Aku menghela nafas saat hendak memasuki kantor, kembali mengumpulkan energi untuk melawan hujatan satu kantor. Aku sengaja menonaktifkan ponsel hingga kini, sebelum datang ke kantor aku tidak ingin melihat pesan di grup kantor karena itu akan membuat awal hariku menjadi berantakan, walau sebenarnya morning day-ku sudah cukup berantakan.
Kupaksa bibir tersenyum lebar saat menarik daun pintu. Kantor tempat aku bekerja merupakan open plan untuk setiap divisi, sehingga tak ada privasi atau penyekat antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Semua mata tertuju padaku, kulirik jam yang berada di dinding, padahal aku belum telat kenapa sudah ramai, harusnya hari ini aku datang lebih pagi lagi.“Bukannya kamu masih cuti, Cin?” tanya Stella, kami tidak dekat, hanya cukup baik menjadi teman kantor saja.“Hust.” Andini mencubit pelan lengannya.“Kenapa? Dia kan baru merid kemarin. Emanggnya enggak sakit lu jalan. Gue aja yang udah lama kadang-kadang masih ngilu, lemes, tapi maunya deket terus sama husband.”Ah, ya. Dia baru saja liburan mungkin hari ini juga hari pertamanya masuk kerja kembali dan mungkin belum sempat mendengar gosip tentangku.Andini menarik Stella, mencubit gemas pipinya. Keduanya memang dekat.“Apaan sih? Gue beneran nggak tahu.”“Basi lo, Cinta enggak jadi merid. Lu sih ketinggalan gosip mulu. Calon suami Cinta itu nikah sama adiknya, dah.. bisa diem kan loo.” Laras datang dari belakangku. Dia memang dikenal cewek ceplas-ceplos tanpa memikirkan perasaan orang lain.“Ups.” Stella menutup mulutnya dan menatapku iba.Kembali aku hanya bisa menghela nafas panjang, ingin menyangkal pun tak akan bisa karena memang itu kenyataannya.“Udahlah, ngapain sih kita nunda kerjaan, yuk lanjutin.” Andini membuyarkan lamunanku.Hari ini akan ada pemotretan dan peragaan busana, perusahaan tempatku bekerja mencakup bidang fashion sementara aku bekerja dalam divisi fashion stylish yang bertugas merias tata busana dan menyiapkan segala produk fashion untuk digunakan. Walau terkadang aku hanya dipergunakan sebagai pengantar makanan oleh teman-teman kerjaku.Yah, mau bagaimana lagi, aku tetap bertahan karena tak ingin ayah dan ibu mengetahui aku memiliki usaha sendiri, terlebih aku bisa sedikit-sedikit belajar fashion. Aku ingin berubah, aku tak ingin dipanggil si kuper, itu yang ada dalam benakku ketika diterima bekerja disini. Sebenarnya, aku bisa saja berubah atau mengubah gayaku, tetapi dulu aku berpikir hendak mencari calon suami yang menerimaku apa adanya, pun tak ingin membebani diri sendiri. Pada kenyataannya tak ada lelaki yang akan menerima wanita jelek dan kuper sepertiku. Kini aku mulai lelah dengan semuanya.…..“Akhirnya hari ini bisa kulalui.” Aku menarik nafas panjang, sedikit lega meski besok entah aku akan menghadapi hal apalagi, yang pasti hari yang melelahkan ini bisa kulalui.Tak ingin pulang cepat ke rumah, aku lebih memilih mengunjungi Rania, aku bisa menghirup udara segar dengan aroma bunga-bunga yang mekar. Jika langsung pulang ke rumah pun hanya akan menambah beban pikiran.Perjalanan dari kantor ke toko bunga milikku hanya perlu waktu dua puluh menit mengendarai sepeda motor. Sejenak kutatap bunga mawar merah yang bermekaran menyambut di pintu masuk, bunga-bunga itu benar-benar tumbuh subur meskipun saat ini hubunganku dengan Andre sudah kandas. Tanaman itu hadiah pertama kali yang diberikan oleh Andre saat hubungan kami genap satu tahun. Aku selalu meminta Rania untuk merawatnya dan menaruh di depan pintu masuk agar setiap kali aku datang kesini bunga itu menyambutku. Aku tak ingin membenci bunga, aku sangat mencintai bunga meskipun setiap menatap mawar itu pasti akan mengingatkanku pada Andre.“Hey.” Rania menepuk pundakku, sontak membuatku sedikit terkejut.“Ganggu aja orang lagi mengenang mantan.”“Mantanku adik iparku,” ejeknya sambil tertawa lalu meninggalkanku begitu saja.“Huft, ini masih dua hari. Apa seharunya aku masih nangis di kamar sambil lihatin foto-foto kami. Bukannya gitu normalnya?” Aku mengikuti Rania, mengekor di belakangnya memilih satu persatu bunga plastik, mungkin ada pesanan buket bunga.Beberapa minggu ini aku memang jarang mengontrol toko bungaku, karena sibuk menyiapkan acara pernikahan.“Jadi masih mau nangis lagi?”Aku duduk di samping Rania yang sedang merangkai bunga. “Buat apa? Apa aku pindah aja dari rumah ya, Ran? Tadi pagi Ibuk minta rumah aku buat Valen sama Andre.”