Share

Part4

Aku menghela nafas saat hendak memasuki kantor, kembali mengumpulkan energi untuk melawan hujatan satu kantor. Aku sengaja menonaktifkan ponsel hingga kini, sebelum datang ke kantor aku tidak ingin melihat pesan di grup kantor karena itu akan membuat awal hariku menjadi berantakan, walau sebenarnya morning day-ku sudah cukup berantakan.

Kupaksa bibir tersenyum lebar saat menarik daun pintu. Kantor tempat aku bekerja merupakan open plan untuk setiap divisi, sehingga tak ada privasi atau penyekat antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Semua mata tertuju padaku, kulirik jam yang berada di dinding, padahal aku belum telat kenapa sudah ramai, harusnya hari ini aku datang lebih pagi lagi.

“Bukannya kamu masih cuti, Cin?” tanya Stella, kami tidak dekat, hanya cukup baik menjadi teman kantor saja.

“Hust.” Andini mencubit pelan lengannya.

“Kenapa? Dia kan baru merid kemarin. Emanggnya enggak sakit lu jalan. Gue aja yang udah lama kadang-kadang masih ngilu, lemes, tapi maunya deket terus sama husband.”

Ah, ya. Dia baru saja liburan mungkin hari ini juga hari pertamanya masuk kerja kembali dan mungkin belum sempat mendengar gosip tentangku.

Andini menarik Stella, mencubit gemas pipinya. Keduanya memang dekat.

“Apaan sih? Gue beneran nggak tahu.”

“Basi lo, Cinta enggak jadi merid. Lu sih ketinggalan gosip mulu. Calon suami Cinta itu nikah sama adiknya, dah.. bisa diem kan loo.” Laras datang dari belakangku. Dia memang dikenal cewek ceplas-ceplos tanpa memikirkan perasaan orang lain.

“Ups.” Stella menutup mulutnya dan menatapku iba.

Kembali aku hanya bisa menghela nafas panjang, ingin menyangkal pun tak akan bisa karena memang itu kenyataannya.

“Udahlah, ngapain sih kita nunda kerjaan, yuk lanjutin.” Andini membuyarkan lamunanku.

Hari ini akan ada pemotretan dan peragaan busana, perusahaan tempatku bekerja mencakup bidang fashion sementara aku bekerja dalam divisi fashion stylish yang bertugas merias tata busana dan menyiapkan segala produk fashion untuk digunakan. Walau terkadang aku hanya dipergunakan sebagai pengantar makanan oleh teman-teman kerjaku.

Yah, mau bagaimana lagi, aku tetap bertahan karena tak ingin ayah dan ibu mengetahui aku memiliki usaha sendiri, terlebih aku bisa sedikit-sedikit belajar fashion. Aku ingin berubah, aku tak ingin dipanggil si kuper, itu yang ada dalam benakku ketika diterima bekerja disini. Sebenarnya, aku bisa saja berubah atau mengubah gayaku, tetapi dulu aku berpikir hendak mencari calon suami yang menerimaku apa adanya, pun tak ingin membebani diri sendiri. Pada kenyataannya tak ada lelaki yang akan menerima wanita jelek dan kuper sepertiku. Kini aku mulai lelah dengan semuanya.

…..

“Akhirnya hari ini bisa kulalui.” Aku menarik nafas panjang, sedikit lega meski besok entah aku akan menghadapi hal apalagi, yang pasti hari yang melelahkan ini bisa kulalui.

Tak ingin pulang cepat ke rumah, aku lebih memilih mengunjungi Rania, aku bisa menghirup udara segar dengan aroma bunga-bunga yang mekar. Jika langsung pulang ke rumah pun hanya akan menambah beban pikiran.

Perjalanan dari kantor ke toko bunga milikku hanya perlu waktu dua puluh menit mengendarai sepeda motor. Sejenak kutatap bunga mawar merah yang bermekaran menyambut di pintu masuk, bunga-bunga itu benar-benar tumbuh subur meskipun saat ini hubunganku dengan Andre sudah kandas. Tanaman itu hadiah pertama kali yang diberikan oleh Andre saat hubungan kami genap satu tahun. Aku selalu meminta Rania untuk merawatnya dan menaruh di depan pintu masuk agar setiap kali aku datang kesini bunga itu menyambutku. Aku tak ingin membenci bunga, aku sangat mencintai bunga meskipun setiap menatap mawar itu pasti akan mengingatkanku pada Andre.

“Hey.” Rania menepuk pundakku, sontak membuatku sedikit terkejut.

“Ganggu aja orang lagi mengenang mantan.”

“Mantanku adik iparku,” ejeknya sambil tertawa lalu meninggalkanku begitu saja.

“Huft, ini masih dua hari. Apa seharunya aku masih nangis di kamar sambil lihatin foto-foto kami. Bukannya gitu normalnya?” Aku mengikuti Rania, mengekor di belakangnya memilih satu persatu bunga plastik, mungkin ada pesanan buket bunga.

Beberapa minggu ini aku memang jarang mengontrol toko bungaku, karena sibuk menyiapkan acara pernikahan.

“Jadi masih mau nangis lagi?”

Aku duduk di samping Rania yang sedang merangkai bunga. “Buat apa? Apa aku pindah aja dari rumah ya, Ran? Tadi pagi Ibuk minta rumah aku buat Valen sama Andre.”

“What! Terus kamu setuju gitu?”

“Ya enggaklah, aku enggak bodoh-bodoh banget tahu. Kamu aja tahu Andre bayar rumah itu enggak ada separuhnya.”

