu dari kamu pergi dulu enggak bakal Ibuk nyariin,” jawabnya ketus.“Ya, udah aku pamit Buk.” Kuulurkan tangan hendak bersalaman dengannya, tetapi ibu menepis tanganku.“Kalau kamu gak kasih rumah itu buat Valen, jangan pernah panggil aku Ibuk.”Aku tak percaya dengan ucapan ibu, apakah aku benar-benar tak berarti untuknya, apakah aku ini anak yang memang tidak pernah diharapkan kehadirannya sehingga demi sebuah rumah ibu sampai tega mengatakan hal itu.“Apa mantu Ibuk itu benar-benar gak mampu beliin rumah buat istrinya sampai berharap banget mau rebut punyaku?”“Punyamu kamu bilang, Cinta … rumah itu kalian beli sama-sama tapi kamu serakah, kamu minta semuanya dari hasilmu -dan Andre, kamu itu gadis serakah pantes aja Andre lebih milih adikmu.”“Apa Andre bilang begitu? Kenapa kalau didepanku dia diem aja, apa dia gak punya nyali ngomong di depanku?”“Heh Kak, Kak Andre bukannya nggak punya nyali, dia itu nggak enak aja karena merasa bersalah, dia itu lelaki baik makannya enggak tega buat ngomong juga didepan Kakak,” bela Valen yang ikut berdiri di depanku.Aku berjalan menghampiri Andre yang masih duduk menunduk, rupanya lelaki ini hanya bisa berbicara di depan ibu dan valen saja, lalu menjelekkanku. “Ini uang lima belas juta, uang yang pernah kamu kasih ke aku buat bantu DP rumah itu, sekarang jangan pernah ungkit itu rumah hasil kita berdua.” Kulempar amplop coklat ke pangkuan Andre.“Cinta, aku bukannya … tapi bisa nggak sih rumah itu buat aku aja, itung-itung aku juga udah bantu kamu ngurusin coffee shop itu, atau gini aja anggap aja itu kamu balas budi karena aku selama ini bantu kamu ngembangin cofee shop itu, gimana? Bukannya adil.”Aku tertawa mendengar ucapan Andre. “Kamu minta itu semua, kalau gitu itung semua penghasilan coffee shop selama satu tahun ini, bukankah itu udah kamu pakek sendiri? Aku enggak pernah tanya kemana hasilnya setelah rumah itu lunas, kamu yang makan sendiri hasil warung kopi itu, sekarang kamu mau itung-itungan? Oke biar sekalian Ibuk sama istrimu yang manja itu tahu.”Aku ikut duduk di samping Andre bersiap mengikuti maunya, akan aku turuti jika itu permintaanya.“Andre, sebenarnya ada apa? Baru aja kamu bilang sama Ibuk kalau Cinta cuma belum bisa nerima kenyataan kamu sama Valen, lalu apa ini?” Ibu mendekat ke arah kami.“Iya Buk, makannya ini Andre mau coba ngomong dulu sama Cinta, kalian tunggu aja dulu.” Andre menarik tanganku menjauh dari ibu dan Valen.“Lepasin! Ngomong aja disini, kenapa ngumpet-ngumpet, kamu takut orang tuaku tahu kalau kamu itu sebenarnya miskin dan pengangguran,” teriakku, sengaja kubesarkan suara agar ibu dan Valen dengar.Aku memang belum sempat mengurus semuanya, rencanaku besok akan menjual coffee shop itu, selain membuang jejak kenangan aku tidak ingin ada sengketa.“Apa!” Valen menarikku, menghentikan Andre. “Apa dia bilang, Kak? Bukankah coffee shop itu milik kalian berdua, usaha kalian berdua bukan cuma punya Kak Cinta.”“Enggak, itu cuma akal-akalan Cinta aja,” jawab Andre.“Heh, bodoh, asal kalian tahu dia itu laki-laki neggak modal. Kamu aja jadi wanita bodoh banget, enggak tahu asal usulnya main serong aja, udah gitu mau aja ditidurin geratis. Asal kamu tahu semua yang dia punya itu milikku.” Aku tertawa setelah mengatakan itu.