“What! Terus kamu setuju gitu?”“Ya enggaklah, aku enggak bodoh-bodoh banget tahu. Kamu aja tahu Andre bayar rumah itu enggak ada separuhnya.”“Kenapa kamu enggak jujur aja sih sama Pakde juga Bude, Cin?”Aku menarik nafas panjang. “Kamu tahu sendiri gimana sikap Ibuk, kalau aku jujur tentang semuanya pasti Ibuk ambil alih semuanya.”Bukannya aku tidak ingin membantu perekonomian kedua orang tuaku. Namun, mengingat kembali semuanya membuatku sakit, rencananya akan kuberitahukan semua jika aku telah menikah, setidaknya saat itu sudah ada yang bertanggung jawab atas diriku dan tidak lagi tinggal bersama ayah dan ibu, tetapi semua gagal.Aku ingat sekali dari kecil aku sudah harus membantu ayah dan ibu untuk membantu perekonomiannya semenjak ayah bangkrut dan toko-toko sembakonya tutup, dari SD sampai SMA aku sering membawa barang jualan untuk membantu ibu, tetapi usahaku tak pernah terlihat di mata ibu. Baginya aku hanya anak yang hanya bisa menyusahkan orang tua dan menjadi beban untuk ibu dan ayah. Sebenarnya aku tak mempermasalahkan membantu orang tua karena itu salah satu cara anak membalas budi, yang aku sesalkan setiap harinya hanya perlakuan ibu yang berbeda kepadaku.Aku harus rela putus kuliah demi kesenangan Valen. Hal paling menyakitkan saat uang yang kutabung untuk masuk kuliah diambil ibu diam-diam lalu diberikan kepada Valen. Saat itu ayah tahu dan mengambil kembali setengahnya lalu diberikan m padaku. Aku menangis di depan pecahan celengan, tidak hanya satu semua celengan dari tanah liat yang kusimpan di bawah ranjang telah habis dipecahkan ibu pada saat itu.Putus asa, aku harus mengubur mimpi untuk melanjutkan kuliah, uang yang tak seberapa kuberanikan untuk modal berjualan bunga. Saat itu aku lebih memilih pergi dari rumah, kekecewaan kepada ibu dan ayah membuatku tak ingin serumah dengan kedua orang tuaku. Hidup sebatang kara membuatku tumbuh menjadi wanita pekerja keras, aku sudah kenyang makan pahitnya kehidupan.Hingga tiga tahun lalu ayah menghubungi melalui Rania, memintaku untuk pulang saat dia sakit parah, lalu membuatku berjanji untuk tidak pergi lagi dari rumah. Meskipun aku masih kecewa aku tak mungkin melupakan dan mengabaikannya begitu saja. Selama kepergianku bahkan ibu tidak pernah bertanya kabar atau meghubungiku. Kadang aku berpikir apa sebenarnya salahku kepada ibu sampai ia terlihat begitu membenciku. Ketika aku teriaki maling di depan tetangga. Sempat kulontarkan pertanyaan kepada ibu, apa aku ini bukan putri kandungnya? Saat itu aku baru saja pulang sekolah. Aku baru berusia dua belas tahun, dalam keadaan lapar dan haus setelah berkeliling menjual makanan yang dibuat ibu, aku berlari ke dapur, mengambil sepiring nasi. Mataku berbinar karena ada sepotong ayam bakar di bawah tudung saji, air liurku bahkan akan menetes saat melihatnya. Tanpa memikirkan apapun aku melahap sepiring nasi dengan ayam goreng, setelah kenyang aku duduk sejenak, makanan yang baru saja kutelan ternyata menjadi bumerang, ibu yang baru datang bersama Valen tiba-tiba menarik tanganku kasar, memakiku karena aku memakan ayam bakar milik Valen. Memang keadaan kami saat itu sedang susah, makan ayam pun tak bisa terus-menerus.Ibu menyeretku lalu melempar tepat di depan ayah yang baru saja pulang bekerja buruh. Kegaduhan itu dilihat dan jadi tontonan tetangga kami.“Lihat itu, dia mencuri ayam Valen, anak enggak tahu di untung, pencuri kamu!” ucap ibu sembari menunjuk-nunjuk wajahku di depan ayah dan tetangga.Aku hanya bisa menangis di pelukan ayah, memang salahku makan tanpa menunggu ibu.“Sudahlah Ning, cuma ayam. Nanti bisa beli lagi,” ayah membelaku.“Apa! Beli lagi, kamu pikir kita punya uang buat beli ayam, dasar anak …. "“Cukup!” pekik ayah menghentikan ibu. Ibu melotot menatap ayah, menahan amarahnya sembari menggertakan gigi, lalu meninggalkan kami.Kejadian itu tidak akan bisa kulupakan. Semenjak toko ayah bangkrut ibu memang selalu memarahiku, menjadikan aku tempat untuk menyalurkan emosinya, bahkan jika bukan aku yang membuat salah ibu akan tetap memarahiku, semua yang aku kerjakan selalu tidak ada benarnya. “Udah jangan dipikirin, sekarang yang penting mengobati luka hatimu sendiri,” Rania menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan masa lalu.