“Kenapa kamu enggak jujur aja sih sama Pakde juga Bude, Cin?”

Aku menarik nafas panjang. “Kamu tahu sendiri gimana sikap Ibuk, kalau aku jujur tentang semuanya pasti Ibuk ambil alih semuanya.”

Bukannya aku tidak ingin membantu perekonomian kedua orang tuaku. Namun, mengingat kembali semuanya membuatku sakit, rencananya akan kuberitahukan semua jika aku telah menikah, setidaknya saat itu sudah ada yang bertanggung jawab atas diriku dan tidak lagi tinggal bersama ayah dan ibu, tetapi semua gagal.

Aku ingat sekali dari kecil aku sudah harus membantu ayah dan ibu untuk membantu perekonomiannya semenjak ayah bangkrut dan toko-toko sembakonya tutup, dari SD sampai SMA aku sering membawa barang jualan untuk membantu ibu, tetapi usahaku tak pernah terlihat di mata ibu. Baginya aku hanya anak yang hanya bisa menyusahkan orang tua dan menjadi beban untuk ibu dan ayah. Sebenarnya aku tak mempermasalahkan membantu orang tua karena itu salah satu cara anak membalas budi, yang aku sesalkan setiap harinya hanya perlakuan ibu yang berbeda kepadaku.

Aku harus rela putus kuliah demi kesenangan Valen. Hal paling menyakitkan saat uang yang kutabung untuk masuk kuliah diambil ibu diam-diam lalu diberikan kepada Valen. Saat itu ayah tahu dan mengambil kembali setengahnya lalu diberikan m padaku. Aku menangis di depan pecahan celengan, tidak hanya satu semua celengan dari tanah liat yang kusimpan di bawah ranjang telah habis dipecahkan ibu pada saat itu.

Putus asa, aku harus mengubur mimpi untuk melanjutkan kuliah, uang yang tak seberapa kuberanikan untuk modal berjualan bunga. Saat itu aku lebih memilih pergi dari rumah, kekecewaan kepada ibu dan ayah membuatku tak ingin serumah dengan kedua orang tuaku. Hidup sebatang kara membuatku tumbuh menjadi wanita pekerja keras, aku sudah kenyang makan pahitnya kehidupan.

Hingga tiga tahun lalu ayah menghubungi melalui Rania, memintaku untuk pulang saat dia sakit parah, lalu membuatku berjanji untuk tidak pergi lagi dari rumah. Meskipun aku masih kecewa aku tak mungkin melupakan dan mengabaikannya begitu saja. Selama kepergianku bahkan ibu tidak pernah bertanya kabar atau meghubungiku. Kadang aku berpikir apa sebenarnya salahku kepada ibu sampai ia terlihat begitu membenciku.

Ketika aku teriaki maling di depan tetangga. Sempat kulontarkan pertanyaan kepada ibu, apa aku ini bukan putri kandungnya? Saat itu aku baru saja pulang sekolah. Aku baru berusia dua belas tahun, dalam keadaan lapar dan haus setelah berkeliling menjual makanan yang dibuat ibu, aku berlari ke dapur, mengambil sepiring nasi. Mataku berbinar karena ada sepotong ayam bakar di bawah tudung saji, air liurku bahkan akan menetes saat melihatnya. Tanpa memikirkan apapun aku melahap sepiring nasi dengan ayam goreng, setelah kenyang aku duduk sejenak, makanan yang baru saja kutelan ternyata menjadi bumerang, ibu yang baru datang bersama Valen tiba-tiba menarik tanganku kasar, memakiku karena aku memakan ayam bakar milik Valen. Memang keadaan kami saat itu sedang susah, makan ayam pun tak bisa terus-menerus.

Ibu menyeretku lalu melempar tepat di depan ayah yang baru saja pulang bekerja buruh. Kegaduhan itu dilihat dan jadi tontonan tetangga kami.

“Lihat itu, dia mencuri ayam Valen, anak enggak tahu di untung, pencuri kamu!” ucap ibu sembari menunjuk-nunjuk wajahku di depan ayah dan tetangga.

Aku hanya bisa menangis di pelukan ayah, memang salahku makan tanpa menunggu ibu.

“Sudahlah Ning, cuma ayam. Nanti bisa beli lagi,” ayah membelaku.

“Apa! Beli lagi, kamu pikir kita punya uang buat beli ayam, dasar anak …. "

“Cukup!” pekik ayah menghentikan ibu. Ibu melotot menatap ayah, menahan amarahnya sembari menggertakan gigi, lalu meninggalkan kami.

Kejadian itu tidak akan bisa kulupakan. Semenjak toko ayah bangkrut ibu memang selalu memarahiku, menjadikan aku tempat untuk menyalurkan emosinya, bahkan jika bukan aku yang membuat salah ibu akan tetap memarahiku, semua yang aku kerjakan selalu tidak ada benarnya.

“Udah jangan dipikirin, sekarang yang penting mengobati luka hatimu sendiri,” Rania menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan masa lalu.

“Adakah obatnya? Belinya dimana? Kalau ada aku mau beli, aku rela jual semuanya buat beli obat itu.” Kutatap Rania dengan mata berkaca. Berharap ia menjawab pertanyaanku, dan aku bisa mendapatkan obat itu sekarang juga, walaupun aku sadar seratus persen obat sakit hati hanya pemiliknya yang dapat mengobati.

Namun, saat ini aku tidak tahu bagaimana mengobati sakit ini, bagaimana caranya, aku tidak tahu aku hanya membiarkan ini semua mengalir begitu saja, membiarkan air membawaku entah kemana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status