“Enggak … enggak mungkinlah, aku percaya sama Andre, Kakak aja yang gak mau ngalah, bilang aja enggak mau lepasin rumah itu makannya Kakak jelekin Andre,” jawab Valen masih menyangkal.Aku tertawa keras. “Udah murahan, goblok lagi jadi cewek.”Tamparan mendarat di pipiku. “Jangan bilang anakku murahan, dari tadi Ibuk sabar ngadepin kamu, tapi kamu bilang Valen murhan terus, kamu itu anak dari wanita murahan enggak pantas bilang Valen wanita murahan.”Air mata menetes dipipiku. “Apa yang salah, bukannya emang bener anak Ibuk itu wanita murahan. Tunggu … apa Ibuk bilang tadi? Aku anak wanita murahan, apa itu artinya Ibuk juga sama seperti Valen?” Aku tertawa.Entah kenapa rasa hormat untuk ibu sekarang seperti tak ada lagi, aku terlalu terluka untuk memikirkan rasa sakit orang lain.“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Apa karena aku terlahir dari wanita yang buruk sehingga aku pantas di pandang dan diperlakukan buruk. Apa karena aku terlahir dari rahim wanita simpanan sehingga aku pantas diperlakukan seperti tak memiliki dunia. Bukankah orang tua yang menginginkan anak, anak tak pernah bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, tetapi seorang ibu dapat memilih untuk melahirkannya. Lantas pantaskah mereka menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa ini.”….“Makan yang banyak Cin, jangan sakit lagi.” Rania terus menyuap bubur padaku.“Siapa yang bawa aku kesini? Harusnya dia biarin aja aku mati di pinggir jalan Ran, lagian buat apa aku hidup? Aku udah enggak punya tujuan lagi.”Aku masih menatap jendela, hari semakin cerah, burung-burung berkicau tanpa henti seolah bernyanyi diatas penderitaanku. Apakah alam begitu bahagia?“Kamu kok ngomongnya gitu, jangan gitu, jangan punya pikiran seperti itu, kamu punya banyak alasan untuk hidup sekalipun jalanmu berat.”“Kamu udah denger kan, kamu pasti udah tahu s
“Apa seperti ini anak wanita murahan Buk?”Aku mendekat kepada ibu, menatapnya tajam tanpa rasa takut. “Ya, seperti ini, seperti kamu yang tidak tahu balas budi, sudah dibesarkan dengan baik, seharusnya kamu balas budi dan kasih apa yang aku mau.”Aku tersenyum getir. “Bukannya dari dulu aku udah kasih semua yang Ibuk mau, bahkan sampai celana dalam Ibuk saja jika aku yang tidak membelikan apa anak Ibuk itu mau beliin?” “Oh, kamu mau itung-itungan? Itu udah kewajiban kamu balas budi sama aku. Kamu itu aku kasih makan, udah aku besarin jadi wajar aja.”“Bukankah itu udah kewajiban ayah nafkahin aku, lagian aku enggak pernah minta kalian buat besarin aku, kalian sendiri yang mau? Kalau enggak ikhlas ngapain dulu nerima dan ngerawat aku enggak biarin aja aku di jalanan mati," jawabku enteng sembari melipat tangan didada.“Bener-bener kamu ya, Cin …. " Ibu mengangkat tangannya hendak menamparku, tetapi aku menepisnya. Jangan anggap aku Cinta yang lemah seperti dulu, jika menurutnya aku
Aku menarik nafas dalam. “Entahlah apa aku bisa memaafkan Ayah.” Aku menyesap secangkir kopi, kopi yang masih sangat terasa pahit karena hanya sedikit gula yang ditambahkan. Pahitnya kopi tidak ada seberapa dibanding kisah hidupku. “Karena setelah aku pikir Ayahlah orang yang jahat.”“Ya kamu benar, ayah memang orang jahat, harusnya ayah menjadi laki-laki yang tegas dan bertanggung jawab,” jawab ayah menundukkan wajah.“Dimana ibu kandungku? Siapa dia?”Ayah menghela nafas panjang, diam sejenak, mungkin pikirannya sedang memutar kejadian berpuluh tahun lamanya.“Baiklah jika ini memang sudah waktunya kamu tahu, tapi apapun yang terjadi nanti tolong jangan tinggalkan ayah, Cinta. Bagaimana ayah bisa menebus kesalahan ayah kepada ibumu jika kamu meninggalkan ayah.”Aku diam tak menjawab ucapan ayah, ada rasa kecewa yang begitu mendalam setiap kali melihat ayah, bagaimana mungkin lelaki yang sangat kucintai itu ternyata seorang pengkhianat, rasanya aku tidak ingin mempercayai hal itu.Ay
