Share

part 5

“Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih memilih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”

…..

Rania memelukku, mati-matian kutahan air mata agar tak menetes, tetapi tetap saja, air mata jatuh membasahi pipiku hingga pundak Rania.

“Aku tahu ini berat buat kamu Cin, kalau aku jadi kamu mungkin aku udah stress, udah gak kuat ngadepin ini semua, Allah pilih kamu karena yakin kamu bisa, kamu kuat hadapi ini semua.”

Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang menetes di pipi, aku tidak ingin terpuruk begitu lama, aku harus bangkit bukan.

“Ayo, move on.” Kuberikan senyum untuk Rania.

“Pasti ada hadiah besar buat kamu Cin, mungkin harus sabar sedikit lagi.”

Aku tertawa tipis mendengar ucapan Rania. “Jadi deg-degan aku, kira-kira dapet hadiah apa aku.”

Rania ikut tertawa. “Aku serius, ih.”

“Udah ah, ayo lanjutin aku bantuin, malem ini aku nginep di sini aja, ya?” Aku mengambil bunga dan membuat rangkaian yang sebagian sudah dirangkai Rania.

“Ya ngapain pakek ijin, punya sendiri juga.” Rania tertawa.

“Mana tahu nanti ganggu kamu, soalnya kan hati aku masih galau, mana tahu aku kebangun terus nangis.”

“Sumpah ya, munafik banget. Kemarin bilang udah gak mau nangisin laki-laki kayak Andre,” ejek Rania.

“Aku sih sebenarnya enggak munafik, cuma hati aku aja yang bandel ini.”

“Cepetan deh cari gebetan lain.”

“Gak ada yang mau lagi sama aku. Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih milih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”

Rania mengusap punggungku.

“Makannya duit jangan buat modalin cowok, buat perawatan juga. Kadang-kadang aku kesel banget sama kamu Cin, kenapa sih kamu eman banget sama duit, kan kamu cewek butuh juga perawatan.” Rania menatapku, menunjuk satu persatu jerawat yang bersarang hampir memenuhi wajah. “Lihat tuh, kuman aja seneng hidup di wajahmu, sesekali kek dateng ke salon buat perawatan.”

Selama ini aku memang abai dengan wajah, bahkan terkesan tak merawatnya. Selain tak ada waktu, tentu saja karena malas. Waktuku hanya untuk bekerja dan bekerja mengumpulkan uang.

“Iya deh lain kali aku bakalan nyalon.” Kucubit gemas pipi Rania, dibanding Valen Rania lebih akrab denganku, bahkan ia lebih perhatian melebihi adik kandungku sendiri.

“Bunga ini pesenan siapa?” Aku mengalihkan pembicaraan, tka ingin terus mendengar omelan adik sepupuku itu.

“Besok aku tunjukkin, ikut aku anter karangan bunga jam delapan malem, sebagian udah aku siapin bareng anak-anak yang lain, ada pesta juga.”

“Kok kamu enggak bilang aku ada job besar gini?”

“Ck … gimana aku mau bilang, minggu-minggu kemarin setiap aku telpon selalu sibuk buat siapin pernikahan kamu sama Andre, enggak ada waktu buat ngomongin ini semua, kamu nempel terus sama adik iparmu itu,” ungkapnya dengan nada kesal.

Ya, memang bukan salah Rania, aku memang sibuk sampai terkadang pesan dari Rania tak sempat kubaca.

“Jadi gimana, catering kemarin kamu tetep bayar sisanya?” tanya Rania lagi.

Aku mengangguk lemah, memang kemarin dia melarangku untuk membayar semuanya, bagaimanapun itu tetap tanggung jawab Andre. Aku sudah membayar lunas tenda pelaminan beserta periasnya. Namun, aku tidak tega jika menghambat rejeki orang lain, akhirnya begitu acara selesai aku menutup segala biaya pernikahan itu.

“Gimana lagi Ran, aku enggak tega sama tempat cateringnya. Ada banyak perut yang nunggu, gak mungkin aku menghambat gaji mereka. Bagaimana kalau ada yang sama sekali tak pegang uang, apa gak kasihan.”

“Itulah kamu, dari dulu terlalu mikirin perasaan orang lain. Tapi perasaan kamu enggak ada yang peduliin.”

“Nggak apalah, aku sedekah sama mereka. Katamu akan ada hadiah besar nanti.”

“Elleh, kamu ini.”

Kami tertawa bersama.

Aku membantu Rania menyelesaikan buket bunga yang begitu istimewa, buket bunga mawar yang begitu besar. Pelanggan kami meminta semua jenis mawar untuk dijadikan satu. Dia memesan banyak rangkaian bunga mawar, dan juga meminta untuk merangkai bunga mawar menjadi angka tujuh puluh, entah untuk siapa bunga-bunga ini, yang pasti penerimanya akan sangat terkesan. Bunga mawar, bunga kasih sayang, bunga cinta sudah pasti penerimanya adalah orang yang sangat dicintai pelanggan kami itu.