“Adakah obatnya? Belinya dimana? Kalau ada aku mau beli, aku rela jual semuanya buat beli obat itu.” Kutatap Rania dengan mata berkaca. Berharap ia menjawab pertanyaanku, dan aku bisa mendapatkan obat itu sekarang juga, walaupun aku sadar seratus persen obat sakit hati hanya pemiliknya yang dapat mengobati.Namun, saat ini aku tidak tahu bagaimana mengobati sakit ini, bagaimana caranya, aku tidak tahu aku hanya membiarkan ini semua mengalir begitu saja, membiarkan air membawaku entah kemana.“Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih memilih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”…..Rania memelukku, mati-matian kutahan air mata agar tak menetes, tetapi tetap saja, air mata jatuh membasahi pipiku hingga pundak Rania.“Aku tahu ini berat buat kamu Cin, kalau aku jadi kamu mungkin aku udah stress, udah gak kuat ngadepin ini semua, Allah pilih kamu karena yakin kamu bisa, kamu kuat hadapi ini semua.”Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang menetes di pipi, aku tidak ingin terpuruk begitu lama, aku harus bangkit bukan.“Ayo, move on.” Kuberikan seny
Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka whatsapp, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya. Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari
“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu. Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti. “Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya s
“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Apa karena aku terlahir dari wanita yang buruk sehingga aku pantas di pandang dan diperlakukan buruk. Apa karena aku terlahir dari rahim wanita simpanan sehingga aku pantas diperlakukan seperti tak memiliki dunia. Bukankah orang tua yang menginginkan anak, anak tak pernah bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, tetapi seorang ibu dapat memilih untuk melahirkannya. Lantas pantaskah mereka menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa ini.”….“Makan yang banyak Cin, jangan sakit lagi.” Rania terus menyuap bubur padaku.“Siapa yang bawa aku kesini? Harusnya dia biarin aja aku mati di pinggir jalan Ran, lagian buat apa aku hidup? Aku udah enggak punya tujuan lagi.”Aku masih menatap jendela, hari semakin cerah, burung-burung berkicau tanpa henti seolah bernyanyi diatas penderitaanku. Apakah alam begitu bahagia?“Kamu kok ngomongnya gitu, jangan gitu, jangan punya pikiran seperti itu, kamu punya banyak alasan untuk hidup sekalipun jalanmu berat.”“Kamu udah denger kan, kamu pasti udah tahu s
“Apa seperti ini anak wanita murahan Buk?”Aku mendekat kepada ibu, menatapnya tajam tanpa rasa takut. “Ya, seperti ini, seperti kamu yang tidak tahu balas budi, sudah dibesarkan dengan baik, seharusnya kamu balas budi dan kasih apa yang aku mau.”Aku tersenyum getir. “Bukannya dari dulu aku udah kasih semua yang Ibuk mau, bahkan sampai celana dalam Ibuk saja jika aku yang tidak membelikan apa anak Ibuk itu mau beliin?” “Oh, kamu mau itung-itungan? Itu udah kewajiban kamu balas budi sama aku. Kamu itu aku kasih makan, udah aku besarin jadi wajar aja.”“Bukankah itu udah kewajiban ayah nafkahin aku, lagian aku enggak pernah minta kalian buat besarin aku, kalian sendiri yang mau? Kalau enggak ikhlas ngapain dulu nerima dan ngerawat aku enggak biarin aja aku di jalanan mati," jawabku enteng sembari melipat tangan didada.“Bener-bener kamu ya, Cin …. " Ibu mengangkat tangannya hendak menamparku, tetapi aku menepisnya. Jangan anggap aku Cinta yang lemah seperti dulu, jika menurutnya aku
Aku menarik nafas dalam. “Entahlah apa aku bisa memaafkan Ayah.” Aku menyesap secangkir kopi, kopi yang masih sangat terasa pahit karena hanya sedikit gula yang ditambahkan. Pahitnya kopi tidak ada seberapa dibanding kisah hidupku. “Karena setelah aku pikir Ayahlah orang yang jahat.”“Ya kamu benar, ayah memang orang jahat, harusnya ayah menjadi laki-laki yang tegas dan bertanggung jawab,” jawab ayah menundukkan wajah.“Dimana ibu kandungku? Siapa dia?”Ayah menghela nafas panjang, diam sejenak, mungkin pikirannya sedang memutar kejadian berpuluh tahun lamanya.“Baiklah jika ini memang sudah waktunya kamu tahu, tapi apapun yang terjadi nanti tolong jangan tinggalkan ayah, Cinta. Bagaimana ayah bisa menebus kesalahan ayah kepada ibumu jika kamu meninggalkan ayah.”Aku diam tak menjawab ucapan ayah, ada rasa kecewa yang begitu mendalam setiap kali melihat ayah, bagaimana mungkin lelaki yang sangat kucintai itu ternyata seorang pengkhianat, rasanya aku tidak ingin mempercayai hal itu.Ay