“Dimana Ibu Ratih?” Aku ingin tahu sekali seperti apa rupa wanita yang melahirkanku itu, wanita yang selalu ibu sebut murahan padahal dia sendiri juga korban dari ayah.“Ayah tidak tahu, pernah ayah cari tapi tidak pernah ketemu,” jawab ayah sembari menunduk.Aku menarik nafas panjang. “Lalu kenapa ibu tidak membesarkanku sendiri, kenapa harus kirim aku ke rumah Ayah. Bukannya bagi ibu anak adalah segalanya, lalu kenapa Ibu kirim aku ke rumah orang yang jelas sekali sangat membencinya?” Air mataku menetes, aku tak kuasa menahan tangis, sakit sekali rasanya. Aku tidak tahu hal berat apa yang menimpa ibu kandungku sampai ia tega membiarkan anaknya dibesarkan wanita yang mungkin bisa melukainya.“Aqyah bodoh Cinta, saat itu ayah benar-benar tak bisa berpikir, nenekmu sakit parah memikirkan ayah, tak membiarkan ayah meninggalkan Ibu Ningsih. Sementara Ibu Ningsih pun dalam keadaan tidak stabil, ayah harus merawatnya. Ayah meninggalkan ibumu, tak bertanya kabar kalian, bahkan tidak perna
Acara tujuh bulanan Valen terlihat begitu mewah. Dekorasi ia meminta jasa Rania. Sampai saat ini Valen juga ayah dan ibu masih mengira toko bunga itu milik Rania, toko bunga yang sekarang telah berkembang merangkap dekor organizer yang lebih besar. Pesta Valen digelar di rumah besar dua lantai di kawasan elit, rumah sewaan atas kemauan Valen, hal itu aku tahu dari Rania, semua itu ia lakukan agar tak malu dengan teman-teman kuliahnya.Aku sengaja datang diakhir acara, dari kejauhan kulihat meriahnya pesta. Semua dekorasi belum ada pembayaran. Aku menunggu acara untuk meminta hal itu. Jika aku mau, bisa saja kuhancurkan pestanya, tetapi tak kulakukan mengingat ayah dan ibu, sedikit saja aku masih memiliki hati nurani.Sementara menunggu pesta usai aku melihat sekeliling, mungkin ada tempat untuk menghilangkan bosan. Mataku tertuju di sebuah restoran outdoor tak jauh dari tempat aku memarkirkan motor. Kuputuskan untuk berjalan kaki ke restoran tersebut, kulepas helm dan memakai kacam
Kulepaskan cengkraman tangan ibu secara kasar. “Aku tidak peduli, dia menelantarkan aku buat apa aku peduli,” ucapku lalu meninggalkan ibu.Tentu saja yang kukatakan hanya kebohongan, mana mungkin aku tidak peduli dengan wanita yang melahirkanku. Sekalipun ia tidak pernah membesarkanku, tetapi ia tetap merawatku walau beberapa bulan, ia tetap ingin aku hidup. Aku mengatakan itu agar ibu tak menindasku, jika ia tahu aku peduli kepada Bu Ratih, bisa saja ia akan menggunakannya untuk mengancam terus menerus.Aku mendekati Valen yang masih sibuk menjelaskan semuanya kepada teman-temannya.“Mana uang pembayarannya.” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajah Valen.Valen menepis tanganku. “Kamu enggak berhak Kak, kalaupuan aku harus bayar semua ini itu kepada Rania bukan sama kamu, kamu itu siapa? Pasti Rania kasihan lihat kamu makannya selama ini nampung dan ngajakin kamu kerja, kan?”Aku tertawa mendengar ucapan valen. “Oh iya, aku kan cuma babu,” jawabkku.“Enggak, kalian salah, toko b