….

Setelah kupikirkan semalaman, kuputuskan untuk mengundurkan diri. Lagipula setelah semua ini, aku tak ingin memikirkan siapapun, jika dulu aku bekerja karena ayah dan ibu. Kali ini aku berhenti karena mereka pula. Aku akan membuktikan aku bisa lebih baik.

Hari ini aku datang ke kantor hanya untuk memberikan surat pengunduran diri. Tak peduli dengan ucapan teman kerjaku yang terlihat berbisik antara satu dengan yang lainnya, aku tetap melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Aku sudah berpamitan kepada mereka semua dan meminta maaf, tak akan kubiarkan omongan mereka mempengaruhiku, aku hanya perlu melangkah pergi.

Dari kantor aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah ayah. Rencananya akan mengambil pakaian dan barang-barangku lainnya, aku akan tinggal di rumah yang kubeli bersama Andre saja, itu lebih baik.

Namun, sampai di rumah justru aku mendapatkan kejutan yang membuat aku naik darah seketika.

“Nah, ini orangnya, Pak. Semuanya dia yang nyicil ya, Pak,” ucap ibu, menarikku penuh semangat, bahkan aku belum sempat melepas helmku.

“Apa ini Buk?” tanyaku bingung.

Banyak perabotan rumah tangga yang hendak diturunkan, tetapi ibu menghentikannya.

“Eh, enggak diturunin disini Pak. Nanti saya kasih tunjuk alamatnya.” Ibu mengambil sesuatu di dalam.

“Mbak tanda tangan disini.” Bapak penjual perabot rumah tangga itu menyodorkan sebuah kertas, entah kertas berisi tulisan itu.

“Apa ini?” Aku tak ingin mengambil kertas yang disodorkan bapak itu.

“Ini perjanjian utang piutang Mbak, Mbak baca dulu, jadi nanti setiap bulannya bisa dicicil.”

Tentu saja aku bingung, kenapa aku yang harus bayar. Perabotan ini untuk siapa? Lagi pula aku tak memerlukan barang-barang seperti itu.

“Ini Pak alamatnya.” Ibu datang, menyerahkan secarik kertas kepada bapak itu.

“Oke Buk, ini mbaknya perlu tanda tangan dulu, karena rupanya enggak bisa diwakilkan Buk. Harus mbaknya sendiri yang tanda tangan,” ujar bapak itu kembali menyodorkan kertas putih di depanku.

“Oh gitu ya, ya udah gak papa, ini kebetulan orangnya disini.” Ibu menarik kertas dari tangan bapak itu penuh semangat, lalu memberikan padaku. “Ayo cepetan ditanda tangani, Cinta.”

“Aku gak mau, perabotan ini buat siapa? Buat Ibuk? Terus kenapa enggak di turunin disini kalau buat Ibuk?”

Aku masih tidak tahu perabotan itu untuk siapa? Mana mungkin mau menandatangani begitu saja.

“Udahlah kamu tinggal tanda tangani aja, lagian setorannya juga ringan karena lagi ada diskon.” Ibu masih terus menyodorkan kertas itu.

“Coba Pak lihat alamatnya.” Aku menodongkan tangan, meminta secarik kertas yang sempat diberikan ibu.

“Gak usah Pak, nanti kamu juga tahu, Cin.” Ibu melarang bapak itu menyerahkan catatan alamat.

“Ya, aku perlu tahu Buk, ini semua buat siapa? Buat ibuk atau Valen?”

“Ini ibuk kirim ke rumah Valen, kasihan dia kata Andre rumahnya masih kosong,” ungkap ibu.

“Rumah yang mana? Jangan bilang Ibuk sama Valen nekat buat ambil dan nempatin rumah itu.” Kutarik paksa kertas yang ada di tangan bapak sales, mataku memerah setelah benar alamat yang dituju merupakan rumahku.

“Gak usah ribut deh Cin, kamu itu harus balas budi.”

“Bawa pulang lagi semua ini Pak, aku gak akan pernah mau bayar ini semua. Kalau Bapak nekat nurunin barang-barang ini, Bapak minta pembayaran sama Ibuk bukan sama saya.” Kutinggalkan dua orang itu. Jantungku berdegup tidak karuan menahan emosi yang sudah berada di ubun-ubun.

“Cinta … Cin! Kamu harus tanda tangani, kamu harus balas budi sama Ibuk sama Ayah. Valen butuh ini semua.”

Tak kuhiraukan panggilan ibu, lebih memilih masuk ke kamar, mengambil ponsel yang masih tersimpan rapi di laci, menekan tombol power, aku tak sabar ingin menghubungi Andre. Rupanya dia ingin main-main denganku lagi, aku diam bukan berarti bisa diinjak-injak seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status